Rancak Bumi & Sakti Mandraguna

Diano Eko
Chapter #3

BAB 2: SUTAN AMEH

Sutan Ameh tampak membatu, duduk bersemedi di bawah salah satu pohon yang berada cukup jauh dari pinggir Suliti. Terlihat jelas, sejak sadarkan diri, laki-laki itu selalu berusaha untuk menjauh dari pinggiran sungai. 

Dia sudah melakukan, apa pun yang dia lakukan sekarang, sejak semalam. Duduk bersila dengan tangan menyilang di atas paha, mata tertutup, tidak bergerak sama sekali. Hembusan angin mengibarkan rambut panjangnya yang tergerai. Rancak penasaran, bagaimana Sutan Ameh bisa tidak bergeming sama sekali selama itu, dari semalam sampai pagi ini, di tengah hembusan angin malam yang dinginnya menembus sampai ke tulang. 

Rancak tidak berani menganggu semedinya. Dia malah menggunakan kesempatan itu untuk menangkap ikan di pinggir Suliti. Dia masih tidak mengerti kenapa laki-laki itu melarangnya dengan keras untuk menyentuh air sungai. Dia tahu isi Suliti, jauh di bagian tengah yang dalam, sangat berbahaya. Tapi di pinggir sungai yang dangkal? Dia rasa tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi untuk menyeberangi, memang lain cerita. Tidak mau dia bayangkan saat ini, nanti saja.

Rancak membakar delapan ekor ikan yang susah payah dia tangkap. Meski pun sangat luas, tidak mudah untuk menemukan ikan-ikan di pinggir Suliti. Enam ekor dia bungkus hati-hati dengan daun pisang, yang sudah dilayukan di atas panas tungku yang dia bikin seadanya dengan batu-batu besar yang ada di pinggir sungai, untuk bekal perjalanan pulang. Dua sisanya untuk dimakan bersama Sutan Ameh saat itu. 

Setelah menyiapkan kedua ikan bakar yang tampak lezat, Rancak berjalan ke arah Bukit Duri, sambil menunggu laki-laki itu selesai dengan semedinya yang tampak makin khusuk. Saat menyabit rumput kemarin siang, dia melihat ada beberapa jenis tumbuhan merambat di sana yang dia rasa bisa dimakan.

Dugaannya benar, ada timun dan semangka ranum, dengan ukuran lebih besar dari yang biasa dia lihat, yang bisa dipetik. Mata Rancak berbinar, menghiasai wajahnya yang tidak bisa berhenti tersenyum. Tangannya dengan cetakan memetik dua semangka berukuran sedang, dan beberapa timun saja, dimasukkan ke dalam kantong kain. 

Dia tidak mau memetik terlalu banyak, takut terlalu membebani Balang. Masih ada empat karung ilalang dan dirinya yang harus dipikul oleh kuda itu. Lagian satu kantong buah rasanya cukup sebagai tambahan bekal mereka di perjalanan balik ke Nunjauhdisana nantinya.

Rancak berjalan cepat kembali ke pinggir Suliti. Saat itulah dia mendengar suara keras dari arah sungai, suara dentuman, yang memecah ketenangan sungai dan sekitarnya. Terkejut setengah mati, Rancak menyembunyikan badannya di balik rerumputan, lalu merangkak secepat yang dia bisa ke arah pinggir sungai. 

Dari kejauhan dia melihat Sutan Ameh sedang bertarung melawan seseorang yang dibalut pakaian serba hitam, dari bawah sampai menutupi wajah, hanya menyisakan mata mereka. Di pinggir Suliti tampak dua orang berpakaian hitam lainnya tergeletak, tidak bergerak sama sekali. Entah bagaimana caranya Sutan Ameh melumpuhkan mereka, Rancak tidak bisa membayangkan. 

