Rancak Bumi selalu merasa hidupnya hampa dan sia-sia. Di usia hampir 23 tahun, dia masih tinggal bersama kedua orang tuanya, menyabit rumput dan menggembala ternak. Mempunyai wajah dan perawakan paling rupawan seantero negeri ternyata tidak cukup untuk membuat hidupnya lebih berwarna dan memuaskan hati.
Malam sudah melewati pertengahan. Rancak masih gelisah, membolak-balik badan di atas dipan berukuran sedang, dengan kasur kapuk ditutupi kain panjang gelap bercorak keemasan. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan pertengkaran hebatnya dengan Abak sore tadi. Dia dan Abak sebenarnya jarang bertengkar, karena mereka juga jarang berbicara satu sama lain. Dari kecil Rancak terbiasa akan sikap dingin Abak. Dia tidak terlalu mengambil pusing, karena Abak berlaku sama pada siapa pun, bahkan pada Amak.
Setiap kali Rancak merasa Abak keterlaluan, Amak akan meyakinkan kalau Abak sangat menyayanginya, dan meminta Rancak abaikan saja sikapnya. Sampai sekarang masih susah bagi Rancak untuk memahami jenis kasih sayang seperti apa yang bisa muncul dari sikap dingin acuh tak acuh tersebut. Namun, sudah sejak lama Rancak tidak lagi peduli. Selama Amak bahagia dan baik-baik saja, lebih dari cukup baginya.
Perdebatan yang berujung pertengkaran besar sore tadi sebenarnya disulut oleh hal sepele. Setidaknya begitulah menurut Rancak. Kemarau panjang yang sudah hampir dua tahun mendera membuat rumput makanan ternak makin langka. Rancak harus berkelana hampir seharian ke seluruh pelosok Nunjauhdisana, menunggang Balang—kudanya—setiap hari hanya untuk mendapatkan kurang dari satu karung rumput. Itu pun rumput yang sudah hampir kering kerontang. Ternak mereka sudah bertumbangan sejak lama, setiap hari selalu ada saja yang mati mengenaskan.
Tadi siang, saat sedang merebahkan diri beristirahat sejenak di balik pohon besar yang hanya tinggal ranting kering karena daunnya sudah habis berjatuhan, Rancak tidak sengaja mendengar dua orang peternak lainnya sedang membicarakan Bukit Duri, sebuah padang hijau subur, yang katanya masih bertahan di tengah serangan musim kemarau brutal ini.
Rancak pernah mendengar Bukit Duri disebut satu atau dua kali, bagian dari dongeng menjelang tidur yang diceritakan Amak waktu dia kecil. Namun, dalam beberapa minggu terakhir, entah karena apa, dia sering memimpikan tempat ini.
Meski dia tidak bisa mengingat persis isi mimpinya, yang selalu muncul samar-samar, dia yakin sekali mimpi-mimpi itu tentang Bukit Duri. Dan semua mimpi itu selalu berakhir sama, munculnya sebuah sinar putih menyilaukan yang menusuk sampai ke bagian paling dalam bola matanya. Membuat kedua mata itu perih tak terkira. Saking perihnya dia selalu terbangun dengan napas terengah sambil menggosok kedua mata itu panik.
Rancak memilih mengabaikan mimpi-mimpi itu, karena dia pikir mereka hanyalah kembang tidur yang datang karena dia selalu mendambakan sebuah padang rumput hijau untuk ternak- ternak malangnya. Dia tidak menceritakannya kepada siapa pun, bahkan ke Amak, orang yang paling dia percaya. Dia tidak pernah berpikir bahwa tempat itu memang nyata. Sampai tadi siang, saat tidak sengaja mendengar kedua peternak itu bercerita.
Dengan semangat yang membuncah, Rancak bergegas memacu kuda kurus berwarna hitam bercampur cokelat muda yang membuatnya terlihat belang-belang, menuju rumah. Dia tidak sabar ingin memberi tahu Abak, yang dia bayangkan akan sangat gembira mendengar berita ini.
Sesampai di depan pekarangan, sebelum Balang berhenti penuh, Rancak meloncat, hampir menabrak gentong kayu kosong besar di depannya. Ia langsung berlari kencang ke halaman belakang, mencari Abak.
“Bak! Abak! Abak!” Rancak berteriak dengan suara terengah-engah.
“Kenapa pula kau teriak-teriak siang bolong begini?” Abak bersungut—seperti biasa, keluar dari salah satu kandang sapi. Mukanya kecut masam, lebih suram dari biasanya. Sepertinya mereka harus kembali mengubur bangkai ternak hari ini.
