Riana duduk di sudut tempat tidurnya, berdiam tertunduk. Hening sekali hingga terdengar detak jarum jam di ruangan. Beberapa saat kemudian Riana berdiri perlahan, lalu melangkah menuju balkon kamar. Dia buka tirai dan pintu kaca besar yang memisahkan kamarnya dari udara luar. Dibiarkannya hembusan hangat sore menyapa masuk.
Riana keluar dari kamarnya dan berdiri di balkon, memperhatikan daun-daun diantara desir angin sore itu. Ditariknya napas panjang, lalu kembali menunduk perlahan. Riana berbalik melangkah lagi ke dalam kamar. Langkahnya pelan, lebih lambat dari detak jarum jam yang terdengar. Raut mukanya nampak gelisah, seperti memikirkan sebuah hal besar. Mungkin tentang pekerjaan
Ternyata tidak, bukan itu, Riana hanya sedang rindu. Rindu pada sosok lelaki yang mengagumkan. Sosok yang terus muncul di pikirannya sejak pertama kali bertemu. Padahal saat itu, Si lelaki hanya berdiri sebentar di hadapannya, menyebut singkat nama Riana, lalu pergi begitu saja. Tapi pesona itu terus menghantui, magisnya masih tetap disini dan wangi yang tidak pernah pergi. Rindu memang tidak selalu menyenangkan.
Pertemuan Pertama,
Riana teringat saat itu sedang sangat gugup di hari pertama bekerja. Riana termenung di sudut ruang make up, hingga tiba-tiba seorang laki-laki berdiri di hadapannya. Menatap laki-laki ini justru membuat pikiran Riana semakin membeku.
"Alinea Riana?" Laki-laki itu mengucapkan nama Riana.
"Iya betul Mas" jawab Riana pelan, sembari mengumpulkan kesadaran yang melayang-layang.
"Oke." Jawab lelaki itu singkat.