RANTAI TAKDIR

Tengku Dimas Permana
Chapter #16

Perdamaian

Perpustakaan pribadi Mira, malam hari. Cahaya lampu mengarah pada tumpukan buku dan artefak kuno yang tersebar di meja. Mira dan Anya sedang duduk berhadapan, keduanya terlihat lelah namun bersemangat.


Anya: "Aku masih tak percaya kita menemukan prasasti kuno itu, Mira. Bayangkan, sebuah artefak sekuat itu tersembunyi selama berabad-abad di dasar laut!"


Mira: Sambil tersenyum tipis "Aku juga, Anya. Ini penemuan yang luar biasa. Kita harus terus menelitinya." Nada suaranya terdengar lebih ceria daripada yang sebenarnya.


Anya: "Aku tahu. Tapi aku yakin, dengan kerja keras kita, kita pasti bisa mengungkap semua rahasia di balik prasasti itu." 


Menatap mata Mira lekat


 "Kau terlihat lelah, Mira. Apa kau yakin baik-baik saja?"


Mira: Menggeleng cepat "Aku baik-baik saja, kok. Hanya sedikit lelah karena begadang."


Anya: Menghela napas "Aku tahu kamu berusaha terlihat kuat, tapi aku bisa melihatnya di matamu. Kamu merindukan Zhahir."


Mira: Terkejut "A-apa? Tidak, aku hanya... sedikit rindu suasana rumah saja."


Anya: Menempatkan tangannya di atas tangan Mira "Tidak apa-apa untuk merindukannya, Mira. Kita semua merindukannya. Tapi kita harus tetap kuat.


Anya Mengambil segelas teh hangat dan menyodorkannya pada Mira "Minumlah. Ini akan membuatmu lebih tenang."


Mira: Menerima teh itu dan meminumnya perlahan "Terima kasih, Anya. Kau selalu tahu cara menenangkanku."


Keduanya terdiam sejenak, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Cahaya rembulan menembus jendela, menerangi ruangan dengan lembut.


Anya: "Hei, Mira. Ingat saat kita kecil? Kita sering bermimpi menjadi penjelajah harta karun. Sekarang, mimpi kita menjadi kenyataan."


Mira: Tersenyum tipis "Benar juga."


Anya: Menatap Mira dengan penuh pengertian "Aku tahu. Tapi percayalah, semua akan baik-baik saja mira."


Anya: Mengganti topik pembicaraan "Ngomong-ngomong, aku punya ide untuk penelitian selanjutnya. Bagaimana kalau kita..."


Mira berusaha mengalihkan perhatiannya pada penelitian, tapi pikirannya tetap tertuju pada Zhahir. Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya, tapi Anya tetap bisa merasakannya.



Pendopo pribadi Pangeran Zhahir


Zhahir duduk di meja kerjanya, para penasihat dan panglima berkumpul di sekitarnya.


Panglima: "Yang Mulia, kami telah meningkatkan patroli di perbatasan. Namun, kami belum menemukan tanda-tanda aktivitas mencurigakan dari Majapahit."


Penasihat Tua: "Saya khawatir, mereka mungkin mencoba menyusup dengan cara yang lebih halus. Kita harus lebih waspada."


Zhahir: "Saya setuju. Kita tidak boleh lengah. Perintahkan semua penjaga untuk meningkatkan kewaspadaan. Siapapun yang mencurigakan, segera laporkan."


Seorang prajurit masuk tergesa-gesa.


Prajurit: "Yang Mulia, ada laporan penting dari pos penjaga di hutan utara."


Zhahir: "Apa yang terjadi?"


Prajurit: "Ada beberapa saksi yang melihat sekelompok orang asing berpakaian mencurigakan berkeliaran di sekitar hutan. Mereka diduga adalah mata-mata Majapahit."


Suasana ruangan menjadi tegang.


Zhahir: berdiri "Mata-mata Majapahit! Mereka berani sekali menyusup ke wilayah kita. Persiapkan pasukan! Kita akan ke hutan sekarang juga!”


Panglima: "Baik, Yang Mulia. Kami akan segera bersiap."


Zhahir: "Saya akan memimpin pasukan ini sendiri. Kita harus menangkap semua mata-mata itu sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih buruk."


Para penasihat dan panglima mengangguk setuju. Zhahir berjalan cepat menuju gudang senjata, bersiap untuk memimpin pasukannya.


Zhahir memimpin pasukannya keluar dari gerbang istana. Matahari bersinar terang, namun suasana tetap tegang.


Zhahir: berteriak "Untuk Smudra Pasai! Maju!"

Pasukan berseru nyaring dan mengikuti Zhahir menuju hutan.


Zhahir berjalan di depan, pandangannya menyapu sekeliling hutan. Ia merasakan detak jantungnya berpacu.


Zhahir: dalam hati "Hutan ini... terasa begitu familiar."


Ingatan Zhahir melayang ke masa lalu, saat ia berburu saat petisi putra mahkota dan bertemu dengan Mira. Zhahir tenggelam dalam kenangan itu. 


Zhahir tersadar dari lamunannya. Ia melihat salah satu penjaga menunjuk ke arah semak-semak.


Penjaga: "Yang Mulia, ada jejak kaki di sini!"


Zhahir segera menuju ke arah jejak kaki tersebut. Ia mengikuti jejak itu semakin dalam ke dalam hutan.

Setelah beberapa saat, Zhahir kehilangan jejak. Ia berhenti dan menatap sekeliling dengan bingung.


Zhahir: "Mereka pintar sekali bersembunyi."


Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik di belakangnya. Dengan cepat, ia berbalik dan melemparkan pisau ke arah sumber suara. Pisau itu mengenai batang pohon.


Zhahir mengejar sosok yang melarikan diri itu. Ia berlari semakin cepat, tanpa menyadari bahwa ia semakin jauh melangkah dari pasukannya.



Zhahir tersesat di antara pepohonan yang tinggi menjulang. Ia mencoba mencari jalan keluar, namun hutan ini seperti labirin yang tak berujung.


Zhahir: dalam hati "Sial! Aku sudah kehilangan jejak mereka."

Tiba-tiba, ia melihat sosok wanita di kejauhan. Ia berjalan menuju kesana.


Zhahir keluar dari hutan dan terbelalak. Di depannya, berdiri seorang wanita dengan pakaian sederhana. Rambutnya terurai indah, matanya berkilau menatapnya.

Lihat selengkapnya