Pertarungan itu semakin sengit, pria berpakaian hitam itu pun akhirnya jatuh tergeletak. Sutan Ameh tampak bergerak sangat lincah, anggun, namun mematikan. Rancak tidak menduga kalau pria itu ternyata cukup sakti. Dia langsung tahu ada sesuatu yang berbeda darinya sejak pertama kali melihat wajah lemahnya, namun tidak menyangka akan seperti yang dia saksikan di depan matanya saat ini. 

Saat Rancak berdiri dan siap berlari mendekati Sutan Ameh, tiba-tiba dua orang serba hitam lainnya muncul, entah dari mana. Rancak kembali merebahkan diri, bersembunyi di balik rerumputan, tambah cemas. Haruskah dia membantu? Meski dia tidak yakin bisa melakukan apa-apa yang cukup berarti. 

Dia pernah ikut padepokan silat di kampungnya, dan banyak yang mengatakan dia cukup berbakat. Tapi kemampuan orang-orang di depannya tampak jauh di atas ilmu yang pernah dia pelajari. Dia terus merangkak pelan mendekat, dengan perasaan kalut, berusaha untuk tidak terlihat.

Dua orang ini memberikan perlawanan yang lebih sengit dibanding orang sebelumnya, cukup untuk membuat Sutan Ameh terdesak ke arah pohon besar tempat dia bersemedi sebelumnya. Dalam keadaan tersudut, Sutan Ameh berusaha menangkis dan menghindari serangan bertubi-tubi dari kedua orang itu, tanpa diberi kesempatan untuk menyerang balik. Salah satu dari mereka hampir menebas leher Sutan Ameh dengan parang besarnya. Laki-laki itu terjengkang karena menghindar, membentur pohon besar di belakangnya. 

Rancak baru menyadari kalau Sutan Ameh bertarung dengan tangan kosong dari tadi. Membuat dia semakin mengagumi kesaktiannya. Namun lawan-lawannya tampak lebih sakti. Sutan Ameh tergeletak di sela-sela akar pohon. Dia berusaha bangkit, susah payah, sambil memegangi dadanya. Darah segar tampak mengalir dari ujung bibir kanannya.

Kedua orang itu bergerak perlahan ke arahnya, sambil menghunus parang-parang mereka. Rancak semakin panik. Dia harus melakukan sesuatu. Dia melihat sekelilingnya. Matanya berhenti di mayat-mayat berbaju hitam yang tergeletak di pinggir sungai. Beberapa parang besar berserakan di dekat mereka.

Rancak berlari sekencang mungkin, berusaha meraih satu parang. Saat dia hampir sampai, tiba-tiba dia merasakan tiupan angin yang sangat kencang melewatinya. Teramat kencang, cukup untuk membuatnya terlempar beberapa langkah ke samping. Rancak meringis kesakitan, saat badannya membentur tanah dengan sangat keras. 

Apa yang baru saja terjadi? Angin kencang apa itu? Rancak mempunyai banyak pertanyaan di kepalanya, sambil berusaha bangkit menahan nyeri. Di depannya tampak kedua laki-laki yang sedang memojokkan Sutan Ameh terlempar jauh ke tengah sungai, diiringi teriakan menakutkan, seakan mereka sudah bisa membayangkan nasib naas yang menunggu mereka di sana.

Sesaat Rancak tidak memahami apa yang baru saja terjadi. Dia yakin bukan Sutan Ameh yang melempar kedua orang itu, karena dia masih melihat pria itu tersungkur. Perlahan dia melihat sesosok binatang besar, sedang mengepakkan sayap lebarnya, di samping Sutan Ameh. Kepakan sayap itu semakin pelan, dan Rancak pun bisa melihatnya dengan lebih jelas, berdiri gagah di samping laki-laki itu.

Rancak mengusap kedua matanya dengan keras, berusaha memperhatikan dengan seksama. Dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depannya. Dia bergegas mendekat ke arah Sutan Ameh, dan apa yang ada di sampingnya pun terlihat semakin jelas.

