RANGGAS

Abdul Khalim
Chapter #3

3. Undangan Misterius

UNDANGAN MISTERIUS

 

Ranggas sekarang berada pada sebuah tebing. Pemandangan kota yang sangat indah terbentang di hadapannya. Langit malam bertabur bintang dan bulan sabit lima kali lebih besar dari yang biasa ia lihat dari jendela kamar, membuat siluet gedung-gedung dengan lampu yang tertata rapi terasa harmonis. Sempat ia terbayang lukisan Starry Night milik Van Gogh terpampang di depannya. Bedanya, kali ini nyata.   

Alan yang berada paling belakang, bertugas menutup portal. Seperti Asena, portal itu juga berupa kotak kayu yang dibeberapa sisi terdapat plat besi. Alan menguncinya dengan gembok lalu mengaitkannya di sebelah kotak berisi Asena.

“Aku belum pernah melihat yang seperti ini.” Ucap Ranggas kagum berdiri di sebelah Awang. “Apakah Van Gogh juga pernah kesini?” Tanyanya begitu polos.

Awang memandang Ranggas sambil menata rambutnya yang menutup sebagian mata karena tergerai oleh angin. “Mungkin.”

“Ada yang lebih menakjubkan loh!” Alan bersemangat.

“Apa itu Lan?”

“Nggak usah digubris.” Kata Awang dengan nada sedikit mengejek. “Namanya juga anak kecil. Sering caper di depan orang yang baru ia kenal.” Perkataan Awang membuat Alan memasang wajah cemberut tapi lucu. Berbeda dengan Alan, Awang selalu memasang wajah kalem seperti orang yang penuh pertimbangan dalam melakukan sesuatu.

Alan dengan mantap melesat ke depan, mengeluarkan sebuah kain dari saku celana, membentangkannya, dan melompat dari tepi tebing. Setiap dua sudut kain ia genggam. Ia mengangkat lurus kedua lengannya seperti seorang gadis ring pemegang papan ronde dalam pertandingan tinju sambil merentangkan kain di atas kepalanya. Alan terbang di udara.

“Hati-hati Lan!” Awang berpesan.

Seperti biasa, Alan justru tersenyum seakan tak memperdulikan perkataan Awang.

Awang menyipitkan matanya sambil mengeluarkan kain miliknya yang berwarna coklat. “Dia memang selalu seperti itu.”

Awang juga membentangkan kain persis dengan apa yang dilakukan oleh Alan. “Tunggu apa lagi. Pakai kainmu.”

“Me....melompat?!” sedikit gugup Ranggas mengatakannya.

“Lebih tepatnya terbang.” jelas Awang memutar kepala dengan cepat, mengubah arah pandangannya pada Alan yang kini terbang melintas di atas siluet gedung-gedung.

“Aku ragu.”

“Nanti kamu akan terbiasa melakukannya. Kalau kamu mau di sini terus juga gapapa kok. Tapi keselamatanmu bukan tanggung jawabku.” Balas Awang sembari melempar senyum penuh arti.

Nada bicara Awang yang tenang malah terdengar mendesak diri Ranggas. Akhirnya, karena tak punya pilihan lain, Ranggas luluh dan berjalan ke tepi tebing. Angin berhembus menabrak wajahnya. Ranggas menyipitkan mata.

Untuk pertama kalinya, Ranggas diajak melakukan hal segila itu. Melompat dari ketinggian berbekal sehelai kain.

“Tenang. Kain itu bersifat lentur, dibuat dengan sutra pilihan dan telah diberi sihir khusus oleh ras penyihir.” Kata Awang meyakinkan Ranggas. “Tarik bagian kanan jika ingin belok kanan. Begitu juga sebaliknya.”

Selagi Awang terus memberi materi, Ranggas mencoba sedikit melirik ke bawah tebing. Sungguh pemandangan yang indah berbalut kengerian.

Ranggas mundur beberapa langkah mengambil kuda-kuda lalu melesat benar-benar seperti kuda. Hup! Ia melompat dengan kaki yang terus saja berlari.

Di udara, hampir saja Ranggas berteriak. Namun tertahan karena mulutnya seketika tertutup ketika ia merasa gravitasi tak menarik tubuhnya.

“Bagaimana?” Awang secara mengejutkan berada tepat di samping Ranggas.

“Ini keren banget!” Ranggas berteriak agar Awang mendengar ucapannya karena tak ada yang memantulkan frekuensi suara selain udara.

Lihat selengkapnya