Ranjau Biografi

Bentang Pustaka
Chapter #1

Kata Pengantar

Menulis biografi tak ubahnya “melukis” perjalanan seseorang melalui bangunan kata-kata. Ragam menulis ini sering dianggap gampang-gampang susah. Gampang, karena objek yang ditulis berwujud benda nyata, bernyawa, bisa diajak bicara pula. Tinggal siapkan seperangkat alat perekam elektronik atau buku catatan, segera lakukan wawancara dan tuliskan hasil wawancara itu secepat mungkin. Urusan selesai. Susah, karena penulis umumnya jarang atau tidak mengenali “ranjau-ranjau” dalam menulis biografi.

Kata “ranjau” saya pinjam dari istilah perang, yakni salah satu senjata berupa alat peledak mematikan yang ditanam pelaku peperangan di dalam tanah di medan peperangan. Ada pelatuk atau kawat terentang tersembunyi di antara rumput atau semak-semak yang menutupi ranjau itu secara keseluruhan. Jika pelatuk ranjau terinjak lawan atau kaki lawan terantuk kawat, saat kaki terangkat, dalam hitungan detik ranjau berupa bom mematikan itu meledak, dengan akibat mencederai atau bahkan membunuh si penginjak ranjau.

Apakah “ranjau” biografi itu juga bisa “mencederai” atau “membunuh”? Siapa yang “tercederai” atau “terbunuh”? Siapa pula yang berpotensi menginjak “ranjau” itu; penulis, narasumber, tokoh yang disosokkan, atau pembaca? Tentu saja orang yang berpotensi menginjak “ranjau” biografi di sini adalah si penulis biografi (biograf) itu sendiri, bukan sosok yang ditulisnya. Karena “ranjau” biografi ini dimaksudkan sebagai jebakan tersembunyi yang dipasang oleh apa yang disebut etika dan moral universal dalam menulis, si biograf itu sendirilah yang harus berhati-hati jangan sampai menginjak “ranjau” saat menulis biografi seseorang.

Lihat selengkapnya