Dengan percaya diri, Yani mulai menawarkan produknya ke pelanggan perempuan yang baru datang. “Permisi Mbak saya ingin menawarkan produk.”
Perempuan tadi menatap sinis Yani, “Mbak, mbak. Kamu pikir saya menikah sama kakak kamu?”
Yani cukup kaget dengan respon pelanggan pertamanya. Berbeda dengan Risa dan Euis tadi yang mendapatkan pelanggan dengan respon baik. “Maaf.” Ucap Yani.
“Sudah sana, saya tidak mau diganggu.” Perempuan tadi mengusir Yani. Terpaksa Yani pergi. Baru juga pertama menawarkan sudah kena marah.
“Sabar, memang ada yang seperti itu. Mungkin yang nanti kamu akan bertemu dengan pelanggan yang baik dan mau beli produk kita.” Risa menyemangati lalu menepuk pelan lengan Yani. Kemudian ia pergi dengan untuk menawarkan madu.
Semangat Yani, kamu tidak boleh menyerah. Pasti bisa! Yani menyemangati dirinya sendiri. Lalu, ada pelanggan satu keluarga yang datang. Yani menunggu mereka duduk. Setelah selesai memesan makanan, Yani mendekati mereka. “Permisi, saya ingin menawarkan produk Madu Kita.”
“Tidak, tidak. Saya tidak mau beli.” Ucap perempuan berambut sebahu.
“Jangan begitu Nis,” seorang Ibu tidak sependapat. “Silahkan kamu tawarkan.”
“Tapi Bu..” Anak tadi sepertinya tidak senang dan melihat ke arah Yani.
Sudahlah, lebih baik Yani menawarkan produknya. Masalah dimarahi nanti, ia tidak apa-apa. ”Ini adalah Madu kita yang banyak sekali manfaatnya. Untuk kesehatan dan juga kecantikan. Bisa dikonsumsi siapa saja. Tidak mengandung bahan pengawet dan kimia. Jadi aman untuk dikonsumsi dan dapat disimpan sampai 3 tahun. Kami juga memiliki banyak pilihan. Ada yang kemasan 250 ml, 500 ml dan 1 liter. Ada pula kemasan saset, memudahkan untuk diminum dan dibawa kemana-mana.”
Ibu itu nampak tertarik dengan penjelasan Yani, setiap Yani menjelaskan produk. Ibu itu selalu mengangguk dan tersenyum. Ia juga mulai menanyakan banyak hal. “Bisa untuk kecantikan juga?”
“Iya Bu, karena Madu Kita adalah madu alami bisa juga digunakan untuk masker.” Yani menjelaskan dengan senyum
“Kalau disimpan sampai enam tahun bisa?”
Yani tersenyum, mana ada yang mau menyimpan sampai enam tahun. Setengah tahun juga sudah habis. “Bisa Bu.”
“Kalau 500 ml jadi berapa saset.”
Aduh, berapa ya. Mana sempat Yani menghitungnya. “Bisa jadi 3 pack Bu.” Yani mengarang, matilah dia kalau pembelinya membeli yang saset lalu tahu ukurannya tidak sama. “Satu Pack ada 10 saset.”
Ibu itu mengangguk-angguk. Sepertinya sangat tertarik untuk membeli. “Begitu ya mbak, ehm saya tidak mau beli. Saya makan saja. Nis itu pesanan kita kan?” Anak perempuan tadi mengiyakan Ibunya dan menatap kasihan Yani.
Yani langsung pergi. Dia sudah panjang lebar menjelaskan tentang produk Madu Kia tapi Ibu tadi tidak membeli. Saat yani berada di dekat etalase dan meletakkan Madu. Anak laki-laki Ibu tadi mendekati Yani. “Maaf, mertua saya memang suka ngobrol dengan sales. Tapi ujung-ujungnya tidak jadi beli. Sebagai permintaan maaf saya. Saya beli yang paling murah saja.”
Yani sebenarnya kasihan tapi ada yang membeli produk tidak bisa Yani hiraukan. Yani mengambil satu pack Madu saset. “Ini yang paling murah Pak.”
Bapak tadi mengambil dompet dan membayarnya. Saat ia kembali ke meja makannya, ia nampak dimarahi istrinya. “Baru ketemu Bu Siti ya?” Tiba-tiba Bambang ada di sampingnya, “Memang biasa begitu, dia sering kemari. Sales tidak ada yang menawarkan ke ke dia karena kebiasaannya itu.”
“Bambang!” Ada yang memanggilnya dari dalam. Bambang menunduk lesu. “Aku pergi dulu ya.”
“Sudah ada yang beli?” Tanya Risa begitu ia datang. Yani mengangguk. “Itu ada catatan pembelian, kamu tulis nama kamu dan pembeliannya berapa ya.” Yani langsung mengambil buku catatan pembelian dan menulisnya.
***
Yani dan Euis sampai kontrakan pukul 18.00. Setelah mandi, Yani langsung merebahkan punggungnya di kasur. Lelah sekali hari ini, ia juga sudah mulai kelaparan. Pintu kamar Yani di ketuk. “Mbak Yani, aku masuk yo.”
“Ho’o Ti.”
Esti menghampiri Yani dan ikut tidur di sampingnya. “Gimana mbak tadi? Berhasil jual berapa?”
“Cuma satu Ti, itupun yang saset. Jadi tadi ada Ibu-ibu yang emang suka dengerin sales. Tapi ujung-ujung gak mau beli. Terus menantunya gak kepenak akhirnya beli. Kamu gimana Ti?”
“Seru Mbak.” Esti menatap genteng dan tersenyum.