MEI 1992
Tidak kaget melihat Yani yang akhir-akhir ini sering ke rumahnya. Yang membuat kaget adalah Mak’e juga ikut bersamanya. Mak’e akhirnya mengatakan bahwa ia ingin menanyakan informasi tentang lowongan pekerjaan yang disampaikan oleh Yani.
“Kalau Mak’e pengen lebih tahu. Bisa ditelfon mak.”
Mak’e langsung bingung, “Bingung kalau harus telpon. Mak’e ora paham. Mak’e juga ora gawa uang banyak.” Tentu saja Mak’e menolak. Sebelumnya ia belum pernah menggunakan telpon, ia juga bingung dengan cara menggunakannya. “ Intine, lowongan pekerjaan di Jakarta itu apa? Terus kalau udah kesana apa bakal diterima? Adikmu ini perempuan, takutnya ada apa-apa.”
Saat itu Manto masuk ke rumah. Tadi ia baru saja dari wartel. Melihat Mak’e yang ada dia rumahnya ia langsung menyalaminya. “Sudah dari tadi Mak?”
“Baru saja. Dari mana kamu?”
“Dari wartel Mak. Habis nelpon Kasmi. Katanya kalau Yani niat mau kerja di Jakarta. Surat lamaran, fotocopy ijasah dikirim ke sana. Tadi Kasmi juga bilang kalau sepupunya yang rumahnya Magelang juga mau kerja di Jakarta. Jadi kamu ada temannya.” Manto menjelaskan.
“To Mak, aku berangkat gak dewekan. Ada temannya. Boleh ya mak kerja di Jakarta.” Yani benar-benar memohon kepada Mak’e.
“Tanya Pak’e, Kalau boleh ya kamu ke Jakarta.”
***
Begitu sampai ke rumah. Yani buru-buru menyiapkan segala keperluan untuk melamar pekerjaan. Walau belum mendapat ijin dari Pak’e. Tapi Yani sudah sangat antusias. Mak’e yang mengintip dari balik pintu ikut senang juga was-was.
Yani begitu semangat menuliskan surat lamaran pkerjaan di kertas folio. Sebisa mungkin ia menulis dengan tulisan yang indah dan terdengar sopan. Untung dulu di sekolah ia pernah diajari menulis surat lamaran pekerjaan. Setelah selesai Yani langsung memasukkan semuanya ke dalam amplop coklat. Ia juga menuliskan alamat yang akan di tuju. Yani buru-buru bangkit, rasanya ia ingin sekali langsung pergi ke kantor pos untuk mengirim.
Tapi Mak’e mencegah. “Sabar, minta ijin dulu sama Pak’e. Aja kesusu.”
Semangat Yani langsung mengendor setelah mendengar Mak’e. Benar juga, ia harus meminta ijin lebih dahulu. Kalau tidak maka semua akan sia-sia. Lagipula, Yani memegang prinsip bahwa ketika orangtua tidak mengijinkannya. Pasti nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya.
Malamnya, Yani memberanikan diri untuk meminta ijin lagi. Ia juga berharap Mak’e dapat membantunya agar Pak’e memberikan ijin.
“Pak...”Yani memulai meminta ijin.
“Wis ora perlu jelaske lagi. Mak’e tadi sudah menceritakan semuanya. Setidaknya kamu punya teman saat berangkat ke Jakarta. Pak’e bukannya mau menghalangi. Tapi kamu tidak tahu kerasnya kehidupan di sana.” Mata Yani berbinar-binar mengetahui Pak’e mengijinkannya. “Disiapke kabeh. Pak’e juga bakal cari uang lebih keras buat sangumu ke sana.” Yani belum pernah melakukan ini, tapi mendengar Pak’e mengatakan itu membuat Yani tersentuh sekaligus sedih. Ia langsung memeluk Pak’e tanpa mengatakan apapun. Air mata keluar dari matanya.
***
JUNI 1992
Butuh waktu hampir sebulan untuk menyiapkan keberangatan Yani ke Jakarta. Mulai dari meminta ijin kepada kedua orangtuanya. Lalu kesalahan menulis saat akan mengirim surat lamaran di kantor pos.
