RANGGAS

Abdul Khalim
Chapter #2

2. Perburuan

PERBURUAN I

 

Malam ini bagi Ranggas seperti penuh melodi. Bukan instrumen sebenarnya, hanya suara pensil yang menari di atas kertas. Baginya, itu sudah ia anggap sebuah musik, pastinya tanpa lirik lagu.

Ia memandangi sketsa-sketsa yang tertempel pada steyrofoam berwarna biru. Sebagian sketsa juga ia gantung karena mereka -Sketsa-sketsa itu- tak dapat tempat. Imajinasinya yang menjadi sumber ide sketsa selalu saja menggerayangi neuron-neuron di otak dan memberi motivasi untuk menciptakan beberapa makhluk mitologi dan tempat-tempat fantasi yang menurutnya menakjubkan.

Menurut Ranggas, setiap ia akan tidur, mereka selalu mengawasi, menjaga, serta membuatnya tenang karena jika ada yang mengganggu, mereka akan cepat membereskannya.

Ranggas menghela nafas, “Apa kalian paham apa yang aku rasakan?” Tanyanya pada salah satu sketsa anak kecil dengan baju kumuh namun tersenyum sambil memainkan tongkatnya pada tanah yang mana Ranggas juga tak tahu sebenarnya apa yang ia lukiskan.

“Perlu kalian tahu, selama ini kalian ku anggap sebagai sahabat. Mungkin ini agak gila. Haha...” Ranggas menertawakan dirinya sendiri. Meski hal semacam itu lebih cenderung dimiliki oleh orang-orang autis, namun bagi Ranggas tidak. Ia menolaknya mentah-mentah. Dirinya berpikir manusia bebas memilih kebahagiannya sendiri.

“Boleh kan aku curhat pada kalian? Tapi eits!” Ranggas menuding sketsa kurcaci berwajah bengis. Dari raut wajahnya, Ranggas mengira ia tak senang jika dirinya berbagi perasaan. “Kamu nggak boleh berkomentar kali ini.” Ia kembali mengatur sirkulasi udara di paru-paru. “Oke aku lanjutkan. Kalian tahu sendiri… aku ini penakut, cupu, tak punya kekuatan layaknya laki-laki. Aku tak bisa melawan!” Tak terasa suara Ranggas meninggi tanpa ia sadari. “Aku orang kalah! Dan perlu kalian tahu, aku ini orang gagal!”

Ranggas kembali menebar pandangan ke seluruh sketsa.

Mereka -Para sketsa- diam. Meski beberapa sketsa terlihat bergerak tersentuh angin dari jendela yang memang belum Ranggas tutup, ia tetap menganggapnya diam karena tak memberi komentar terhadap apa yang Ranggas katakan.

“Seperti biasa, kalian selalu begini. Berilah aku saran atau masukan. Ini membosankan!” Ranggas meremas sketsa yang belum sempat ia selesaikan lalu membuangnya ke bak sampah. Bukan tempat sampah sebenarnya, lebih tepatnya kardus air mineral yang diletakkan di sudut ruangan.

Sejenak pikirannya terbang pada sosok ayah. Pikiran itu yang membuat Ranggas terkadang meragukan julukan “Superhero” yang ia berikan kepada ayahnya. Pikiran itu muncul karena ayah selalu menghilang saat dirinya berpikir bahwa ayahnya akan membantu untuk melawan mereka, para manusia normal yang seringkali mengejek dan merasa jijik melihat Ranggas dengan kelainan tanda lahir dan tak punya semangat hidup. Mereka adalah orang-orang penindas yang tak kenal empati dan orang-orang yang memiliki simpati namun tak ada aksi. Begitu juga setiap ada yang menanyakan siapa ibunya, ayahnya selalu lari. Serta pertanyaan -Apakah ayahku benar-benar baik?- seringkali muncul dan membuat rasa ragu semakin membumi jauh ke dalam perasaan. Ayahnya tak pernah protes ke pihak sekolah ketika Ranggas dirundung oleh Ferdi. Lebih parahnya, untuk sekarang ini, ayahnya sering pergi lama mengatasnamakan pekerjaan.

Ranggas beranjak dari kursi yang terasa hangat karena cukup lama ia mendudukinya. Ia matikan lampu, menyisakan lampu tidur berbentuk kubus hadiah dari Putri di hari ulang tahunnya yang ke-16. Ranggas meraih buku catatan milik Anonymous Human yang ia temukan beberapa hari yang lalu tertumpuk di antara buku-buku usang di sudut perpustakaan sekolah.

Ranggas menarik selimut, membiarkannya memberi kehangatan untuk dirinya. “Membaca mungkin akan membuatku lebih baik.” Pikirnya.

