“Pamintaku nimas sida asih
Antut runtut tansah reruntungan
Ing sarina sawengine
Datan ginggang sarambut
Lamun adoh cakete ati
Yen celak tansah mulat
Sida asih tuhu
Pindha mimi lan mintuna
Ayo nimas bareng hanetepi wajib
Sida asih bebrayan.” [1]
“TEMBANG yang barusan Kangmas Sudira lantunkan itu sungguh membuatku terlena.” Nyi Ageng Pajangswara yang berbaring di samping Sudiradimeja[2] itu melontarkan senyuman manis dari setangkup bibir mawarnya. Perlahan-lahan puteri Suradirja Gantang itu memiringkan tubuhnya, hingga wajahnya dapat menangkap dada bidang Sudiradimeja yang berbulu. “Sungguhkah Kangmas Sudira mencintaiku sampai kaken-ninen?”
“Tak hanya sampai kaken-ninen. Namun cintaku pada Dhiajeng Pajangswara sampai delahan.”
“Semoga apa yang Kangmas katakan itu tulus dari hati. Karena kenyataannya, banyak lelaki yang mengucapkan kata cinta pada wanita hanya sedangkal bibirnya. Tak sampai sedalam jiwanya. Bahkan kata cinta lelaki itu hanya dijadikan kunci untuk menggagahi tubuh wanita. Ibarat kekupu. Sesudah mendapatkan sari bunga, lelaki itu pergi untuk mencari bunga yang baru.”
“Tapi, lelaki yang kau lambangkan sebagai kekupu itu bukanlah aku! Percayalah, Diajeng Pajangswara! Cintaku itu seperti lentera dalam malammu. Detak dalam jantungmu. Merah dalam darahmu.”
“Ya, Kangmas. Melalui pancaran kedua matamu, aku dapat menangkap cahaya cintamu yang meneduhkan jiwaku malam ini.”
“Syukurlah, Dhiajeng.”
Nyi Ageng Pajangswara meletakkan tapak tangan yang selembut sutra itu ke dada bidang berbulu Sudiradimeja, hingga detak-detak cinta lelaki pujaannya itu dapat dirasakan oleh kepekaan nalurinya. Hingga kehangatan tubuh lelaki pujaannya itu serasa kehangatan api unggun di ujung malam musim kemarau. Menghangatkan tubuhnya yang mulai kedinginan.
Menangkap makna di balik usapan tapak tangan Nyi Ageng Pajangswara yang dinaik-turunkan dari dada hingga pusarnya, Sudiradimeja perlahan-lahan memiringkan tubuhnya. Menyibak rambut isterinya. Mendekap erat tubuh dan mencium lembut kening isterinya. Keduanya kemudian menyatu dalam satu pagutan. Menyatu dalam satu lumatan lidah yang membakar sumbu obor berahi.
Hasrat berahi Sudiradimeja yang semakin menggelegak telah mencapai ubun kepala. Dengan pelan namun pasti, Sudiradimeja melepaskan kebaya, kotang, bengkung, dan jarik Nyi Ageng Pajangswara. Hingga di matanya, isterinya itu serupa sebidang ladang terbuka yang telah siap dicangkul.
Dipan tempat dimana Sudiradimeja dan Nyi Ageng Pajangswara tengah berhelat dalam kubang lumpur asmara itu berderit-derit. Tak lama kemudian, deritan-deritan dipan yang menembus dinding ruangan tidur Tumenggung Sastranegara[3] itu tak terdengar lagi, seusai Sudiradimeja memancarkan benih kehidupan ke dalam guwa garba Nyi Ageng Pajangswara dari lubang kelakiannya.
Sebagaimana tubuh Nyi Ageng Pajangswara, tubuh Sudiradimeja merebah lunglai di atas dipan. Tubuhnya basah kuyup dengan keringat. Selangkangannya lekat dengan lendir berahi. Dalam menung, ia menatap langit-langit kamar. Mata batinnya menangkap, kilatan cahaya putih yang merasuk ke dalam goa rahim isterinya. Sang sukma yang bakal memberikan kehidupan pada segumpal daging si jabang bayi.
***
Tiga bulan sesudah cumbana di malam pengantin itu, hati Sudiradimeja berbunga-bunga. Manakala Nyi Ageng Pajangswara yang sering muntah-muntah di pakiwan itu mulai mengidam ikan laut dan buah-buahan. Tidak hanya apel yang berasa manis, namun pula jambu air, kedondong, belimbing, kokosan, duku, kemundung, pakel, dan mangga mentah.
Pada bulan kehamilan Nyi Ageng Pajangswara yang ke tujuh, harapan Sudiradimeja untuk mendapatkan buah hati semakin tampak di ujung mata. Pada waktu itulah, sepasang suami-isteri itu bersiaga untuk melakukan upacara mitoni. Suatu upacara yang dimaksudkan agar si jabang bayi kelak lahir selamat. Diharapkan agar sesudah dewasa, jabang bayi itu kelak menjadi manusia pinunjul yang berguna bagi nusa, bangsa, dan negaranya.
Menjelang malam upacara mitoni, perempuan-perempuan yang tinggal di sekitar Ndalem Yasadipuran itu sibuk mempersiapkan ubarampe. Sepasang kelapa gading yang bergambar wayang Arjuna dan Dewi Subadra, sesaji, pengaron-pengaron berisi air kembang setaman, serta tujuh macam jarik yang masih baru.
Selepas waktu ‘isya, upacara mitoni dilaksanakan di halaman pendhapa Ndalem Yasadipuran. Bermula dari Tumenggung Sastranegara, Ki Suradirja Gantang, hingga kelima sesepuh yang mengenakan blangkon dhepes, beskap putih, dodot cinde, jarik, dan pendhok itu menyiramkan segayung air kembang setaman ke tubuh Nyi Ageng Pajangsawara dan Sudiradimeja. Seusai upacara siraman, Nyi Ageng Pajangswara menyalin jarik basahan dengan enam macam jarik baru. Sebelum jarik ke tujuh yang dianggap pantas itu dikenakannya.