Rantai Sang Pangeran Buangan

Ichigoanime
Chapter #2

Rumah baru

Kereta terus melaju, rodanya berderit lembut di jalan berbatu. Aurelia menatap kosong ke luar jendela; bayangan pepohonan berkelebat tanpa arti, dan akhirnya ia bersuara lirih, suaranya pecah dalam diam.


“Sebenarnya, aku masih belum mengerti... mengapa kalian repot-repot membawaku ke sini.” Ia melirik Lucifer, yang tampak tenang menekuni sebuah buku di tangannya.


Lucifer menutup buku perlahan, lalu menatapnya dengan mata merah yang menusuk.

“Aku hanya menerima apa yang pantas kudapatkan,” ucapnya datar.

“Kau hanya perlu patuh pada aturan.”


“Siapa kau, jika aku memilih tidak?” tantang Aurelia. Ia menunduk, tapi nadanya jelas penuh perlawanan.


Lucifer maju, mengangkat tangannya. Jemarinya mencengkeram dagu Aurelia, memaksanya mendongak, hingga biru mata Aurelia terkunci dalam merah matanya.

“Mulai hari ini, kau bukan lagi milik negerimu,” bisiknya tajam. “Kau milikku. Dan aku tidak pernah melepaskan milikku.”


“Dengan kata lain... seorang budak,” tambahnya, senyum tipis menghiasi bibir.


“Aku tidak mau melakukan apa pun yang kau suruh!” Aurelia menentang, dadanya bergemuruh.

“Kalian benar-benar tak punya hati nurani. Setelah menghilangkan ribuan nyawa... tak puas juga membuat kami menderita, kehilangan orang-orang yang kami cintai?” Tangan Aurelia mengepal, gemetar menahan amarah.


Lucifer melirik kepalan itu sekilas, lalu kembali pada bukunya, seakan kata-kata Aurelia tak lebih dari bisikan angin.


Suasana di dalam kereta menjadi tegang, hening yang menggantung berat. Waktu berlalu, hingga akhirnya suara kusir memecah senyap.

“Tuan, kita sudah sampai.”


Pintu kereta dibuka. Lucifer melangkah keluar, disambut para bawahan yang membungkuk hormat.


Aurelia menyusul pelan. Begitu kakinya menjejak tanah, matanya terbelalak. Di hadapannya menjulang sebuah mansion megah, berkilauan bagai istana. Segalanya tampak begitu mewah; bahkan dalam kepedihan, sempat melintas pikiran nakal—*andai aku maling, aku akan mengambil segalanya di sini.*


Ia mengekori Lucifer, langkahnya berat, sementara para pelayan mengiringi dari belakang.


Tiba-tiba, Lucifer berhenti. Aurelia, yang tak menduga, menabrak punggungnya yang kokoh.


Lucifer membalikkan badan, wajahnya dingin.

“Bawa dia ke tempatnya, dan urus dia,” perintahnya.


Para pelayan wanita segera menarik tangan Aurelia, tanpa memberi ruang bertanya. Aurelia tak berdaya, hanya bisa pasrah, menyerahkan dirinya pada nasib yang menanti di balik dinding megah itu.


***


“Katakan, kenapa aku harus buka baju di depan kalian?” Aurelia mendongak, nada suaranya menantang.


“Ya.kami perlu memandikan Anda,” jawab salah satu pelayan dengan nada kaku.


“Aku tidak mau! Aku bisa mandi sendiri!” bentak Aurelia, suara penuh kesal.


Kini Aurelia berada di pemandian luas yang hangat; ubin dan patung-patung kecil memantulkan cahaya lilin. Namun kehadiran para pelayan terus mengganggunya—mereka mendesak agar ia membuka pakaian kotor itu.


“Dengar, aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan kalian,” kata Aurelia, berusaha menegaskan kedaulatannya.


Kedua pelayan saling berpandangan, ragu bagaimana harus menanggapi perlawanan itu.

“Kami hanya menuruti perintah tuan kami,” lirih salah satu dari mereka.


“Kalau begitu katakan pada tuanmu bahwa aku bukan anak kecil; aku bisa mandi sendiri.” Suara Aurelia bergetar sedikit; ada lega halus ketika para pelayan itu akhirnya mundur, meninggalkannya sendiri.


Telapak tangannya menyentuh air—hangat dan lembut—lalu ia membuka pakaiannya yang kotor dan masuk ke dalam bak. Air menyelimuti tubuhnya; untuk sejenak ia membiarkan dirinya hanyut oleh sensasi yang jauh dari dinginnya perjalanan hari itu.


Aurelia menatap langit-langit berornamen. Fasilitas di sini jauh melampaui rumahnya; kilau keramik dan ukiran mengungkapkan kemewahan yang asing baginya. Dalam hening, pikirannya melayang pada ayahnya yang sedang sakit; kecemasan merayap, takut bila kondisi lelaki tua itu semakin memburuk.


Suara berat yang tiba-tiba memecah ketenangan membuatnya terkejut. “Kau membantah perintahku?” Lucifer berdiri di ambang pintu, bayangannya memanjang di atas batu marmer.

Lihat selengkapnya