Rancak Bumi & Sakti Mandraguna

Diano Eko
Chapter #4

BAB 3: MIMPI PENGGERAK HATI

Perjalanan Rancak dan Sutan Ameh pun dimulai malam itu, meski ditentang keras oleh Amak, yang tidak berhenti menangis. Sementara Abak tidak banyak berbicara sejak Rancak sudah bulat memutuskan untuk ikut pamannya. 

Keduanya meninggalkan rumah di tengah malam, supaya bisa mencapai Suliti di pagi hari ketiga. Meski pun Sutan Ameh memiliki Sami untuk menyeberangi sungai tersebut, dia tetap merasa siang hari, saat matahari terang, adalah waktu terbaik. Dia tidak mau mengambil resiko, apa saja bisa terjadi di tengah gulita malam. 

Penghuni Suliti bisa mereka hindari, selama kaki mereka tidak menginjak airnya. Itu adalah sumpah yang tidak boleh mereka langgar. Semua makhluk yang berada di luar wilayah perairan sungai itu haram untuk mereka jamah. Konsekuensinya terlalu besar dan menakutkan. Bahkan sang naga penguasa sungai memahami itu.

Sutan Ameh lebih mencemaskan para pasukan Garda Kramat. Empat orang yang menyerang mereka beberapa hari lalu hanyalah segelintir dari manusia-manusia sesat jahat yang berkeliaran di Bukit Duri. Berita tentang keempatnya berhasil dilumpuhkan pasti sudah sampai ke setiap pelosok Bukit Duri, kemungkinan besar juga ke Pagarbuyung. 

Dalam perjalanan, Rancak lebih banyak diam, hatinya masih berkecamuk. Tidak saja dia harus meninggalkan kedua orang tua dan rumah untuk pertama kali dalam hidupnya, dia juga harus meninggalkan Balang nantinya sesampai di Suliti. Tidak ada cara bagi kuda itu untuk bisa menyeberang. Sami hanya bisa membawa manusia di punggungnya. Rancak tidak punya pilihan, Balang harus kembali ke Nunjauhdisana.

Balang seolah dapat membaca isi hati tuannya. Dari awal meninggalkan rumah kuda itu tidak berhenti-henti merengek, resah. Meringkik, seringkali berhenti berjalan tiba-tiba, bahkan sampai memaksa berbalik arah, untuk kembali pulang. Rancak dengan susah payah harus menenangkan dan mengendalikan kuda kesayangannya itu, membuat suasana hatinya semakin keruh.

“Kuda itu hanya menuruti apa yang kamu rasakan,” teriak pria itu di tengah-tengah ringkikan keras Balang yang kembali tampak berusaha keras menarik Rancak berbalik arah, untuk ke sekian kalinya.

Pemuda itu pun dengan bersusah payah memeluk leher Balang, sambil tak henti membisikkan sesuatu. Kedua kakinya menekan tanah di bawahnya, berusaha menahan kuda kurus itu sekuat tenaga.

“Perasaanmu yang harus kamu kendalikan! Kalau tidak percuma!” lanjut pamannya.

“Apa?!” Rancak tidak bisa mendengar jelas, dia terlalu kewalahan menahan Balang.

Sutan Ameh tampak frustasi. Dia menarik kekang Sami dengan kuat. Kuda itu pun meloncat, lalu mengangkat kedua kakinya setinggi mungkin, disertai ringkikan yang jauh lebih keras dari Balang, tepat di hadapannya. Seakan memahami bahwa kuda gagah itu bukan tandingannya, Balang pun langsung terdiam.

“Tenangkan perasaanmu, Balang akan ikut tenang. Kuda itu bisa menangkap apa yang kamu rasakan. Harusnya kamu sudah paham. Sudah berapa lama kalian bersama?” cecar Sutan Ameh.

“Sepuluh tahun lebih, sejak dia masih kecil.”

“Selama kamu masih gundah, dia akan terus merajuk.” 

Sutan Ameh meloncat turun dari punggung Sami. Dia mendekati Rancak dengan raut wajah lebih serius dari biasanya, seolah itu masih mungkin.