Jempol Ranggas mengusap sudut sampul yang telah berlubang dimakan rayap. Ia harap tak sampai ke dalam. Tak lupa ia bersihkan juga sampul berdebu dengan pangkal telapak tangan, membuat judul berisi huruf-huruf berfont sederhana semakin jelas.

“The Journey Of Dream” Ranggas mengejanya. “Sepertinya menarik.” Ia memutar badan ke kanan, membiarkan tubuhnya mendapatkan posisi ternyamannya.

Belum sempat ia menyelesaikannya. Sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang, membuat Ranggas terkejut dan spontan menutup buku.

Ranggas menoleh.

“Gimana tadi sekolahnya?”

Ranggas kembali tenang ketika tahu itu adalah neneknya. Seringkali nenek masuk ke kamarnya untuk menanyakan hal yang sama. Sekedar ingin tahu terhadap Ranggas dalam menangkap materi atau memastikan bahwa Ranggas tak disakiti oleh siswa lain. Nenek termasuk orang yang peduli terhadapnya. Superhero kedua tepatnya. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Nek.” Ranggas menjawab setenang mungkin agar yang ia ucapkan membuat nenek lega seiring Ranggas bangkit dan duduk bersandar bantal.

“Sukurlah, Oh ya...” Nenek mengusap muka Ranggas, membuat Ranggas reflek memejamkan mata menikmati tangan keriput tapi masih terasa kuat. Ia menata rambut ikal Ranggas yang sedikit terurai. “Jangan sekali-kali kamu berpikir tanda lahir berwarna hitam yang menutupi sebagian besar lehermu ini adalah aib yang membuat rasa percaya dirimu hilang.”

Seraya mendengar kelembutan perkataan nenek yang mengalir, Ranggas menatap wajahnya. Wajah lembut penuh kasih sayang serta kehangatan. Ranggas memang terlahir normal tanpa tubuh yang cacat. Namun ada sebuah tanda lahir besar yang memenuhi sebagian besar lehernya, membuatnya kurang percaya diri. Sampai-sampai, dulu ketika ia masih di sekolah dasar, dirinya selalu memakai syal agar teman yang melihatnya tak merasa takut dan menjauhinya. Sampai sekarang, nenek tak pernah berhenti mengatakan itu, membuat Ranggas semakin kuat dan berani melepas syalnya.

“Iya, Nek.” Jawab Ranggas sambil meletakkan buku catatan yang belum sempat ia baca. “Aku sudah menerimanya sebagai takdir. Hanya saja...” Ranggas tercekat. Beberapa diksi terasa berat untuk ia keluarkan meski mereka berdesakan memenuhi tenggorokan.

“Sssstt....” Kini nenek mulai mengusap bagian belakang kepala Ranggas. “Katanya sudah menerimanya sebagai takdir, jika kamu sudah menerimanya kamu tak boleh memiliki alasan apapun. Ya...” Nenek melebarkan senyumnya.

Ranggas menunduk memainkan jari. “Aku...aku merasa.... tak sanggup dengan perlakuan mereka, Nek.” Ia menatap wajah neneknya meski dengan air menggenang di sudut mata. “Mereka....selalu....menga...takan...aku buruk rupa lah, manusia setengah monster.....” Ranggas benar-benar hancur malam ini di hadapan orang yang ia anggap adalah orang kuat. “Baru-baru ini mereka mereka membuatkanku sebuah panggilan Si Rontok. Aku sebenarnya tak bisa menerimanya.....tapi....”

Nenek buru-buru mengelap kedua mata Ranggas dengan jempolnya. Begitu pelan. Ia benar-benar tak ingin menambah rasa sakit. “Tak baik berkata seperti itu. Pikiran itu sangat naif. Kamu harus membuangnya jauh-jauh. Kamu masih memiliki ayah, nenek, dan hampir lupa.....kau memiliki Putri. Kamu tahu bunga pukul empat?” Nenek memegang pundak Ranggas.

Ranggas balas mengangguk.

Kali ini Nenek mengambil nafas begitu dalam. Dilihat dari air mukanya, kelihatannya ia sedang merajut berbagai kata manis nun hangat dari kamus kepalanya.

“Bunga itu akan mekar jika matahari hampir tenggelam.” Nenek membuat jeda. Ia menatap ke arah jendela dan membiarkan semilir angin mengenai wajahnya. Di luar, malam begitu gelap karena malam ini bulan masih muda. Hanya lengkungan tipis, itupun sebagian tertutup awan. “Tak selamanya keindahan akan datang ketika terang. Di kala redup bahkan gelap, terkadang keindahan yang sesungguhnya akan muncul kalau waktunya tepat. Kamu tahu kapan waktu itu akan datang padamu?”

Ranggas menggeleng.

“Tak ada yang tahu. Maka teruslah berjalan. Jangan biarkan langkahmu terhenti oleh sebuah kerikil yang menyelinap di dalam sepatumu.”

