Sepandai-pandai tupai meloncat, akhirnya jatuh juga. Ini pepatah lama Melayu yang masih relevan dengan peristiwa kekinian, bahwa sepengalaman apa pun seseorang menekuni bidang pekerjaannya, akhirnya berbuat kesalahan juga. Kadang salah di sini bisa berarti sial atau kebetulan saja bagi si jurnalis. Atau, memang ada faktor lain, tidak teliti misalnya. Barangkali itulah yang menimpa saya sepanjang karier jurnalistik, bahwa saya telah kena kibul mentah-mentah seorang narasumber yang sosoknya saya tulis dan kemudian dimuat dan dibaca jutaan orang.
Sebagai jurnalis harian Kompas, saya didoktrin untuk selalu jujur dalam perkataan, perbuatan, maupun tulisan. Sayangnya, narasumber yang saya wawancara tidak selalu jujur dengan ucapannya. Saya kena getahnya karena kurang melakukan ricek dan verifikasi atas pengakuan narasumber yang saya jadikan sosok. Akibatnya fatal. Meski sosok orang itu sudah termuat di harian Kompas, dua tahun kemudian terbongkarlah bahwa narasumber yang saya wawancara dan saya jadikan sosok itu telah melakukan kebohongan, tidak jujur atas ucapannya sendiri. Arsip elektronik harian Kompas sampai harus menerakan ralat pada tulisan saya itu.
Orang yang saya sosokkan dan tidak jujur atas ucapannya itu adalah Eko Ramaditya Adikara, seorang penyandang cacat netra yang cekatan menggunakan teknologi informasi.
Saya ingin langsung saja mengajak pembaca yang budiman untuk mengikuti sosok Rama, demikian, dia biasa dipanggil, yang saya tulis dan dimuat di Kompas edisi Selasa, 8 Juli 2008. Setelah itu baru saya ungkapkan kekecewaan yang dalam dan membekas sebagai seorang jurnalis terhadap kebohongan (karena yang bersangkutan telah mengakuinya) narasumber.
Rama, Kiprah Seorang Blogger Tunanetra.
Dalam buku tamu di blog miliknya, Eko Ramaditya Adikara menyebut dirinya sebagai The Indonesian Blind Blogger. Rama, demikianlah dia biasa dipanggil, memang seorang tunanetra. Namun, jika bertemu Rama jangan sekali-kali mengasihaninya sebagai orang berkekurangan. Salah-salah kita yang dikasihani karena terlalu banyak kekurangan!
Contoh, saat dia mempraktikkan bagaimana menulis artikel di atas papan ketik komputer pribadi yang diperuntukkan bagi orang normal (bukan papan ketik Braille), Rama mampu menulis 60 kata per menit. Kemampuan itu setara dengan pengetik profesional mana pun yang biasa bekerja di atas papan ketik QWERTY. Rama bahkan tidak membuat kesalahan satu huruf pun atas apa yang dia tulis secepat angin berlalu itu.
Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang tunanetra sejak lahir mampu melakukan pekerjaan yang galibnya dilakukan orang normal? Bagaimana mungkin dia menjadi blogger yang tidak hanya sekadar mengisi kontennya, tetapi juga mendesain perwajahannya, bahkan dengan latar belakang musik digital gubahannya? Bagaimana dia bisa bekerja di atas laptop yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi? Bagaimana pula Rama mengerti perintah komputer yang jumlahnya tak terhitung itu?
“Saya meninggalkan huruf Braille sejak sepuluh tahun lalu saat teknologi pembaca layar (screen reader) hadir. Bagi saya, itu sebuah revolusi. Sampai sekarang praktis saya tidak menggunakan Braille lagi. Saya bisa membaca buku atau menulis di komputer seperti mereka yang berpenglihatan normal,” kata Rama saat kami temui pada sebuah acara Komunitas Multiply Indonesia di Jakarta, Rabu (2/7) malam lalu.
Aplikasi pembaca layar yang digunakan Rama adalah JAWS, singkatan dari Job Access With Speech. Ini sebuah peranti lunak yang dikembangkan Blind and Low Vision Group di Freedom Scientific St Petersburg, Florida, Amerika Serikat. Dengan JAWS yang kali pertama diluncurkan pada 1989 itu, komputer apa pun, asalkan menggunakan Microsoft Windows, dimungkinkan dioperasikan oleh mereka yang menderita cacat penglihatan. JAWS mengubah teks menjadi berbicara atau text-to-speech. Pada 1992, JAWS lebih dikenal luas seiring meluasnya penggunaan Microsoft Windows.
