21 September 2019
Dinda memainkan jarinya lalu memandang Yani. “Tante Esti baik ya Bu.” Yani tersenyum menyetujui upacan Dinda. ”Kapan-kapan kita ketemu Tante Esti ya.” Yani mengangguk. “Tapi Bu, dulu Ibu suka dengerin radio?”
Yani menatap ka depan. “Dulu, radio sangat populer. Saat itu yang memiliki televisi hanya orang kaya. Sedangkan kami orang biasa hanya bisa mendengar radio. Sandiwara Radio saat itu sangat terkenal. Semua orang akan hanyut saat mendengarnya.” Yani mengingat semua itu seolah-olah baru kemarin terjadi.
“Euis nyalain radio. Buruan, mau denger Tutur Tinular.” Eius yang tadinya akan menyuapkan nasi ke mulutnya dengan cemberut berjalan ke arah radio. Ia menyalakan radio. Mulai terdengar sandiwara radio. Semua yang ada di meja makan tiba-tiba menghentikan aktivitasnya.
Kasmi yang sudah mengambil nasi terdiam. Mendengar sandiwara radio seperti sekarang ini. Merupakan hal yang dapat merehatkan pikiran selepas bekerja. Mereka hanyut dalam mendengarkan sandiwara radio. Tapi rasa lapar di perut mereka membuat mereka ingat kalau mereka harus makan. Kasmi melanjutkan mengambil nasi. Yang lain bergantian mengambil nasi, sayur asem, tempe goreng dan sambal. Tidak ada diantara mereka yang berbicara. Mereka sibuk mendengarkan sandiwara radio.
“Hahh.” Euis merasa kakinya sedikit pegal.
“Diem. Brisik lo.” Mpok Eti langsung memarahi Euis. Ia sama sekali tidak ingin ada yang mengacaukannya saat mendengar sandiwara radio kesayangan Mpok Eti.
Malam itu mereka makan dengan pelan-pelan sambil mendengarkan sandiwara radio dengan hikmat. Mereka belum selesai makan sampai sandiwara radio itu kelar. Baru setelah selesai, Kasmi mulai berbicara. “Kalian besok mulai bekerja ya. Wajib datang jam tujuh pagi.”
“Mereka juga kerja di Madu Kita Kang?” Tanya Euis.
“Iya dong. Akang yang masukin.” Kasmi berbangga diri.
Esti menatap Kasmi kaget. “Akang?” Ucapnya pelan, melihat Pakliknya menjadi genit ke Euis. Yani menyenggol kaki Esti dan mereka ikut tertawa pelan.
“Kenapa kok ngguyu?” Kasmi menyadari ia ditertawakan. Esti dan Yani kompak menggelengkan kepala.
Yani dan Esti bangun pukul empat pagi. Mereka sama-sama bersemangat memulai pekerjaan pertama mereka. Mereka sama-sama menuju ke kamar mandi. “Mbak Yani dulu.” Ucap Esti, tapi dalam hati ia ingn mandi lebih dulu.
“Kamu dulu aja Ti.” Di dalam hati pun Yani ingin ia yang madi lebih dulu. Tapi ya rasa tidak enak menghinggapi dirinya.
“Sampeyan dulu mbak.”
“Kamu aja Ti.”
Mereka sibuk mempersilahkan siapa yang akan mandi duluan sampai tidak menyadari ada orang di belakang mereka. “Berisik banget. Dah gue dulu yang ke kamar mandi.” Yani dan Esti kaget melihat perempuan yang tiba-tiba datang.
Esti menyenggol lengan Yani, “Mbak, tadi siapa”
“Ra ngerti aku Ti.”
“Mambune aneh ya mbak.” Ucap Esti karena tadi ia mencium bau yang sangat menyengat dari perempuan itu. Bukan bau busuk, tapi seperti bau rokok bercampur dengan entah apa itu. Esti tidak bisa menebak.
“Iyo yo Ti. Mambu opo ya?” Yani sepakat dengan Esti.
“Lo Lo yang di luar ngomongin gue ya?” Bentak perempuan itu. Yani dan Esti lupa kalau mereka membicarakan perempuan itu di depan kamar mandi. Mereka tidak menjawab dan memilih langsung pergi saja.
Mereka langsung masuk ke dalam kamar Yani. “Siapa ya mbak orang tadi?”
“Mboh Ti, Mpok Eti kok ora ngenalke ke kita ya?”
“Bener mbak.” Esti yang tadi hanya fokus kepada pembicaraan tentang perempuan tadi. Ia akhirnya melihat kamar Yani. “Loh mbak, sampeyan gak ada selimut?”
Yani menggeleng. “Gak Ti, wis nanti tak beli kalau sudah gajian. Lagi pula, di sini panas. Ora selimutan ya ora papa.”
Esti tidak ingin berkomentar lagi. Ia kasihan tapi sepertinya Yani tidak ingin dikasihani. “Mbak, orang tadi masih di kamar mandi gak ya?” Esti mengalihkan pembicaraan.
“Mbuh Ti, lihat yo.” Ucap Yani. Mereka sebenarnya takut karena sudah membicarakan perempuan tadi. Tapi kalau mereka tidak segera mandi yang ada mereka akan telat di hari pertama kerja. Tentu mereka tidak menginginkannya.
Mereka memberanikan diri untuk keluar, Yani dan Esti berjalan pelan. Mengendap-endap seolah mereka maling yang takut ketahuan. Tiba-tiba, pundak Yani ditepuk dari belakang. Sontak Yani kaget, “Maaf mbak, maaf.”
“Teh Yani teh kenapa sama Teh Esti kok jalannya begitu?”
Yani dan Esti langsung lega. Mereka mengira perempuan tadi yang ada di belakang. Ternyata hanya Euis. “Gak ada apa-apa kok Eius.”
Euis yang tidak penasaran, santai saja langsung menuju kamar mandi. “Padahal kita sing duluan yo mbak.” Ucap Esti melihat Euis yang masuk kamar mandi. Mereka telah dilangkahi oleh Euis. Apalagi Euis mandinya lama sekali. “Bisa telat kalo begini.” Ucap Yani. Esti hanya mengangguk setuju.
***