RANGGAS

Abdul Khalim
Chapter #1

1. Bayangan Hitam

BAYANGAN HITAM

 

Semua orang pasti pernah atau akan bertemu dengan yang namanya perpisahan. Sebuah kata yang menggambarkan sesuatu yang menyakitkan bagi orang yang tak mengenal kata rela. Kata itu sungguh menakutkan karena dari kata itu lah, tercipta ketidakpastian. Baik untuk yang pergi dan yang menetap. Demikianlah yang sekarang Ranggas alami. Ia harus rela berpisah dengan seseorang yang berharga baginya.

Di sebuah bandara, Ranggas berjalan menaiki tangga bersama salah satu superhero spesialnya. Superhero yang dimaksud Ranggas melingkarkan lengan kokohnya di pundak Ranggas. Begitu erat seakan tak mau melepas atau mungkin berada jauh dari Ranggas barang sejengkal.

Beberapa orang dengan koper atau tas besar melintas. Namun yang menjadi pusat perhatian Ranggas adalah seseorang yang tengah sibuk memainkan ponselnya. "Mungkin ia sedang bertukar kabar dengan orang terdekatnya, atau mungkin kekasihnya." Pikir Ranggas yang membuatnya semakin larut dalam situasi yang mana saat ini dirinya harus berpisah dengan sosok ayah karena urusan pekerjaan.

Ketika Ranggas sedang sibuk mengamati keadaan sekitar, Superheronya menghentikan langkah. Ia melepas rangkulannya lalu membungkuk menatap Ranggas dengan tatapan yang tak biasa. "Ranggas, Ayah pergi dulu. Jangan lupa jaga nenek baik-baik." Ucap ayah Ranggas yang sebagian wajahnya telah timbul kerutan kecil. Ia mengacak-acak rambut Ranggas sambil memberi sebuah senyum hangat. Ranggas dari dulu menganggap ayahnya sebagai superhero. Julukan itu muncul karena ayahnya adalah sosok yang selalu hadir ketika Ranggas mengalami kesulitan. Tak hanya itu, ia juga rela berkorban demi kebahagian Ranggas.

Ranggas hanya bisa diam mematung.

Ayahnya memegang pundak Ranggas dengan kedua tangannya lalu menatap wajah Ranggas lekat-lekat. “Ayah tahu, betapa kesepiannya dirimu. Ayah pun merasakan apa yang sebenarnya kamu rasakan. Tapi...” Ia mengencangkan cengkeramannya. “Ayah percaya, pelangi hanya muncul di saat mendung dan hujan telah reda. Yakinlah… Bunga akan mekar setelahnya.”

Ranggas mengangkat bahu, menarik nafas dalam-dalam, mencoba memasukkan oksigen ke paru-paru lalu menyalurkannya ke otak agar dapat berpikir jernih. Sebenarnya banyak yang ingin Ranggas sampaikan padanya. Tapi entah kenapa rasanya begitu berat melebihi beban tas yang ia bawa. “Baik yah, aku paham maksud ayah.” ucapnya lirih.

Ayah Ranggas tiba-tiba merogoh sakunya. Lantas menunjukkan sebuah arloji pada Ranggas, lalu berteriak disertai senyum lebar, “Selamat ulang tahun! Ranggas Aditama! Putra tunggal kebanggaan ayah!” suaranya menggema terpantul dinding bandara. Beberapa orang sempat menoleh, membuat Ranggas tersenyum malu-malu. Ayah Ranggas mendekatkan arloji itu. Membuat Ranggas canggung untuk menerimanya.

Ranggas menajamkan pandangannya, menatap arloji itu lekat-lekat, tak ingin melewatkan detailnya. Terlihat jelas bahwa itu barang baru. Meskipun tanpa kotak, Ranggas yakin bahwa itu benar-benar bukan barang bekas. Warnanya begitu mengkilap. Warna perak, warna yang ia sukai dipadukan dengan jarum jam berwarna putih tulang. Di bagian atas, terdapat sebuah layar kecil penunjuk hari dan tanggal. Sedangankan di sisi yang lain, terdapat tombol-tombol yang mungkin akan dipahami fungsinya seiring Ranggas memakainya. “Aku pasti akan memakainya!” ucap Ranggas bersemangat.

Suasana seketika terasa hening meskipun sebenarnya ramai. Ayah Ranggas tiba-tiba menunduk menatap arloji yang sekarang telah terpasang di tangan kiri Ranggas sambil mengusapnya. “Ayah minta maaf, telat satu hari.” Ia mengangkat wajahnya. “Ya… meskipun telat, semoga ini bermanfaat dan membuatmu tidak telat berangkat ke sekolah.”

Ranggas kembali mematung karena tak tahu apa yang harus ia lakukan. Sebab jauh di dalam hatinya, Ranggas merasa tak berguna dan tak memiliki apapun untuk dibanggakan, nilai bagus di sekolah pun ia merasa hasil rasa kasihan para guru. Namun, orang di depannya tak memandang itu. Ia selalu membanggakannya. “Aku orang gagal!” Batinnya.

Jantung Ranggas berderu sangat kencang. Rasa panas mulai menyelimuti matanya yang mulai basah. Seakan berdesakan untuk keluar, Ranggas mendongakkan kepala. Dirinya tak ingin air itu benar-benar tumpah. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan ayahnya.

Melihat mata Ranggas yang mulai memerah, ayahnya buru-buru mendekapnya dalam pelukan, “Sekejam-kejamnya dunia, tanam dalam-dalam ini di benakmu, bahwa batu sekeras apapun pasti dapat terkikis oleh tetesan air. Termasuk air matamu. Menangislah. Siapa tahu dunia akan tunduk oleh tangisanmu juga.”

