Tolong... aku!” jerit seorang wanita histeris, suaranya pecah menembus hiruk-pikuk.
“Selamatkan istriku!” sahut seorang pria, panik dan putus asa.
Teriakan-teriakan itu bergema, bercampur dengan derap kuda yang menderu di jalanan. Prajurit-prajurit berbaju besi menyeret perempuan-perempuan yang tersungkur, menambah kengerian yang menyelimuti udara.
“Ada apa ini?” bisik seseorang dengan suara bergetar.
Aurelia, baru saja pulang dari pasar dengan keranjang belanja di tangan, terhenti langkahnya. Suara-suara itu membuat dadanya sesak. Rasa panik dan takut merambat, hingga jemarinya gemetar dan barang belanjaannya jatuh berserakan.
Tatapannya bersirobok dengan mata tajam seorang prajurit. Pandangan itu begitu menusuk, seolah ia adalah mangsa berikutnya. Prajurit itu melangkah mendekat, gerakannya tegas, tak memberi ruang untuk lari.
Aurelia berusaha mundur, kakinya lemas, tetapi lengan halusnya segera dicengkeram kuat.
“Lepaskan aku! Siapa kalian?!” serunya memberontak.
“Diam, nona, kalau kau masih ingin hidup,” geram prajurit itu dengan suara dingin.
Ketakutan menutup rapat mulut Aurelia. Ia didorong kasar ke sebuah kereta kuda. Di dalam, perempuan-perempuan lain telah duduk, sebagian menangis, sebagian hanya terdiam pasrah.
“Ayah... aku takut... hiks...” tangis seorang gadis muda di sudut kereta, wajahnya pucat pasi.
Aurelia menatap sekeliling, dadanya bergemuruh. Ia tidak tahu ke mana kereta itu akan membawanya, hanya firasat buruk yang semakin kuat menghantui pikirannya.
Kereta berhenti di depan sebuah gerbang tinggi. Dari celah kecil, Aurelia mengintip: sebuah istana megah berdiri angkuh, dijaga prajurit yang berlalu-lalang dengan langkah disiplin. Tempat asing itu membuat bulu kuduknya meremang.
Pintu kereta dibuka. Mereka digiring keluar, dipaksa menunduk, lalu tangan Aurelia diikat dan dilemparkan ke balik jeruji besi.
“Hei! Keluarkan aku dari sini!” teriaknya, suaranya pecah oleh rasa takut dan marah.
“Berhentilah! Gendang telingaku bisa pecah,” ujar seorang wanita dengan nada pasrah.
“Kita tak bisa melawan. Kita sudah kalah,” sambung yang lain, matanya kosong tanpa harapan.
“Siapa mereka? Dan kita di mana?” Aurelia memberanikan diri bertanya, napasnya tersengal.
“Mereka adalah prajurit negeri Valdora,” jawab seorang wanita dengan getir.
“Apa yang akan mereka lakukan pada kita?” bisik seorang perempuan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Sudah pasti bukan untuk kebaikan kita. Kita akan dijadikan budak... atau lebih buruk lagi,” sahut wanita lain lirih.
Kata-kata itu lenyap ditelan pikiran Aurelia. Yang paling menghantui dirinya hanyalah bayangan ayahnya—satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ketakutan, kerinduan, dan firasat buruk berbaur menjadi satu, mencengkeram hatinya tanpa ampun.
***