RANGGA WARSITA (SULUK SUNGSANG BAWANA BALIK)

Sri Wintala Achmad
Chapter #3

KEPERGIAN BAGUS BURHAN DARI KAMPUNG YASADIPURAN #3

DETIK-DETIK yang merangkak melintasi titik-titik menit telah berubah menjadi jam. Jam-jam yang bergerak melintasi titik-titik hari telah berubah menjadi minggu. Minggu-minggu berubah menjadi bulan. Bulan-bulan berubah menjadi tahun. Hingga tidak terasa bagi Tumenggung Sastranegara, bila Bagus Burhan cucunya itu telah genap berusia duabelas tahun.

Tumenggung Sastranegara merasa senang bila melihat perkembangan tubuh Bagus Burhan yang sempurna. Kulit anak itu bersih kuning nemu giring. Wajahnya tampak bersinar. Kedua matanya berkilauan seperti bintang kembar. Gerakannya sangat lincah dan seolah tak mengenal lelah. Di mata sang tumenggung, Bagus Burhan memiliki raga dan jiwa yang sangat sentosa. Memiliki otak yang cemerlang. Hinga ia selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkadang sesuatu itu bertentangan dengan ajaran-ajaran leluhurnya.

Berlainan dengan Sudiradimeja yang selalu membatasi gerak-gerik Bagus Burhan, Tumenggung Sastranegara lebih memanjakan anak itu. Segala kemauannya dituruti. Sang tumenggung tak selalu memberikan apa yang diminta cucunya itu. Tidak hanya mainan, namun pula uang. Bahkan ia tak pernah marah, saat cucunya itu diconangi telah mencuri uang dari slepen-nya. Buat berjudi dadu dan bersabung jago bersama Tanujaya dari Kampung Yasadipuran hingga ke kampung-kampung di tlatah Kasunanan Surakarta.

Mendengar desas-desus tentang perilaku buruk Bagus Burhan dari orang-orang Kampung Yasadipuran, Tumenggung Sastranegara hanya terdiam. Bahkan sang tumenggung hanya mengangap bahwa perilaku buruk cucunya itu sekadar bentuk kenakalan seorang bocah yang ingin tahu tentang segala hal. Ia pun tak pernah marah, sekalipun cucunya yang disertai Tanujaya saat berjudi dadu dan bersabung jago itu pulang dengan membawa kekalahan. Seluruh uang di saku baju dan celananya habis terkuras di arena perjudian.

“Ramanda Tumenggung….” Sudiradimeja yang tengah menghadap Tumenggung Sastranegara di ndalem jero pagi itu tampak menunjukkan rasa kekecewaannya. “Aku heran. Kenapa Ramanda selalu membiarkan perilaku buruk Burhan? Bahkan Ramanda selalu memberikan uang pada Burhan untuk berjudi dadu dan taruhan di arena sabung jago itu? Apakah Ramanda senang bila Burhan kelak menjadi penjudi yang bila mengalami kekalahan selalu bermata buta untuk mencuri dan merampok harta dan benda orang lain?”

“Sabar! Sabar, anakku!”

“Tidak, Ramanda. Dalam hal ini, aku tak bisa sabar.” Wajah Sudiradimeja berubah bagai piringan tembaga yang terbakar. “Terus terang, Ramanda. Bila Ramanda Tumenggung selalu membiarkan Burhan untuk mengembangkan perilaku buruknya itu, lebih baik aku harus mengambil tindakan. Memasung Burhan di dalam senthong.”

“Apa? Memasung Burhan?”

Tanpa melontarkan sepatah kata, Sudiradimeja yang bekerja sebagai carik di Kasunanan Surakarta itu meninggalkan ndalem jero. Setiba di halaman pendhapa, ia melangkahkan kakinya menuju gedhogan. Mengeluarkan kuda hitamnya. Seusai duduk di gigir kuda itu, ia melari-kencangkannya ke arah istana Kasunanan Surakarta. Berkerja pada Sri Susuhunan Pakubuwono sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Selepas Sudiradimeja, Tumenggung Sastranegara meninggalkan ndalem jero. Menuju samping kiri dapur Ndalem Yasadipuran. Menghampiri Bagus Burhan dan Tanujaya yang tengah memandikan jagonya. “Burhan! Mulai hari ini, kau tak boleh bersabung jago, dan bermain dadu.”

“Kenapa, Kek? Bukankah selama ini, Kakek tidak pernah melarangku untuk bersabung jago dan bermain dadu?”

“Rama-mu tadi marah-marah padaku atas perilaku burukmu yang suka bersabung jago dan bermain judi itu. Karenanya hentikan perilaku burukmu itu, bila kau tak ingin dipasung oleh ayahmu di dalam senthong!”

Mendengar penuturan Tumenggung Sastranegara, wajah Bagus Burhan tampak seperti matahari yang terperangkap awan tipis. “Baiklah, Kek. Aku tidak akan bersabung jago dan bermain judi lagi. Asal Kakek memenuhi permohonanku.”

“Apa yang menjadi permohonanmu?”

“Berikanlah aku uang, Kek! Lebih baik, aku pergi dari rumah. Ketimbang dipasung di dalam senthong lantaran perilaku burukku itu.”

