RANGGA WARSITA (SULUK SUNGSANG BAWANA BALIK)

Sri Wintala Achmad
Chapter #1

DESA PALAR SUATU KETIKA #1

“Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

Yen tan melu anglakoni

Boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsaning Allah

Begja-begjane wong lali

Luwih begja kang eling lawan waspada.”[1]

MALAM seketika hening seusai Nyai Tutur memupus lantunan tembangnya. Pupuh Sinom dalam Serat Kalatidha yang digubah Raden Ngabehi Ranggawarsita Kaping Telu. Pujangga pamungkas dari Surakarta yang masih merupakan benih pertemuan trah Kebo Kenanga dan Pangeran Tumenggung Sujanapura dari Pajang.

Di bawah beringin yang serupa raksasa berambut gimbal, Nyai Tutur duduk bersimpuh di atas hamparan tikar mendong. Mendongakkan wajahnya untuk menatap purnama yang berlapiskan kabut. Sejenak kemudian, Nyai Tutur memalingkan wajah keriputnya ke arah kuburan mendiang Ranggawarsita di Desa Palar yang serasa dingin dalam gigil itu. Segigil kehidupan sang pujangga di masa silam. Kehidupan yang mengajarkan bagi orang-orang untuk selalu eling dan waspada di tengah gebalau jaman gemblung.

Dalam diam, Nyai Tutur yang kembali teringat tentang kisah perjalanan hidup Ranggawarsita dari mendiang ayahnya Ki Wiracarita itu hanya menghela napas. Kisah hidup sang pujangga yang dapat dilukiskan seperti gunung. Semakin di puncak semakin heneng, hening, dan henung dalam terpaan angin kencang. Henang di balik kematiannya yang berselimutkan kabut kerahasiaan.

***

Seirama purnama yang hampir bersinggasana di titik langit terpuncak, malam merayap diam-diam. Tak ada suara yang tertangkap oleh jaring telinga Nyai Tutur, selain nyanyian serangga dan derik ular dari balik bebatuan di luar makam mendiang Ranggawarsita. Nyanyian malam yang seolah mengisyaratkan waktu terbaik bagi orang-orang untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

           Perlahan-lahan, Nyai Tutur beranjak dari hamparan tikar mendong. Langkah kakinya diarahkan lurus ke kuburan mendiang Ranggawarsita. Seusai membakar kemenyan, ia melafalkan doa. “Dhuh, Gusti Kang Hamurbeng Gesang. Hamba memohon pada-Mu untuk senantiasa mengampuni segala dosa sang pujangga! Lapangkanlah surganya! Berikan ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkannya! Amin, amin, ya robal alamin.”

Nyai Tutur mengusap wajahnya yang berkeriput dengan kedua tapak tangannya. Meninggalkan kuburan mendiang Ranggawarsita. Melangkahkan kakinya menuju hamparan tikar mendong di bawah pohon beringin yang menggugurkan daun-daun kering. Bersimpuh sembari kedua tangannya sibuk melipat-lipat tiga lembar daun suruh yang telah dibubuhi selelet injet dan secuwil gambir.

Selagi mengunyah kinang, sepasang mata Nyai Tutur menangkap sesosok tubuh lelaki muda yang tengah berjalan menuju kuburan mendiang Ranggawarsita. Seolah tak berkedip, perempuan paruh baya itu mengawasi lelaki muda yang tampak khusyuk berdoa di kuburan sang pujangga.

Nyai Tutur tak bergeming, saat lelaki muda yang seusai berdoa di kuburan mendiang Ranggawarsita itu menghampirinya. Dengan nada ramah, perempuan paruh baya yang sedikit menggeser pantatnya itu mempersilakan lelaki muda itu untuk duduk di tikar mendongnya.

“Terima kasih, Nyai.” Lelaki muda itu meletakkan pantatnya di atas tikar mendong. Menjabat tangan Nyai Tutur erat-erat. “Perkenalkan, Nyai. Namaku Pangripta Lelana. Aku datang dari Kampung Yasadipuran. Kalau boleh tahu, siapa nama Nyai?”

Lihat selengkapnya