Ranjang Pencabut Nyawa

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #2

#2 Keanehan yang Sulit Diungkapkan

Sudah hampir satu jam gadis itu tergeletak di lantai kamar. Tak ada yang mengetahuinya karena masih gelap. Kamar yang ditempati sangat istimewa. Cuma kamar itu yang memiliki kamar mandi di dalam dan penghuninya juga ia seorang. Harganya sangat terjangkau bagi mahasiswi. Sedangkan kamar lainnya di atas harga tersebut, ukurannya juga tidak seperti kamar Mirzha.


Hujan deras mengguyur kota Medan. Suasana makin mencekam. Masih belum ada tanda-tanda kalau Mirzha akan sadar dari pingsannya. Hingga pagi hari, ia tetap di tempatnya.


"Mir, Mirzha, bangun. Udah jam enam. Mir!"


Sudah menjadi kebiasaan Dewi untuk membangunkan anak-anak kos agar salat Subuh. Sebagai orang terlama, ia merasa bertanggung jawab pada teman sekos. Kadang ia juga menjadi tempat curhat bila mengalami patah hati atau kecewa dengan seseorang. Dewi hanya ingin dirinya disegani karena kebaikan.


Dewi masih memanggil nama Mirzha sembari mengetuk pintu dengan batu kerikil. Kali ini ia tak sabar dengan penghuni kamar yang tak kunjung menyahut panggilannya, lalu menampar pintu dengan telapak tangan agar didengar oleh Mirzha.


"Mir, Mirzha. Bangun, ih! Udah pagi, oy!"


Karena teriakan dari Dewi, beberapa anak kos menghampiri. Mereka menduga kalau Mirzha tidak ada di kos alias menginap di tempat lain.


"Kak Dewi, kali aja dia tidur di rumah temennya. Percuma diteriakin, orangnya nggak ada," sahut Mila dengan mimik wajah tampak kesal.


"Kok, aku ngerasa ada yang janggal, ya? Perasaanku nggak enak. Apa sebaiknya kita dobrak aja?" ajak Dewi.


"Lah, jangan. Nanti Ibu kos marah. Apalagi kamar ini baru direhab. Liat aja, kamar yang terlihat baru, ya, cuma ini. Masa mau dirusak," kilah Mila.


"Tapi aku penasaran. Kenapa Mirzha nggak kebangun dari tadi. Padahal digedor sekuatnya. Tanganku malah sakit."


"Eh, kenapa kalian? Kok, ngumpul di sini? Kamar mandi kosong, tuh," ujar Sherly memergoki mereka yang sedari tadi sibuk di depan pintu kamar Mirzha.


"Ini, Sher. Mirzha nggak bisa dibangunin," sahut Dewi.


"Ah, paling juga ngorok. Ngapain ngurusin orang. Mau bangun, kek. Mau tidur, kek. Apa ruginya sama kalian? Aneh!" celetuk Sherly, lalu berbalik arah dan pergi meninggalkan kedua temannya.


"Sewot! Bagus-bagus dijawab malah ketus gitu jawabannya. Peak!" pekik Dewi.


"Udahlah, Kak. Kayak nggak kenal Sherly aja. Ngapain juga ditanggapi. Eh, Kak. Apa nggak kita lapor ke Bapak kos aja?" saran Mila.


"Iya, juga, ya. Nggak dari tadi bilang gitu. Yuk, ke rumahnya."


Baru dua langkah, asisten pemilik kos datang. Sejak tadi perempuan itu mengintai dari balik bunga yang berukuran besar. Sehingga tidak ada yang bisa melihatnya. Terlebih karena badannya langsing.


Lihat selengkapnya