Sering orang mengatakan, menulis biografi atau sosok orang itu gampang-gampang susah. Gampang, karena seperti gaya penulisan dengan pendekatan feature, menulis sosok atau biografi bisa lebih leluasa menggunakan gaya sendiri sesuai gaya si penulisnya. Karenanya, menulis sosok masuk ke jenis penulisan soft news dengan bahasa yang lebih fleksibel. Berbeda dengan penulisan hard news untuk menulis berita peristiwa yang cenderung kaku dan seragam sesuai “bahasa” masing-masing media. Pendekatan jurnalistik diperlukan untuk penulisan biografi daripada metode ilmiah, seperti menyusun sejarah. Gunanya agar sosok atau biografi seseorang itu tidak kering saat dibaca, tetapi sosok “hidup” sebagaimana orang menonton film.
Akan tetapi, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa biografi atau sosok orang yang menjadi pembahasan buku ini bukan menekankan biografi untuk penulisan buku, melainkan menulis biografi atau sosok yang lebih ringkas untuk konsumsi media massa, seperti koran dan majalah atau media sosial tempat warga biasa yang bukan berprofesi sebagai wartawan profesional pun bisa menulis sosok mengenai tokoh yang dianggap “penting” dan “menarik” di sekeliling mereka. Ada banyak sosok menarik di daerah terpencil yang jauh dari jangkauan wartawan sebuah media massa, tetapi dapat dimunculkan oleh warga pewarta yang menulis sosok itu di media sosial seperti Kompasiana.
Saat ini boleh dikatakan hampir semua koran atau majalah memiliki rubrik sosok, tulisan news feature khusus mengenai perjalanan sukses seseorang. Ini menandakan bahwa sosok atau biografi itu masih tetap menempati posisi penting dalam bentuk penulisan, sebagaimana rubrik sosok itu telah ada pada masa silam. Rubrik ”Sosok” di harian Kompas, misalnya, sebagaimana yang pernah dikemukakan Wakil Pemimpin Umum, St. Sularto, memberi ruang untuk bentuk penulisan feature tentang sosok tokoh atau sosok manusia dengan kegiatan masing-masing. Rubrik ”Sosok” yang biasa tampil di halaman 16 harian Kompas setiap hari merupakan salah satu bentuk feature yang mulai diperkenalkan sejak Kompas berganti wajah pada 28 Juni 1985, dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sudah terseleksi. Tidak harus orang ternama atau pesohor, tetapi setidak-tidaknya biografi singkat atau sosok yang ditulis itu menampilkan inspirasi baru bagi pembaca menyangkut kreativitas, orisinalitas, keberhasilan, dan keunikan orang yang bersangkutan.
“Sebagai bagian integral dengan halaman-halaman Kompas yang lain, halaman ini menjadi bumbu penyedap yang menggugah, menyengat, menawarkan inspirasi, dan menyodorkan rasa perasaan plus kesan kemanusiaan,” kata St. Sularto dalam pengantar buku yang saya tulis sebelumnya, Menulis Sosok: Secara Inspiratif, Menarik, dan Unik (Penerbit Buku Kompas, 2013).
Rubrik ”Sosok” yang setiap hari muncul di harian Kompas menjadi rubrik yang dinanti-nanti pembaca. Penjelasannya sederhana, “man makes news”. Oranglah yang membuat berita, bukan binatang atau tumbuhan. Ketika ada seseorang yang berhasil membudidayakan tanaman langka atau orang yang berhasil menangkar binatang langka, orangnya yang menjadi bobot perhatian. Orangnya yang disosokkan dengan upaya mereka itu. Prestasi seseorang yang lebih ditonjolkan, bukan tragedi. Kiprah orang dipandang bisa menginspirasi orang lain yang membacanya.