Mendengarnya, mata Ranggas perlahan mulai mendingin, nafasnya juga perlahan kembali teratur. “Makasih ayah. Meski ayah jauh, jangan lupa untuk terus mendoakanku.”

Ayah melepas pelukannya, mendekapkankan arloji itu ke dada Ranggas. “Ayah berangkat dulu.”

Ranggas mengangguk cepat. “Hati-hati, jangan lupa berdoa.”

Ayah Ranggas membalas dengan jempolnya lalu beranjak pergi menyusuri lorong bandara. Dalam hitungan menit ia benar-benar hilang di telan kerumunan.

Ranggas mencoba tegap sambil menarik kedua tali tas miliknya. Ia mulai berjalan keluar dari bandara. Seiring langkahnya, dirinya mencoba mengamati lalu lalang orang yang keluar masuk bandara. Sepenglihatannya, ia menemukan dua raut wajah. Wajah pertama adalah wajah cerah. Tergambarkan di wajah mereka, alis dan senyum yang terangkat. Ranggas mengira mereka adalah orang-orang yang akan menjemput kebahagiaan. Bisa saja mereka akan bertemu dengan keluarga yang dirindukan, atau mungkin bertemu dengan orang yang ia cintai, pacar atau tunangannya. Ya, mereka pulang. Sedangkan orang kedua yang ia temui adalah orang-orang yang kurang beruntung. Mata sayu, kulit kusam, dan bibir datar atau mungkin melengkung ke bawah mungkin cukup untuk memperkuat argumen Ranggas. Ia mengibaratkan orang-orang itu seperti dirinya. Benar, ia ditinggal pergi oleh ayahnya untuk waktu yang tak sebentar.

***

Sudah menjadi kebiasaan Ranggas, ketika langit mulai berwarna oranye, ia selalu mengajak neneknya untuk sekedar jalan-jalan di alun-alun kota. Rutinitas itu sebenarnya adalah inisiatif ayahnya. Tapi beberapa bulan lalu, ayahnya harus pergi entah kemana, jadi sampai sekarang, rutinitas itu Ranggas lakukan hanya dengan neneknya.

Akhir-akhir ini, setiap kali mereka berdua tiba di bangku taman di bawah pohon pucuk merah sebelah barat, nenek pasti minta duduk dan mengatakan kalimat yang sering Ranggas dengar.

“Kamu tahu,” Neneknya tersenyum, memperlihatkan gigi yang hampir habis dimakan usia. Hanya gigi gerahamnya yang tersisa, itu pun sebagian sudah mulai keropos. “Dulu di tempat ini, nenek bertemu orang yang kau panggil kakek.” Meski diulang-ulang, Ranggas selalu bahagia mendengar kalimat itu dan tak punya alasan untuk hal tersebut.

Hari ini adalah hari sabtu. Hari yang sering dinanti oleh sebagian besar anak muda. Beberapa jam yang akan datang, tempat-tempat hiburan pasti akan ramai. Beberapa komunitas akan melakukan acara kumpul-kumpul di pinggir-pinggir jalan. Pedagang akan memperbanyak stok dagangannya. Beberapa orang tua akan mengajak anak-anaknya untuk bermain dan membelikan mereka mainan baru. Anak-anak puber akan sibuk mencari tempat yang tepat untuk bertukar rindu atau mengungkapkan perasaan. Namun semua itu tak berlaku bagi Ranggas. Semua hari ia anggap sama. Memang pada kenyataannya dirinya tak punya kebahagiaan mingguan seperti mereka. “Ya kan nek?” Ucap Ranggas keceplosan.

“Apa?” Tanya nenek kebingungan.

“Eh...” Ranggas tersadar. “Bukan apa-apa kok nek.” Ucap Ranggas cengengesan karena bingung mencari pengalihan “Oh ya nek, katanya kita akan pergi ke warung Mbok Yem... Jadi kan?”

“Oh iya ya....nenek hampir lupa. Buntil mbok Yem tak boleh terlewatkan untuk menu makan malam kali ini.” Jawab nenek sambil beranjak dari bangku taman.

Ranggas lega nenek tak mengetahui keresahannya.

Mereka berdua sedikit mempercepat langkah sebab cahaya matahari mulai meredup, menyisakan warna merah bergradasi hitam di bagian timur. Orang-orang sudah mulai berdatangan ke alun-alun. Beberapa dari mereka bahkan sudah mendapatkan tempat strategis untuk mendaratkan beban kesibukan mereka seminggu yang lalu.

Seperti ayah, ketika mereka berdua berjalan, nenek Ranggas sering mengaitkan lengannya di pundak. Terlihat risih memang, namun nurani Ranggas buru-buru menepisnya karena ia menganggapnya bukan pelukan mesra, melainkan nenek umurnya sudah renta dan dirinya perlu menjadi penopang ketika neneknya berjalan. Mereka berniat memutar dan berbalik arah mengelilingi alun-alun. Keduanya melewati beberapa orang yang duduk di bangku taman. Beberapa pedagang juga sempat menawarkan dagangannya ke Ranggas, namun nenek buru-buru menolak. “Warung mbok Yem saja.” Kata nenek sedikit berbisik.

Awalnya Ranggas dan neneknya berjalan tenang. Hingga sebuah wajah yang membuat Ranggas tertunduk terlihat duduk tepat di samping sepeda motornya. Dia lah Ferdi. Orang yang hobinya merundung orang-orang seperti Ranggas.

Lihat selengkapnya