Rancak Bumi & Sakti Mandraguna

Diano Eko
Chapter #5

BAB 4: CERDIK PANDAI PT. 1

Setelah berkuda cukup lama menembus hutan rimbun dan semak-semak belukar, menjelang tengah malam mereka pun sampai di Bangko, sebuah negeri terluar yang berada persis di antara Bukit Duri dan Rimba Baris. Bangko adalah salah satu wilayah pertahanan manusia dari serangan semua makhluk yang menghuni Rimba Baris, dengan sebuah benteng berdiri kokoh di sepanjang perbatasannya dengan rimba larangan itu. Berbeda dengan Tembok Kamling, keberadaan Bangko tidak diketahui oleh banyak orang.

Benteng ini dijaga oleh Punggawa, pasukan terpilih yang mendedikasikan hidup mereka untuk menjaga Bangko. Meski pun benteng ini tidak ada apa-apanya dibanding Kamling, namun peranannya tidak kalah penting dalam melindungi manusia dari para penghuni Rimba Baris yang terkutuk.

Bangko ternyata tidak seperti yang Rancak bayangkan, dari cerita sekilas yang dia dengar dari Sutan Ameh. Negeri ini tidak terlalu luas, namun sangat elok dan indah. Keseluruhan negeri diapit oleh dua ngarai besar. Dua ngarai itu terbentuk dari bebatuan alam hitam legam yang sudah berusia ribuan bahkan jutaan tahun, tidak ada yang tahu persis. Dari sela-sela batu mengalir air, dari kecil sampai besar, dengan deras, membentuk rangkaian air terjun tinggi dari puncak ngarai. Sebuah pemandangan yang sangat menawan mata. 

Penghuninya tidak banyak, tinggal di padang hijau datar di bagian tengah ngarai, di dalam pondok-pondok kayu kokoh. Rangkaian batu ngarai besar di sekelilingnya seakan menjadi dinding perkasa yang melindungi mereka. 

Di ujung paling kanan terdapat satu celah besar di antara dua ngarai, dijaga ketat, celah untuk memasuki Rimba Baris. Di celah inilah bangunan benteng keramat yang dijaga oleh para Punggawa berdiri, gerbang masuk dan keluar ke arah Rimba Baris. Garis perbatasan lain adalah tebing ngarai, yang sudah dirapalkan mantra kuat, sehingga hampir mustahil untuk bisa ditembus, baik oleh manusia, binatang buas, mau pun makhluk gaib.

Di Bangko terdapat sebuah padepokan yang bernama Cerdik Pandai. Rancak tidak pernah mendengar nama padepokan ini pernah disebut-sebut sekali pun sebelumnya. Sutan Ameh seperti sengaja tidak menyinggungnya sama sekali. Pada dasarnya semua penduduk Bangko adalah penghuni Cerdik Pandai. Ada guru-guru yang mengajar beragam ilmu, mulai dari silat, ilmu dalam, filosopi, sampai sejarah. Ada juga petugas-petugas yang bertanggung jawab di dapur untuk menyediakan makanan bagi semua orang, petugas yang mengamankan seluruh padepokan, sampai orang-orang yang bertugas menjaga padepokan agar tetap bersih dan asri. Namun, jumlah yang paling banyak dari semuanya adalah murid-murid, yang dikirim dari semua penjuru benua untuk menuntut ilmu di sini.

Cerdik Pandai bukan padepokan biasa, tapi sebuah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang, diperuntukkan khusus bagi anak-anak yang memiliki aura sakti di sekeliling mereka, yang disebut Mandraguna. Aura ini dimiliki oleh orang-orang terpilih, yang konon hanya ada lima orang di setiap tahun lahir. 

Mereka sudah dikarunia Mandraguna sejak berada dalam kandungan, namun hanya akan diketahui dan terlihat saat mereka menginjak akil baligh, di umur 15-17 tahun. Untuk beberapa orang Mandraguna bisa memancar di usia sangat muda, atau bahkan tidak muncul sama sekali sampai mereka berumur 25 tahun. Meski pun itu kasus yang sangat langka, hampir tidak ada catatannya di kitab sejarah mana pun.

