Rancak Bumi & Sakti Mandraguna

Diano Eko
Chapter #1

PROLOG

"Nek, aku lapar.” Suara lirih Jaka terdengar untuk kesekian kalinya.

Bocah kurus kering dengan mata cekung itu mencoba keras untuk tidak merengek, karena dia tahu neneknya juga kelaparan. Sudah tiga hari mereka hanya mengganjal perut dengan menyeruput air. Itu pun hanya beberapa teguk, supaya air dalam kendi kecil itu tidak cepat habis.

Karti langsung mengangkat tubuh lemahnya, beranjak menuju dapur. Matanya yang tidak kalah cekung tidak sanggup menatap mata cucunya. Bocah yatim piatu itu adalah pusat kehidupannya dan Jamal, suaminya, sejak enam tahun lalu, saat mereka mendengar suara bayi menangis kencang di depan pintu pondok kecil mereka, di tengah malam yang dingin. Mereka tidak tahu siapa yang meninggalkan bayi montok itu di sana, mereka tidak peduli. Yang mereka tahu, anak ini adalah kiriman dari Yang Maha Agung untuk menemani hari dan hati tua mereka.

“Sebentar, Nenek masak dulu, ya,” ucap Karti sambil berlalu melewati Jaka yang duduk di tepi dipan bambu beralaskan kain tipis.

Jawaban yang sama dia lontarkan setiap kali Jaka mengeluh lapar, sejak terakhir kali mereka menelan sesuatu yang cukup mengenyangkan. Jaka selalu terlelap saat menunggu masakan neneknya matang. Ketika bangun, makanannya tidak pernah ada. Hangus, begitu jawab neneknya, selalu. Hangus karena Nenek ikut ketiduran saat makanan sedang dimasak. Alasan kejam yang terpaksa harus dipakai Karti berkali-kali untuk mengelabui cucunya.

Kali ini Jaka tak ingin dikelabui lagi. Dia menyusul ke dapur. Tampak tungku sudah dinyalakan, dengan belanga di atasnya. Nenek mengisi belanga tebal itu dengan air, lalu menutupnya. Sepertinya dia sedang menanak nasi. Ternyata neneknya memang memasak sesuatu, Jaka membatin. Dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk.

“Kakek sudah pulang ya, Nek?” Jaka duduk di samping neneknya, di atas parutan kelapa yang juga biasa mereka pakai sebagai bangku.

“Belum,” jawab Karti lirih. Mata Jaka menatap belanga.

“Sudah, tidak usah kamu pikirkan dari mana datangnya makanan ini. Sebentar lagi Kakek pasti pulang, membawa lebih banyak untuk kamu makan.” Karti seolah bisa membaca apa yang ada di kepala bocah itu.

“Berapa lama siapnya, Nek?” Perut yang tidak berhenti keroncongan membuat Jaka sulit menahan diri.

“Sebentar lagi, sabar. Kita ke kamar dulu, tidak baik menunggu di sini, nanti nasinya tidak masak-masak.”

Karti berdiri sambil menarik lengan Jaka, menuntunnya menuju kamar. Tangan lemahnya bisa merasakan tulang di lengan cucunya. Paceklik panjang membuat keluarga mereka harus mengalami masa-masa susah, sama dengan sebagian besar penduduk negeri lainnya. Sering kali mereka tidak makan berhari- hari, dan dalam beberapa bulan terakhir keadaannya makin parah.

Semua hasil berkebun sudah habis sejak berbulan-bulan lalu. Karti dan Jamal sudah mencoba semua hal untuk bertahan, termasuk meminjam sana sini dari semua orang yang mereka kenal. Namun, sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan sumber pinjaman. Bukan karena orang-orang itu pelit, tetapi karena mereka pun sama merananya.

Satu-satunya cara adalah bekerja untuk keluarga bangsawan di pusat negeri, yang jaraknya satu hari perjalanan dari kampung mereka. Segelintir orang yang masih mempunyai persediaan air dan bahan makanan berlimpah, lebih memilih untuk menyimpannya dalam lumbung-lumbung tinggi di depan rumah besar mereka, daripada berbagi dengan yang membutuhkan.