Mata Rancak pun membelalak, mulutnya ternganga. Sutan Ameh dapat memahami kebingungan anak itu, hanya mengangguk pelan dari jauh. Binatang di sampingnya tampak kembali mengepakkan sayapnya berkali-kali, seakan juga berusaha menenangkan Rancak. Rancak bisa merasakan angin keras dari kepakan itu menerpa wajahnya. 

Setelah puas memamerkan sayap indahnya, binatang itu meringkik sangat keras, dengan kedua kaki depannya terangkat tinggi. Dia menahan kedua kaki itu di udara beberapa saat. Sebuah sinar keemasan tiba-tiba menyelimuti sekujur tubuhnya, menyilaukan mata Rancak. Dia merasa tidak asing dengan kilauan cahaya ini. Namun tidak bisa mengingat jelas, otaknya sudah tidak mampu bekerja dengan semestinya. Semua yang terjadi di depan matanya saat ini menyedot semua tenaga dan… kewarasannya.

Saat kedua kakinya diturunkan, perlahan sinar tadi memudar, lalu sirna sepenuhnya bersamaan dengan kaki-kaki itu kembali menyentuh tanah. Dengan mata masih nanar, dipenuhi kelap kelip terang bekas kilauan cahaya yang merasuki bola matanya, dalam samar Rancak melihat sosok binatang yang berbeda sekarang. Seekor kuda yang ukurannya jauh lebih kecil, tanpa sayap, dan… tidak asing. Sami! Kuda Sutan Ameh itu berdiri di tempat yang sama, menggantikan binatang bersayap tadi. 

Mata Rancak masih menatap nanar. Kepalanya menjadi sangat berat, tidak mampu memahami semua yang terjadi di hadapannya. Semuanya tidak masuk akal. Semuanya terlihat meredup sekarang, sebelum akhirnya menjadi gelap.

Entah berapa lama dia terbaring tak sadarkan diri, yang dia tahu dia terbangun di samping api unggun kecil, dan di sekelilingnya sudah gelap gulita. Rancak mencoba bangkit untuk duduk. Sekujur tubuhnya terasa aneh, antara ngilu, nyeri, dan lelah tidak kentara. Kepalanya masih sakit, walau pun tidak separah tadi. 

Di seberang api tampak Sutan Ameh duduk bersila, menatap Rancak dengan tenang. Di sebelahnya Sami terlihat sedang tidur malas-malasan.

“Akhirnya kau bangun juga,” ujar Sutan Ameh.

“Apa yang terjadi? Berapa lama aku tertidur?” tanya Rancak. 

Banyak hal yang ingin dia tanyakan ke laki-laki itu.

“Kamu mengalami serangan panik, karena terkejut luar biasa. Paparan sinar berlebihan ke mata memperparah kondisimu. Makanya kamu tidak sadarkan diri,” ujar Sutan Ameh, berusaha menjelaskan dengan cara yang paling mudah dimengerti oleh anak itu.

“T-t-tadi aku melihat hewan besar bersayap. S-seperti elang. Tapi bukan elang… Kepalanya seperti kuda, kakinya juga kaki kuda. Tapi bersayap. Besar sekali!” Rancak terdengar meracau, dengan napas terengah-engah.

“Lalu muncul cahaya silau. Aku pernah melihat cahaya itu, tapi aku tidak ingat di mana. Cahaya yang sangat silau. Membuat mataku perih, kepalaku sakit. Aku ingat, kepalaku serasa mau pecah. Mataku perih. Silau sekali. Aku tidak mengerti,” lanjutnya.

Sutan Ameh hanya mendengarkan, wajahnya tampak datar, tidak mengeluarkan reaksi apa pun sama sekali. Sepertinya dia sudah mengharapkan reaksi seperti ini dari Rancak.

“T-tapi, aku ingat satu hal, dan aku berani bersumpah! Saat cahayanya hilang, binatang besar bersayap itu berubah menjadi… Sami,” matanya menatap kuda di depannya. 