“Aku penuhi permohonanmu, Burhan.” Tumenggung Sastranegara memalingkan wajahnya ke arah Tanujaya yang barusan memasukkan jago Bagus Burhan ke dalam kurungannya. “Tanujaya! Ikutlah aku sebentar!”

Tanpa berpikir panjang, Tanujaya mengikuti langkah Tumenggung Sastranegara. Meninggalkan Bagus Burhan yang masih berdiri sendirian di tepian kurungan jagonya. Menuju ruang pendhapa. Berdiri dengan wajah setengah tertunduk di hadapan Tumenggung Sastranegara yang telah duduk di kursi jati berukir warna coklat tua itu.

“Tanujaya….”

“Hamba Gusti Nggung.”

“Sesungguhnya aku merasa keberatan bila Burhan harus meninggalkan Ndalem Yasadipuran. Namun demi masa depan Burhan, aku terpaksa mengabulkan permohonan cucuku itu.”

“Mohon ampun, Gusti Nggung! Bagaimana masa depan Gus Burhan akan lebih baik, bila Gusti Nggung membiarkan ia pergi tanpa juntrung?”

“Jangan berpikir bodoh, Tanujaya! Karenanya sebagai pemomong, kau harus membawa Burhan ke tempat yang tepat! Bawalah ia ke pondok pesantreng Gebang Tinatar di Desa Tegalsari! Mudah-mudahan Kakang Imam Besari dapat mendidik Burhan sebagai manusia yang berguna.”

“Jadi maksud Gusti Nggung, hamba harus membawa Gus Burhan ke pondok pesantren Gebang Tinatar? Menyerahkan Gus Burhan pada Kiai Imam Besari?”

“Tepat, Tanujaya. Ah…. Sebentar!” Tumenggung Sastranegara beranjak dari kursi. Menuju ruang kamar pribadinya. Sesudah menulis surat untuk Kiai Imam Besari dan mengambil dua kantong mori yang berisi uang, Tumenggung Sastranegara kembali memasuki ruangan pendhapa. “Tanujaya….”

“Hamba, Gusti Nggung.”

“Sampaikan surat ini pada Kakang Imam Besari!”

“Perintah Gusti Nggung akan hamba laksanakan.”

“Selain itu, Tanujaya. Terimalah dua kantong mori berisi uang ini sebagai perbekalanmu dan perbekalan Burhan! Bawalah kuda sebagai kendaraanmu menuju pondok pesantren Gebang Tinatar!”

Sepeninggal Tanujaya dari ruangan pendhapa, Tumenggung Sastranegara menuju halaman untuk melepaskan kepergian Tanujaya dan Bagus Burhan cucunya. Air mata meleleh di pipi Tumenggung Sastranegara yang mulai berkeriput, saat ia menyaksikan kuda yang dikendarai Tanujaya dan Bagus Burhan itu meninggalkan halaman Ndalem Yasadipuran. Menuju pondok pesantren Gebang Tinatar. Tanpa sepengetahuan Sudiradimeja yang tengah bekerja di istana Kasunanan Surakarta. Tanpa sepengetahuan Nyi Ageng Pajangswara yang tengah berkunjung di rumah orang tuanya – Ki Suradirja Gantang – di Desa Palar.   

***

Tanpa memperdulikan terik matahari yang terasa membakar ubun kepala, Tanujaya yang membawa Bagus Burhan menuju pondok pesantren Gebang Tinatar itu melaju-kencangkan kudanya. Meniti jalanan tanah coklat yang sontak mengepulkan debu musim kemarau. Setiba di tepian sungai kecil di Desa Sukoharja, Tanujaya menghentikan laju kudanya. Bersama Bagus Burhan, ia turun dari gigir kuda.

Tanpa kudanya, Tanujaya yang disertai Bagus Burhan menuruni jalan setapak menuju sungai kecil. Seusai membasuh kaki, tangan, dan wajahnya yang lekat dengan keringat, mereka menaiki jalan setapak itu. Menuju bawah pohon randu berdaun rimbun di tepian sungai. Duduk di tanah untuk melepas lelah. Mengisi perutnya dengan nasi berlauk wader goreng yang dibawa dari Ndalem Yasadipuran.

Semilir angin bertiup dari arah timur. Di depan sepasang mata Bagus Burhan, Tanujaya yang kemudian membuka bajunya lantaran keringat semakin membasahi tubuh kerempengnya itu bersandar pada pohon randu. Melaras suasana siang yang teriknya perlahan-lahan diredam semilir angin. Melantunkan tembang Sinom dengan suara sangat parau.

“Nuladha laku utama

Tumrape wong tanah Jawi

Wong agung ing Ngeksiganda

Panembahan Senapati

Kapati amarsudi

Sudanen hawa lan napsu

Pinesu tapa brata

Tanapi ing siyang-ratri

Amangun karyenak tyasing sesami

Samangsane pasamuan

Mamangun marta martini

Sinambi ing saben mangsa

Kala kalaning asepi

Lelana teki-teki

Gayuh geronganing kayun

Kayungyun eningin tyas

Sanityasa pinrihatin

Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra

Saben mendra saking wiswa

Lelana laladan sepi

Ngingsep sepuhing supana

Mrih pana pranawan kapti

Lihat selengkapnya