Rama memiliki domain sendiri untuk blognya, tetapi karena juga ngeblog di Multiply, dia hadir dalam pertemuan para blogger Multiply yang dimotori Sri Sarining Diyah tersebut. Pada malam itu Rama menjadi “bintang” di antara blogger dengan banyaknya peserta yang ingin berfoto bersama. Rama tidak canggung berfoto. Bahkan, saat kaum perempuan berebut berfoto, dia menyeletuk, “Wah, saya kayak raja semalam saja.”
Screen reader yang disebut Rama adalah peranti lunak yang memungkinkan apa-apa yang tertulis di layar komputer atau layar ponsel bisa “terbaca” dengan cara bersuara. Saat Rama menulis menggunakan pengolah kata Word, misalnya, mesin secara otomatis mengeluarkan suara atau mengeja apa pun yang dia tulis. Kesalahan huruf pun akan diketahui dan segera diperbaiki.
Cara yang sama dilakukan Rama saat dia membaca buku Star Wars kesukaannya. Dia pindai (scan) halaman demi halaman buku itu agar bisa dibaca di layar komputer. Otomatis komputer akan membacanya dengan mengeluarkan suara. Jangan heran jika dia mengoleksi dan sudah membaca 320 buku Star Wars. Pesan pendek (SMS) di ponselnya pun ditanam peranti lunak pembaca layar serupa untuk kebutuhan mobile, yakni TALKS. Setiap Rama membuka pesan pendeknya, suara mesin terdengar persis seperti apa yang tertulis di layar ponsel.
Percaya Diri
Karena berbekal kemampuan teknologi informasi itulah Rama ke mana-mana membawa ponsel dan laptop Asus dengan layar 7 inci. Ponsel perlu untuk berkomunikasi dan mengirimkan pesan, sementara laptop diperlukan untuk menulis di blog atau menulis artikel untuk media online. Kegiatan blogging dilakukannya sejak 2003 saat blog belum booming. Untuk itulah buku tamunya sudah terisi oleh 464 netter yang memberi pesan. Sebagaimana fatsun blogger, Rama menjawab sendiri semua pesan dan komentar yang masuk.
Pemuda yang kini berusia 27 tahun sejak lahir memang sudah ditakdirkan tunanetra. Sempat berhasil ditolong dengan operasi pembuatan diafragma buatan pada mata kanan sehingga mampu melihat 10 persen, tetapi setelah itu dia buta total. Meskipun menderita cacat netra, ayahnya, Rahadi Sudarsono, tidak memperlakukannya sebagai “orang buta”. Sang ayah memperlakukan anaknya secara wajar sebagaimana orang normal, kecuali dalam hal merekam pelajaran saat Rama duduk di bangku SLTA.
“Bapak merekam semua buku pelajaran ke dalam kaset, sementara ibu membantu dengan doa dan dukungan moril,” kata Rama sebagaimana tertulis dalam blognya.
Rasa percaya diri itulah yang ditumbuhkan Rahadi kepada anaknya, sementara Rama menerimanya sebagai sebuah “tantangan” karena ternyata tunanetra pun bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada orang normal. Itu sebabnya, di semua artikel yang ditulisnya di blog, tidak ada kata mengiba-iba dan meminta dikasihani. Sebagai gantinya, dia memberi harapan dan optimisme. Ironisnya, harapan dan optimisme itu lebih dia tujukan kepada orang berpenglihatan normal yang membaca blognya.
Tawarkan Harapan
Kepada sesama tunanetra, dia menawarkan harapan dan mengajarkan pantang berputus asa. Misalnya, dia memberi tips yang positif bagi penyandang tunanetra. “Bagi tunanetra bisa naik pesawat terbang itu suatu keistimewaan maka saya pun menulis tips bagaimana naik pesawat bagi tunanetra,” katanya.
“Saya ini (tunanetra) sudah beda (dengan orang normal), tetapi saya ingin berbeda dari perbedaan itu,” kata Rama mengenai filosofi hidupnya. Saat diminta menjelaskan lebih dalam makna hidupnya itu, dia mengatakan, “Saya ingin berbeda dari rekan-rekan sesama tunanetra.”
Kalau sekadar prinsip itu, sebenarnya Rama memang beda dan bahkan istimewa dibanding tunanetra lainnya, setidaknya dalam urusan teknologi informasi. Bayangkan saja, selain menguasai berbagai program peranti lunak, dari yang paling “jadul” seperti DOS (Disc Operation System), WordStar, sampai Windows Vista yang terbaru, dia juga mampu mengutak-atik perangkat keras komputer. “Saya pernah merakit komputer. Memang pakai kesetrum dan ‘ledakan’ segala, tetapi alhamdulillah berhasil,” kenangnya sambil terkekeh.