Sulit baginya membayangkan kuda kurus itu adalah sosok binatang perkasa yang tadi dia lihat.

“Karena dia memang Sami,” celetuk Sutan Ameh dengan santai.

“Tapi…?” Rancak mengernyitkan dahi, mulutnya tidak bisa menemukan kalimat berikutnya.

“Kamu pernah melihat cahaya itu sebelumnya,” ucap Sutan Ameh sambil berdiri, dan berjalan perlahan ke arah Rancak.

Rancak tidak langsung merespon, otaknya sedang bekerja keras mencoba mengingat. Sepertinya dia memang pernah melihatnya. 

“Sepertinya… Dua kali,” jawab Rancak, lirih, seakan dia berbisik ke dirinya sendiri.

“Dua kali?! Maksudnya?” 

Ketenangan Sutan Ameh tiba-tiba terusik. Muncul ketegangan yang tidak biasa di wajahnya.

“Apa maksudnya? Coba kamu ingat lagi, berapa kali?” laki-laki itu tiba-tiba mencecar Rancak, yang semakin kebingungan.

“Yang satu pas Sami berlari kencang ke arahku saat membawa Paman di Bukit Duri,” jawabnya hati-hati. 

Wajahnya lalu perlahan memutar ke arah Suliti. Matanya menatap sungai besar yang diselimuti kegelapan malam itu dengan mata bergidik.

“Satu kali lagi di dasar sungai itu,” lanjutnya. 

Sutan Ameh terkesiap, wajahnya perlahan memucat. Rancak tidak paham kenapa dia segusar ini.

“Di dasar sungai?! Apa maksudmu? Coba kamu ingat-ingat lagi dengan benar,” desaknya.

“Saat aku menyeberangi sungai, ada yang menenggelamkan rakitku. Di dalam airnya yang dingin dan gelap, ada yang mencoba menarikku. Aku tidak melihat wujudnya,” cerita Rancak dengan suara tercekat, seakan kembali ke kejadian mengerikan itu. “Saat aku berusaha melawan, tiba-tiba ada yang menindih tubuhku dari atas, mendorong kuat ke dasar sungai. Dadaku terasa mau pecah. Sekujur badanku sakit tak terkira. Aku tidak kuat lagi, sampai berpikir lebih baik mati saja,” lanjutnya. 

Sutan Ameh berusaha mendengar dengan sabar di sampingnya, menahan diri untuk tidak bertanya, membiarkan Rancak mengingat semuanya tanpa ada yang terlewat.

“Ketika napasku sudah mau habis, rasa sakitnya makin tak tertahakan. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tidak bisa keluar sama sekali. Seolah aku sedang berteriak dalam sebuah mimpi buruk. Aku sempat berharap itu hanyak mimpi buruk,” ucapnya lirih.

“Aku terus mencoba, dan mencoba, dan mencoba… sekuat tenaga. Tetap tidak bisa.” 

Air mata tiba-tiba mulai menetes dari kedua matanya, membasahi kedua pipi.

“Akhirnya aku berhenti mencoba. Tidak ada gunanya juga, aku pikir. Hanya saja, aku tidak sanggup memasrahkan diri. Aku teringat Amak dan Abakku…” suaranya makin tercekat, sambil menghapus air mata.

“Aku coba bayangkan mereka sedang di depanku. Aku coba sekerasnya. Aku hanya mau melihat mereka sekali lagi saja. Aku mau mohon maaf karena tidak mendengarkan larangan mereka. Aku pikir itu adalah hukuman akan kedurhakaanku.” 

Rancak lalu berdiri perlahan, berjalan mendekati pinggir Suliti. Matanya masih memandang ke arah air gelap di tengah sungai. Sutan Ameh mengikuti, dengan gelagat sangat hati-hati, tidak jauh di belakangnya.