Bagai tersihir, nenek bak penyair ulung yang tak kalah dengan para penyair-penyair yang merebak luas di kota ini. Perlahan senyum Ranggas terbentuk seperti bulan di luar jendela.

“Hei buku apa itu?” Ucap nenek menoleh ke buku yang tergeletak di samping Ranggas. Seperti biasa nenek selalu saja memecah suasana.

Ranggas buru-buru mengambilnya dan menunjukkannya. “Ini nek, sebuah buku catatan dari orang tak dikenal.”

“Ooohhh....” Mendengar kata buku, nenek acap kali seakan tak peduli. Mungkin karena minat baca nenek sudah menurun seiring penglihatannya yang merabun. “Ya sudah, nenek keluar dulu.”

Ranggas membalasnya dengan senyum.

Nenek beranjak dan berjalan pelan ke pintu. Sambil menutup pintu, ia menyempatkan diri menoleh ke arah Ranggas. “Sebelum tidur, jangan lupa pesan nenek… tutup jendela biar nggak masuk angin.”

Seperti sebelum-sebelumnya, Ranggas menjawabnya dengan senyuman.

Setelah pintu kamarnya tertutup, Ranggas kembali merebahkan tubuhnya dan menarik selimut. “Time to reading!” Bisiknya dengan nada penuh semangat. Ia membalik badan, membuat tubuhnya tengkurap bertumpu bantal.

“Tunggu.” Ucapnya menemukan keanehan pada buku catatan yang ia baca. Semua halaman kosong, menyisakan halaman paling belakang yang berisi tulisan, itupun tak lengkap satu halaman.

Ranggas mencoba mengeja hurufnya satu persatu. Memang sedikit sulit karena ditulis tangan. Dilihat dari bentuknya, tulisan itu juga dibuat dengan pena celup karena di sampingnya terdapat cipratan tinta yang tak beraturan.

“Temanmu pernah berkata, “Jangan sekali-kali kau menghilangkan bagian-bagiannya. Ia seperti rantai. Akan terus terhubung bahkan sampai pada sebuah kenyataan.” -Awang

Ranggas membacanya berkali-kali dan mencoba mencari makna yang dimaksud oleh sang penulis. Bukannya semakin jelas, justru kebuntuan yang ia temukan. Hanya satu pertanyaan yang terus saja terbang melintas dan berputar-putar di kepalanya. “Teman? Memangnya aku punya teman?”

***

“Astaga! Hampir lupa.” Ranggas melepas selimut dan mengucek matanya. Entah karena kantuk atau apa, ketika mencoba mencari arti dari pesan di buku itu, Ranggas ketiduran dan entah karena apa juga, ia terbangun dan mendapati jendela yang masih terbuka lebar. Karena teringat dengan pesan nenek untuk selalu menutup jendela ketika malam, Ia putuskan untuk bangkit dari ranjang dan berjalan mendekati jendela. Seiring langkah, ia mengencangkan sweaternya karena angin tiba-tiba masuk dengan kencang, sangat dingin hingga membuat giginya bergemelutuk.

Bisa-bisa dirinya dimarahi nenek jika lupa menutup jendela. Bukan tanpa alasan, melainkan memang neneknya akan khawatir meski ia hanya terkena masuk angin.

Kriiiiitttt!!! Pintu berderit.

Ranggas menoleh dan melihat ke arah pintu. Pintu itu terbuka sedikit, persis dengan apa yang dilakukan nenek beberapa waktu yang lalu sebelum Ranggas tak sengaja ketiduran.

Sekilas Ranggas mengira yang membuka pintu adalah neneknya. Tapi, pikirannya teralihkan ketika ia mendengar beberapa barang jatuh di lantai bawah. Lalu yang membuat dirinya semakin cemas ialah pintu kamar yang kini di depannya mulai terbuka pelan-pelan namun konstan. Bunyi decit engsel pintu semakin membuat suasana menjadi tegang dan seakan mendorongnya berjalan mundur ke belakang.

Ranggas terperangah ketika kedua matanya melihat seorang anak kecil berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ranggas yang masih menyimpan rasa takut terus saja mundur dan terhenti ketika tungkainya terpentok tembok.

Anak itu semakin dekat dengan Ranggas, membuat rasa takut semakin meletup menyairkan keringat di kulitnya. Sementara di luar, suara barang berjatuhan semakin ramai dan mencekam. Kali ini suara tangga kayu terdengar seperti sedang menopang beban yang begitu berat.

Ranggas hanya bisa melongo ketika wajah anak kecil di depannya mulai jelas ketika terkena redup cahaya lampu tidur. Wajahnya tampak kusut dengan baju berbahan katun yang bagian pundak kanannya robek sebesar buah jeruk. Ia memegang tongkat yang belum jelas terlihat di mata Ranggas karena dirinya fokus menatap wajah anak kecil itu.

Lihat selengkapnya