Konon, beberapa tahun lalu, ada yang membisikkan ke telinga mereka akan adanya ancaman paceklik panjang ini, memungkinkan mereka untuk menumpuk hasil panen bertahun- tahun untuk digunakan saat paceklik itu akhirnya datang. Bisikan yang harus dibayar mahal dengan harta mereka yang paling berharga. Anak perempuan perawan yang hilang bak ditelan bumi, atau istri-istri muda yang kehilangan bayi dalam rahim mereka saat mereka lelap, adalah beberapa bencana yang menimpa para bangsawan itu. Namun, tidak ada yang berani mengungkap semuanya dengan gamblang. Dianggap cerita-cerita kosong yang disebarkan oleh orang-orang dengki belaka.

Jamal sudah pergi hampir sepuluh hari, dari rencananya hanya lima hari. Karti mulai cemas, tetapi berusaha keras untuk menyembunyikannya dari Jaka. Cucunya itu berbaring tenang di dipan, Karti duduk di samping sambil membelai kepalanya. Dia berharap bocah itu bisa kembali tertidur, sehingga bisa, lagi- lagi, melupakan sejenak laparnya. Napas Jaka naik turun, membuat tulang dadanya seakan menyeruak dari balik kulit tipis, sampai menembus pakaian usangnya.

“Kamu tahu kalau jauh di ujung negeri ini, di pinggir Tabayur yang indah, ada sebuah negeri yang jauh lebih besar dari negeri kita? Negeri yang sangat subur, kaya, dan berlimpah.” Karti mulai bercerita, sambil terus memainkan jemarinya di rambut Jaka.

“Kotabaru? Aku pernah mendengar dari teman-temanku,” jawab Jaka lirih.

“Tapi apa temanmu tahu kalau meski kaya raya, rakyat Kotabaru tidak bahagia, selalu berada dalam teror berkepanjangan?” lanjut Karti sambil menatap mata cucunya tajam.

Mata Jaka tiba-tiba bersinar, jadi ingin tahu. Karti jadi menyesal. Sekarang cucunya malah akan makin susah tertidur.

“Ceritakan, Nek. Ayo! Kenapa mereka tidak bahagia? Bukankan bisa makan setiap hari cukup untuk membuat orang bahagia?” Jaka tampak antusias, pertama kali dalam tiga hari ini suaranya terdengar tidak lemah.

“Karena Angek Garang! Raja kejam yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa.” Karti melanjutkan dongengnya. “Dibantu penasihat dan para pengikutnya yang tidak kalah kejam, tidak ada yang berani menantang apa pun yang mereka lakukan.”

“Kenapa mereka tidak berani?” Jaka makin semangat.

“Penasihat itu adalah dukun hitam yang sangat sakti, Mamak Kramat namanya. Tidak ada yang bisa menandingi kesaktiannya. Bahkan tidak ada yang tahu berapa lama dia sudah hidup di dunia ini. Ada yang menebak ratusan tahun, ada pula yang yakin umurnya sudah ribuan tahun.”

Mata Jaka membulat, mulutnya terbuka lebar, membuat lidah pucat menyeruak keluar di sela bibir keringnya.

“Kok, dia bisa hidup selama itu? Bapak Runi mati bulan lalu, umurnya baru 42.” Rasa penasaran Jaka makin membuncah. Karti kadang lupa betapa pandainya sang cucu.

“Karena dia memakan bayi-bayi yang masih dalam kandungan, merobek perut ibu-ibu mereka dengan kuku-kuku iblisnya yang tajam dan kotor. Bayi-bayi polos berlumur darah itu akan disantap hidup-hidup, sementara ibu mereka dibiarkan mati dengan darah mengering. Lalu bangkai ibu-ibu malang itu diumpankan ke makhluk-makhluk gaib penghuni hutan keramat. Sebagai gantinya, makhluk-makhluk itu memberi dia umur panjang tanpa batas.”

Mata Jaka yang tadinya bersinar antusias, berubah menjadi ciut, redup. Dia menarik pelan kain panjang hitam tipis yang menutupi kaki, mencoba menutupi wajahnya. Tangannya sedikit gemetar. Karti jadi merasa bersalah.

“Masih mau mendengar? Atau kamu sudah tidak berani?”

Lihat selengkapnya