“Saat aku akhirnya bersiap memejamkan mata… tiba-tiba aku melihat sinar menyilaukan seperti tadi. Aku bersumpah aku melihat seekor harimau putih, meski samar-samar. Tapi aku yakin itu harimau… Entah bagaimana caranya dia bisa sampai ke dasar sungai dalam itu. Setelah itu yang aku tahu, aku terbangun di pinggir Bukit Duri,” ucapnya sambil berbalik menatap Sutan Ameh.

“Aku tidak menceritakan ini sebelumnya, karena aku tidak mau dianggap gila. Tapi melihat apa yang terjadi siang tadi, mungkin aku tidak gila sama sekali.”

Sutan Ameh menatap anak itu dengan tajam, cukup lama. Keduanya hanya bertatapan tanpa bersuara sama sekali.

“Akuan. Harimau putih, kuda bersayap, mereka itu akuan. Kamu tidak gila,” ucap Sutan Ameh memecah keheningan. Suaranya terdengar sedikit lebih tenang sekarang.

“Akuan?” ulang Rancak.

“Iya. Mereka adalah hewan sakti yang menjadi penjaga manusia sejak mereka lahir. Akuan hanya akan menempel ke orang-orang tertentu. Tidak semua orang memiliki akuan, hanya orang-orang terpilih,” jelas Sutan Ameh.

“Mereka biasanya bekerja diam-diam, sampai waktunya tepat untuk memunculkan diri ke pemiliknya. Untukmu sepertinya waktu itu adalah saat kamu dalam marabahaya besar di dasar sungai itu,” lanjut laki-laki itu.

“Paman sudah curiga, ada cerita yang kamu sembunyikan. Tidak ada manusia yang selamat menyeberangi Suliti hanya dengan berbekal sebuah rakit pohon pisang.”

Rancak hanya menunduk. Tangannya perlahan meraih sesuatu dari balik bajunya, sebuah gulungan kain hitam. Dia membuka gulungan itu dengan hati. Tampak sebuah benda segitiga memanjang, berwarna hijau zamrud, mengkilat. 

“Aku menemukan ini di sampingku saat aku terbangun. Tidak tahu apa,” ucapnya sampir menyerahkan benda tajam sekeras baja itu kepada Sutan Ameh.

Mata laki-laki itu hampir terbelakak menatap apa yang ada di tangannya.

“Ini sirip naga, ular berkaki empat raksasa penguasa sungai ini. Ternyata keberadaannya masih ada sampai sekarang,” matanya menatap benda itu dengan takjub. 

Pantulan cahaya api yang menyinarinya membuat benda itu terlihat semakin mengagumkan. “Sepertinya akuanmu melukai naga. Dia tidak akan melupakannya. Ribuan tahun tidak ada yang bisa menyentuhnya. Semua penghuni sungai menunduk, takut dan patuh kepadanya,” Sutan Ameh melanjutnya ceritanya.

“Harimau putih adalah jenis akuan paling sakti. Hal ini menjelaskan kenapa dia bisa menyelamatkan kamu, dan bahkan melukai naga sampai bisa menanggalkan siripnya,” lanjut laki-laki itu.

“Sudah ratusan tahun tidak ada catatan tentang munculnya akuan harimau putih ini. Jangan ceritakan kepada siapa pun,” mata laki-laki itu menatap Rancak makin tajam. 

Ada sesuatu di tatapan itu yang membuat Rancak merasa tidak nyaman. Rancak hanya diam, menurut. Lagian kepada siapa dia akan ceritakan. Dia tidak punya siapa pun selain Amak dan Abak. Paling kepada mereka.

“Dan apa yang sudah dia lakukan kepada naga, membuat kamu menjadi musuh terbesar yang akan diburu semua penghuni Suliti selamanya… Saya paham sekarang, kenapa tidak ada yang mengusikmu saat kamu menginjak air di pinggir sungai ini, karena harimau itu. Tapi perisai yang dia pakai hanya bisa melindungimu di pinggir,” ucapnya.

Lihat selengkapnya