21 September 2019
Dinda berjalan kesana kemari sambil melihat catatan berisi daftar barang yang harus masuk ke kopernya. Tapi, begitu melihat kopernya. Banyak berisi barang yang tidak diperlukan Dinda. Ia menghela nafas dan mulai berteriak, “Ibuuuuu!”
Dinda berusaha untuk menahan emosinya, masalahnya bukan sekali ini Ibunya melakukan ini. Ibunya, Yani datang begitu mendengar Dinda berteriak. “Ada apa sampai kamu sampai harus berteriak?”
Dinda menunjuk kopernya dan kemudian mengambil barang-barang yang sudah ditaruh Yani. “Ibu, untuk apa selimut ini? Selimut sudah ada di sana. Ibu kemarin juga memasukkan bantal.” Dinda menghela nafas. “Kalau begitu bagaimana bajuku bisa masuk?”
Yani tersenyum mendengar putrinya mengeluh atas perbuatannya. “Maaf, Ibu hanya tidak ingin kamu kekurangan di sana.”
Dinda mulai memasukkan barang dan baju yang ia butuhkan ke dalam koper. Yani duduk di sebelah koper yang diletakkan di kasur. Ia menatap Dinda yang selama 23 tahun selalu bersamanya. Tapi sebentar lagi ia akan segera pergi. Dinda sadar kalau Yani menatapnya dari tadi, lalu ia berhenti dan balas menatap Yani. “Ibu, aku hanya ditugaskan dua tahun di Banjarmasin. Setelah itu aku akan pulang. Tidak akan lama.”
Yani memegang tangan Dinda agar duduk di sampingnya. “Sebelumnya Ibu tidak pernah membiarkanmu pergi jauh. Tapi sekarang kamu harus pergi jauh.”
Dinda sudah berkali-kali mendengar ini. Awalnya ia menangis, tapi setelah mendengar rengekan Yani. Dinda hanya tersenyum. “Ibu dulu saat masih muda juga merantaukan?”
Yani yang sebelumnya merasa sedih langsung tertawa. “Sampai kapan kamu terus mengungkitnya?”
Dinda mengangkat bahunya. “Nenek selalu mengatakan kalau Ibu dulu ngotot untuk pergi merantau.”