“Nak, dengar baik-baik. Perjalanan di depan sana bukan perjalanan yang mudah dan sebentar. Kamu masih punya kesempatan untuk membatalkan niatmu sekarang. Apakah kamu benar-benar mau ikut Paman atau tidak? Kalau kamu masih ragu, sebaiknya kamu berhenti sampai sini, dan pacu kudamu secepat mungkin balik ke Amak Abakmu,” ucap Sutan Ameh sungguh-sungguh.

Rancak tercekat, menelan ludah berkali-kali. Dia tidak siap dengan pertanyaan itu. Dua malam lalu, dia sangat yakin dengan perjalanan ini. Dia sangat antusias untuk pertama kalinya akan meninggalkan kehidupan membosankannya. Akhirnya, dia pikir.

Namun dia tidak bisa pungkiri, makin menjauh dari Nunjauhdisana, makin berkecamuk pikirannya, dipenuhi keraguan yang semakin besar. Sepertinya pamannya benar, Balang bisa menangkap semua itu, yang membuatnya semakin gelisah tidak karuan.

Rancak menarik napas panjang, lalu menghempaskan bokong ke tanah keras di bawahnya. Tangannya memeluk kedua kaki, dengan kepala dibenamkan di antaranya. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

“Paman pernah bilang kalau kita harus segera berangkat, sebelum semuanya terlambat. Ingat?” tanya Sutan Ameh.

Rancak mengangkat wajahnya, memandang laki-laki itu, lalu mengangguk pelan.

“Paman sepertinya harus menceritakan semuanya. Apa pun yang masih mengganjal di hatimu, pasti karena tidak utuhnya cerita yang kamu dengar,” ucap laki-laki itu dengan hati-hati, sambil duduk bersila di depan Rancak.

Rancak masih terdiam, hanya menatap pamannya dalam.

“Orang tua kamu adalah salah satu sosok paling disegani se-Pagarbuyung, dua orang Sakti Mandraguna paling ditakuti oleh siapa pun, kawan atau lawan. Angek Garang dan Mamak Kramat berusaha keras sejak lama untuk membuat mereka membelot, dengan iming-iming kekuasaan dan harta berlimpah. Namun kedua orang tua kamu adalah manusia paling setia dengan moral paling tinggi yang paman pernah kenal. Pastinya mereka menolak tegas. Ketegasan yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka.” 

Mata Rancak perlahan tampak hidup, dipenuhi rasa ingin tahu bercampur secercah sinar kemarahan. Balang kembali terlihat gelisah di sampingnya.

“Mereka juga orang paling pandai di antara kami semua,” lanjut Sutan Ameh dengan suara bergetar.

“Mereka sadar, menolak tawaran Angek Garang berarti menyetujui kematian mereka sendiri. Dan mereka siap mati… Karena itu mereka mempersiapkan dengan sangat matang dua hal paling penting sebelum kedatangan Angek Garang dan Mamak Kramat malam itu,” mata Sutan Ameh menatap jauh ke tengah kegelapan malam, seakan kembali ke malam tragedi penuh darah itu.

“Pertama mereka mencuri Tiara Sukma, mahkota kerajaan yang sudah ada sejak Raja pertama Pagarbuyung berkuasa, simbol terbesar dari penguasa kerajaan. Mahkota ini sangat sakti, berbahaya jika dipakai oleh kepala yang salah. Beratus tahun dia menjaga dan memupuk akhlak dan kebijakan raja-raja besar, menjadikan mereka penguasa-penguasa yang sangat dicintai rakyat. Mahkota itu bisa merasakan niat paling dalam dan akhlak mulia dalam diri raja-raja tersebut, terlepas cara mereka sampai ke tahta. Mahkota itu membaca niat, karena itu yang paling utama. Bibit niat dalam diri seorang penguasa inilah yang akan dipersubur dan dibiakkan oleh Tiara Sukma, sampai mencapai titik tertinggi.”

Rancak hanya menyimak, tanpa berani menyela.

“Angek Garang berbeda, orang tuamu tahu itu sejak awal. Mereka satu angkatan di Cerdik Pandai. Tiga tahun menghabiskan waktu bersama lebih dari cukup bagi orang tuamu untuk bisa membaca sifat aslinya. Ada titik hitam dalam hatinya, sumber kejahatan yang… m-m-mengerikan,” Sutan Ameh hampir tidak bisa menyelesaikan ucapannya.

Lihat selengkapnya