Mandraguna tidak bisa dilihat dan dirasakan oleh sembarang orang. Hanya sesama pemilik Mandraguna yang bisa, itu pun hanya mereka yang sudah menjadi seorang Sakti. Cerdik Pandai adalah padepokan untuk mendidik para pemilik Mandraguna, untuk menjadi sekumpulan Sakti Mandraguna. Orang-orang ini adalah para pendekar terbaik, berilmu tinggu, yang selama ribuan tahun diam-diam menjaga perdamaian dan kerukunan di seantora Palak Laweh, dari pesisir Tabayur, Pagarbuyung, sampai Rimba Baris, jauh sejak sebelum masa Perang Besar Dua Dunia. 

Para pendekar itu hidup membaur dengan masyarakat banyak, sebagai pejabat kerajaan, penguasa negeri, guru, atau sebagai petani biasa. Apa pun peran mereka sehari-hari, dalam dunia mereka yang penuh dengan kerahasiaan, peranan mereka adalah sama: penjaga perdamaian. Mereka harus siap kapan pun menjalankan tugas saat dibutuhkan.

Setiap murid di Cerdik Pandai harus menghabiskan waktu tiga tahun di Bangko, sebelum lulus menjadi seorang Sakti. Tiga tahun yang penuh kerja keras, dan marabahaya. Karena semua yang mereka pelajari di sini, diam-diam juga dipelajari oleh sekelompok makhluk kasat mata dan manusia sesat di Rimba Baris. Namun berbeda dengan yang diajarkan di sini, penghuni Rimba Baris itu merubahnya menjadi ilmu-ilmu hitam yang terkutuk. 

Dan makhluk-makhluk jahat itu tak henti-hentinya berusaha untuk menerobos memasuki Cerdik Pandai, menggunakan cara apa pun, untuk mencuri kitab-kitab sakti langka yang terismpan di sana, supaya mereka bisa pelajari langsung isinya tanpa harus mencuri dengar dari kejauhan. Seringkali cara yang dipakai adalah cara paling halus yang tidak terlihat sama sekali, dengan merasuki murid-murid baru, mengambil alih jiwa dan mengendalikan raga mereka. Cara ini memungkinkan mereka menghabiskan tiga tahun di padepokan itu tanpa diendus siapa pun, sebelum menjadi dukun-dukun hitam jahat yang selamanya bersekutu dengan iblis.

Jiwa-jiwa yang mereka rampas akan dipasung di Alam Nihil, akan mengapung, kelayapan tanpa arah dan tujuan yang jelas, sampai ada yang membebaskan dan mengembalikan mereka ke raga aslinya. Malangnya bagi jiwa-jiwa itu, setelah tidak dibutuhkan lagi, para makhluk jahat itu akan menghancurkan raga yang sudah mereka pakai, membuat jiwa-jiwa pemiliknya terperangkap di Alam Nihil selamanya.

Sutan Ameh dan Rancak, masih dikawal dua orang laki-laki tegap, berjalan bergegas ke sebuah pondok kayu, yang berada persis di samping bangunan besar, pusat padepokan, yang jelas terlihat lebih besar dari pondok-pondok lain di sekitarnya. Penghuni pondok itu adalah Sutan Basri, Kepala Padepokan, yang baru menjabat sejak musim pengajaran tahun lalu. 

Salah satu dari laki-laki tegap itu mengetok pintu pondok dengan hati-hati.

“Masuk!” terdengar suara berat yang sedikit parau dari dalam pondok. 

Laki-laki itu lalu membuka pintu, mempersilakan Sutan Ameh dan Rancak masuk, sebelum berjaga di luar pondok bersama laki-laki yang satu lagi.

“Salam, Sutan. Maaf kami menggangu tengah malam begini.” Sutan Ameh menyapa pria yang duduk tenang di depannya, sambil memperhatikan seluruh ruangan di hadapannya perlahan. 

Susunan isi ruangan itu sangat berbeda dengan yang dia ingat saat terakhir kali berada di sana. Sama halnya dengan orang yang dia temui, juga berbeda saat itu.

“Salam, salam. Selamat datang di Cerdik Pandai, Sutan Ameh. Saya banyak mendengar tentang Sutan, senang akhirnya bisa bertemu muka.” Sutan Basri bangkit dari duduk, menjabat tangan Sutan Ameh. 

Tangan dan matanya berpindah ke arah Rancak. Sesaat dia tampak tertegun, dengan mulut hampir ternganga.

“Kamu pasti Rancak,” Sutan Basri menjabat tangan anak itu. 

Lihat selengkapnya