Rubrik ”Sosok” di harian Kompas menjadi eksklusif karena khusus memuat orang-orang berprestasi atau orang yang mampu menggerakkan orang lain. Dan, bagi wartawan penulisnya, inilah lahan paling demokratis yang terbuka bagi siapa saja. Intinya begini, jangan harap sebagai jurnalis Anda bisa mengeplot headline halaman satu untuk berita yang Anda tulis. Berbeda dengan tulisan halaman sosok, Anda bisa berharap kapan pun tulisan yang Anda susun bisa tampil di sini setelah melalui seleksi ketat editornya. Ada semangat kompetitif konstruktif yang terbangun dengan sendirinya, karena unsur nilai berita “menarik” (interesting) jauh lebih mengemuka dibanding berebut lahan di halaman utama sebuah media yang pasti ditempati berita-berita langsung (straight) dan terkini (update).
Menguasai teknik penulisan sosok atau biografi sangatlah penting, tetapi jauh lebih penting menghindari ranjau-ranjau dalam menulis biografi. Teknik penulisan biografi sesungguhnya adalah teknik menulis feature atau news feature pada umumnya dengan pendekatan penulisan jurnalistik. Karena yang digunakan adalah pendekatan jurnalistik, prinsip-prinsip jurnalistik sebagaimana yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism, harus dipegang teguh, khususnya pada upaya menggali dan melaporkan kebenaran. Prinsip menulis berita, sebagaimana yang disyaratkan Kovach dan Rosenstiel adalah bukan memanipulasi fakta, melainkan menulis dan melaporkan fakta yang sebenarnya. Journalism’s first obligation is to the truth, bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah menjunjung tinggi kebenaran, tidak boleh ada fakta yang ditambahi atau dikurangi. Fact is sacred, fakta adalah suci.
Sosok pada prinsipnya biografi ringkas. Sebagaimana arti biografi yang berasal dari bahasa Yunani (yaitu bios yang berarti ‘hidup’ dan graphien yang berarti ‘tulis’), merupakan tulisan tentang kehidupan seseorang. Biografi merupakan sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Bisa berbentuk beberapa kata, beberapa baris kalimat, atau bisa juga dalam bentuk buku. Biografi ditulis dalam bahasa tutur atau gaya bercerita yang menawan dan mendekatkan antara pembaca dan tokoh yang disosokkan. Tugas penulis sosok atau biografi memang mendekatkan pembaca dengan sosok yang sedang dibacanya. Jika sosok lebih mengedepankan kiprah atau prestasi terbaru seseorang, biografi yang lebih panjang mengungkap informasi penting mengenai orang itu, tetapi diceritakan dengan lebih detail. Biografi berbeda dengan sejarah. Jika sejarah membahas masyarakat sebagai sebuah bangunan kolektivitas, biografi memfokuskan diri pada manusia sebagai individu. Dengan kata lain, sejarah berangkat dari masyarakat, sementara itu biografi berangkat dari individu.
Rahasia dan misteri adalah “napas” dari biografi sehingga unsur-unsur itu memegang peran penting. Pada serial buku biografi tokoh pahlawan revolusioner Tan Malaka susunan Harry A. Poeze, disimpan rahasia yang begitu ketat apa dan bagaimana kematian Tan Malaka sebagai salah seorang tokoh pemikir sekaligus pejuang Indonesia yang terkenal dengan “Madilog”-nya itu. Apakah Tan Malaka meninggal dalam keadaan wajar atau seseorang telah membunuhnya karena perjuangan politiknya yang berhaluan kekiri-kirian? Kalau mati terbunuh, siapa yang membunuh pendiri cikal bakal Partai Murba ini?
Rupanya “misteri” dan “rahasia” di balik sosok Tan Malaka menjadi “nilai jual” tersendiri bagi Poeze saat di buku pertamanya kematian Tan Malaka tidak diungkap. Boleh jadi sengaja ia “menggantung” pembaca dengan tidak mengungkapkannya saat itu. Pembaca yang telanjur menamatkan jilid pertama buku mengenai sosok Tan Malaka seakan-akan terpancing dan dibuat penasaran untuk melanjutkan biografi lanjutan di jilid-jilid berikutnya.