Rana Cinta

Dee_ane
Chapter #7

6. Tawaran Ryu

Ainur berlari dengan langkah ringan. Seolah beban berat yang selama ini disandangnya luruh begitu saja. Setidaknya, ia bisa lega karena telah membagi uneg-uneg yang selama ini dia sembunyikan kepada lelaki asing yang baru ia temui.

Senyum tak henti mengembang dari wajah Ainur yang berbedak tebal. Ia berjanji dalam hati akan mempersembahkan yang terbaik di debut pertamanya agar tidak mengecewakan penggemar pertama.

"Ainur!" seru seorang kru di belakang panggung yang juga dipusingkan oleh ulah anak pemimpin rombongan Opera Melayu itu.

Syamsurizal menengok ke arah Ainur yang napasnya terengah.

"Maaf, aku dari belakang," dusta Ainur. Ia membungkuk, menumpukan tangan di lutut sembari meraup udara sebanyak mungkin ke dalam paru-paru.

Syamsurizal ingin marah, tetapi Hafizah menahannya dengan cepat. Hingga akhirnya lelaki itu mengalah. "Ayo, Ain. Kita akan mulai babak kedua."

Babak demi babak dilalui dengan mulus. Improvisasi tak banyak dilakukan karena semua melafalkan dialog sesuai dengan naskah. Begitu pertunjukan selesai, penonton berdiri memberikan tepuk tangan karena puas dengan sajian pertunjukan kelompok opera itu.

Di penghujung pementasan, semua pemain berbaris di panggung memberi hormat. Mata Ainur bisa melihat sosok Ryu ada di deretan paling depan bangku penonton. Senyuman lelaki itu mengarah padanya. Rapalan syair cinta Dewi Kamaratih seolah berdengung di pendengaran menggetarkan hati gadis itu. Seketika napas Ainur sesak oleh gemuruh jantung yang berdetak tatkala matanya menikmati senyuman manis lelaki yang baru dikenalnya.

Manis sekali, Abang itu ....

Ainur terkesiap, menyadari pikirannya. Pipi di balik bedak yang seperti dempul itu menyembunyikan rona merah. Ainur melengos, menghindari pandangannya bertemu dengan tatapan tajam Ryu yang mampu membuat detak jantungnya bekerja dengan sangat kencang.

Begitu mereka masuk di belakang panggung, Hafizah memberikan pelukan hangat kepada putrinya. "Selamat ya, Nak! Ibu tahu kamu pasti bisa!"

Ainur hanya tersenyum tak menanggapi pujian itu. Ia merasa tak pantas dipuji oleh ibunya karena sempat bersikap pengecut.

"Ainur!" Panggilan itu membuat Ainur menoleh. "Apak bangga padamu!" ujar Rizal menepuk dan sesekali mengusap lengan Ainur naik turun. Pancaran mata lelaki itu terlihat puas, dan ekspresi Rizal ini membuat batin Ainur menghangat.

"Sebenarnya, aku tidak pantas dipuji seperti itu, Bu," ucap Ainur lirih. Hafizah mengerutkan alis memandang bergantian Ainur dan suaminya.

"Kenapa? Kamu pantas dipuji." Hafizah mendongak, memegang kedua lengan sang putri yang sedikit lebih tinggi sambil menatap wajah yang masih terpoles riasan.

Ainur menggeleng. "Tidak. Aku tadi sempat melarikan diri karena tidak kuat dengan tekanan."

Kedua orang tua Ainur saling berpandangan. Mereka masih membisu mendengar putri semata wayang mereka berbicara. "Seseorang mengatakan padaku, agar aku menjadi diriku sendiri. 'Ainur adalah Ainur', 'Apa yang dimulai harus diakhiri dengan manis'."

"Siapa yang mengatakannya?" tanya Syamsurizal dengan nada keingintahuan yang tinggi.

Seketika mata besar Ainur membulat saat lensanya menangkap bayangan lelaki asing yang berhasil menenangkannya. "Itu. Abang itu yang mengatakannya!" Telunjuk Ainur teracung menunjuk ke arah ambang pintu di mana seorang lelaki dengan kamera yang tergantung di lehernya berdiri.

***

Ryu berdiri, ikut bertepuk tangan memberi penghargaan atas jernih payah para pemain yang telah menyajikan pertunjukan yang sangat bagus selama 2,5 jam. Ia tidak menyangka kualitas para pemain yang ditempa oleh Syamsurizal tak kalah dengan pemain kelompok Opera di kota besar bahkan di negara besar.

Begitu tabir panggung kembali ditutup, Ryu meminta jalan keluar dari barisan. "Ichiro-san, aku mau ke belakang panggung," kata Ryu melihat kesempatan bahwa ia harus bergegas menemui Ainur.

"Mau melancarkan aksimu?" tanya Ichiro yang hanya dijawab dengan anggukan Ryu.

Ryu bergegas pergi keluar menuju ke bagian belakang gedung itu seolah dia sedang berebut berita. Ia tidak ingin orang lain bisa mendapatkan berita eksklusif selain dirinya, walau ia merasa tak banyak wartawan yang datang. Setidaknya misi ini harus ia laksanakan dengan baik agar tidak mempermalukan sang paman yang telah merekomendasikannya.

Begitu sampai ambang pintu di belakang gedung, keramaian para pemain yang mengalami euforia karena sambutan hangat penonton itu mendominasi. Ryu menghentikan langkah, mengedarkan pandang mencari sosok Sang Bintang.

Lihat selengkapnya