“Bak, aku mau ke Bukit Duri. Tadi aku mendengar dua peternak bercerita tentang subur dan hijaunya padang itu, dengan rerumputan berlimpah ….”
Wajah antusias Rancak perlahan ciut saat melihat wajah Abak yang tampak berubah dari kecut menjadi tegang, merah merona.
“Jangan aneh-aneh, kau! Tidak ada yang namanya Bukit Duri, padang subur apalah itu, cuma karangan orang-orang yang sudah putus asa!”
Suara Abak terdengar bergetar, tetapi sangat tegas. Rancak terpaku dengan wajah melongo, semangatnya menyurut seketika. Dia tidak menyangka reaksi abaknya akan seperti ini. Dia tidak tahu harus berkata apa, hanya berdiri membatu.
“T-t-tapi, Bak. Akhir-akhir ini aku juga sering memimpikan tempat itu. Pasti semuanya tidak kebetulan belaka,” ucapnya setelah berhasil mengumpulkan sedikit keberanian.
“Cukup! Abak bilang jangan aneh-aneh, lupakan semuanya! Nunjauhdisana masih sangat luas. Memangnya kamu sudah telusuri setiap sudut negeri ini?” bentak Abak.
Laki-laki setengah tua itu pun meninggalkan Rancak yang masih tampak gelagapan dengan badan masih membatu. Biasanya Rancak akan langsung berhenti, diam. Namun, tidak kali ini. Dia melawan rasa kelu yang menjalar di sekujur badannya, mengikuti Abak ke dalam rumah.
“Bak, aku tidak minta izin, cuma memberi tahu.” Dia berujar dengan sangat hati-hati.
“Apa kata kau?! Jadi kau akan tetap pergi, entah ke mana itu, mencari sesuatu yang tidak jelas, melawan perintah Abak kau ini?”
“Ini masalahnya sama Abak. Tidak pernah bisa diajak bicara baik-baik. Selalu ujung-ujungnya ‘ini perintah!’. Bak, aku bukan anak kecil lagi. Sepuluh hari lagi aku 23 tahun. Abak gak bisa lagi cuma main perintah-perintah!” balas Rancak, tidak bisa lagi membendung kekesalan yang dari tadi sudah memenuhi dadanya.
“Kata siapa?” Abak mendekatkan mukanya ke wajah Rancak, dengan gigi gemeretak, menahan geram. “Kata siapa kau bukan anak kecil lagi? Sampai kapan pun kau akan tetap anak kecil di mataku, karena kau anakku! Aku ini abakmu!”
Saat Rancak sudah siap untuk membalas dengan omongan lebih keras, tampak Amak masuk. Wajahnya kesal.
“Ada apa ini? Teriakan kalian terdengar sampai ke sumur belakang. Bikin mata air sumur makin tertutup. Pamali! Belum lagi kalau ada yang mendengar, malu sedikit, lah!” ujar Amak gusar.
Abak cuma bersungut, Rancak hanya menunduk.
“Kau bilang ke anakmu satu-satunya ini, tidak usah sok jadi pahlawan, ikuti saja perintahku.”
“Aku bisa mendengar Abak, tidak usah sampaikan lewat Amak.” Rancak menjawab dengan kesal.
Biasanya dia tidak akan meladeni Abak kalau sedang merajuk begini. Dia selalu memilih diam, supaya semuanya cepat mereda. Namun, entah kenapa, kali ini jiwanya benar-benar tidak mau mengalah sama sekali.
Amak merangkul tangan anaknya itu, perlahan menariknya ke ruangan lain. Amak tahu, di balik sikap pendiam dan tidak banyak bicara anaknya, tersimpan hati yang keras, yang setiap saat bisa meledak. Rangkulan Amak selalu bisa mendinginkan pikirannya. Rancak akhirnya memilih menurut.
Malam itu Rancak mencoba untuk tidur, dengan beribu hal berkecamuk di kepalanya. Saat yang sama, dia merasa bingung akan dirinya, tidak paham kenapa dia yang biasanya selalu diam dan menurut saat berselisih paham dengan Abak, kali ini tidak bisa hanya berdiam diri. Yang dia tahu, abaknya yang keras kepala itu harus mau satu kali ini saja mendengarkan dia.
Rancak masih gelisah, kembali bolak-balik di atas dipan. Entah berapa lama dia kalut seperti itu, yang dia tahu tiba- tiba dia sudah dikejutkan oleh suara kokok ayam di pagi buta keesokannya.
****