“Mbak ini tidak ada kode posnya. Harus ada kode pos mbak.” Ucap petugas kantor pos melihat surat Yani. “Mbak tahu kode posnya berapa?” Yani menggeleng. “Coba ditelpon temannya mbak. Itu ada telepon umum.” Saran petugas pos.
Yani mengambil kembali surat itu dan langsung keluar. Pak’e bertanya begitu melihat Yani keluar. “Wis? Loh, surate kok masih mbok pegang?”
“Harus ada kode posnya Pak, aku ora ngerti.”
“Makane nak tanya alamat yang jelas. Ayo balik, nanti biar Masmu yang menanyakan ke Kasmi.”
Setelah beberapa cobaan akhirnya gadis muda dari Desa kecil di Kabupaten Kendal memberanikan dirinya untuk pergi ke kota besar. Bersama dengan Esti, mereka bersama-sama berangkat menggunakan bis dari Semarang. Mereka baru kali ini bertemu. Tapi langsung nyambung.
“Seneng aku mbak, tak pikir bakal dewekan. Ternyata ada temannya.” Ujar Esti.
“Sama, tadinya aku ra diolehi Pak’e Mak’e. Tapi alhamdulillah akhirnya diijinin. Apalagi denger kalau ada temannya.” Balas Yani. Mereka baru pertama kali bertemu. Tapi mereka sudah mulai mengakrabkan diri. Apalagi mereka akan bersama-sama di tanah perantauan.
“Capek yo mbak.” Ucap Esti yang sudah mulai membenahi posisi duduknya. Dari miring ke kanan lalu miring ke kiri. “Maaf yo mbak, aku emang gak betah nak duduk terus.”
Yani memaklumi itu, ia juga tidak betah dan ikut memindahkan posisinya seperti Esti. Kadang ke kiri kadang ke kanan. “Ti, kamu punya berapa saudara?” Yani memulai pembicaraan agar mereka tidak saling berdiam diri.
“Aku punya tiga adik mbak. Aku anak pertama. Makanya aku merantau saja. Bantu Ibu Bapak mbak. Kalo mbak Yani sendiri?”
“Aku juga punya tiga saudara, tapi aku anak nomer tiga. Kalau aku sih pengen merantau biar gak di desa terus. Apalagi aku diancem mau dijodohin.” Yani sontak tertawa mengingat perkataan Pak’e yang memilih mencarikan jodoh ketimbang mengijinkannya merantau.
“Wah, aku sama mbak. Dimana-mana juga begitu ya. Aku kira cuma aku juga.” Esti ikut tertawa.
“Iya Ti, masa habis lulus langsung nikah. Sia-sia masa mudaku Ti. Aku mikire ngono Ti. Mbuh Pak’e Mak’e kepiye.”
“Mungkin, mungkin lo mbak. Wong tuwane kita maunya kita hidup enak pas nikah. Sudah ada yang biayain. Padahal ya mbak. Aku lihat sedulurku yang langsung nikah setelah lulus eh sekarang suaminya lagi nganggur mbak. Kasihan banget, baru juga anaknya lahir. Duh aku mikire sampai semono mbak.” Esti bercerita sambil membayangkan saudaranya. Terlihat sekali diwajahnya yang sangat mengasihani sepupunya itu.
“Padha Ti, mbakku juga. Sekarang lagi hamil tuwa. Eh suaminya malah ora duwe pekerjaan. Kasihan aku Ti. Pak’e Mak’e sampai harus membantu.”
“Hayo ya mbak, lihat begitu kok kita malah mau dijodohkan.” Sekarang mereka tertawa menertawakan nasib hampir dijodohkan. “Aku sih mau lihat-lihat kota dulu mbak.”
“Yo sama kaya aku Ti.”
***
Mereka terlelap dalam perjalanan sampai pada akhirnya mereka sampai di Cirebon dan bus berhenti di area pemberhentian. Esti membangunkan Yani, “Mbak, mbak Yani. Mau pipis dulu gak? Mumpung lagi berhenti.”
Yani yang masih setengah sadar mengerjap-ngerjapkan matanya. “Wis tekan ya Ti?”