Hari ini Euis nampak berbeda dengan biasanya. Euis yang Yani kenal orang yang ceria yang suka berbicara. Ia selalu semangat saat menawarkan madu. Walau terkadang suka menghilang karena bermain di dalam restoran. Tapi ia selalu bahagia. Kadang kalau sedang jengkel atau marah, Euis memperlihatkannya. Tapi Yani belum melihat Euis yang terlihat sedih seperti ini. Sebentar, kemarin Euis juga menangis saat pulang. Apa ini sebabnya?
“Yani.” Yani yang sedang memperhatikan Euis langsung beralih. ”Kamu sudah sarapan belum?”
Yani mengangguk. “Sudah, memang kenapa Bambang?”
Bambang tersenyum, “Aku pikir kamu belum sarapan jadi aku membelikanmu ini.” Bambang mengulurkan roti gambang. “Tapi bisa kamu makan saat makan siang.”
Yani tersenyum sekaligus mengerutkan kening. “Terima kasih. Tapi sebaiknya kamu saja yang makan.” Yani berbohong, ia hanya tidak ingin Bambang bersikap seperti ini kepadanya. Bambang menunduk dan kembali ke dalam restoran. Tiba-tiba Yani kepikiran ingin memastikan siapa yang membelikan roti gambang waktu itu. “Bambang.” Panggilan Yani langsung membuat senyum Bambang mengembang. “Waktu itu, saat perutku sakit. Benar kamu yang membelikanku roti?”
“Tentu saja.” Ucap Bambang. “Memang kenapa?” Yani menggeleng. “Oh, pasti Yogi mengaku kalau dia yang membelikan ya? Jangan percaya Yani. Yogi memang suka berbohong.”
“Benarkah?” Yani bingung harus percaya yang mana.
“Sudah ya aku ke dalam dulu.” Bambang langsung pergi. Meninggalkan Yani dengan kebingungannya. Sudahlah, lebih baik Yani bekerja saja dari pada memikirkan hal seperti ini. Saar itu ada tiga orang laki-laki yang datang.
Setelah mereka memesan, Yani menghampiri mereka dan menawarkan madu. “Permisi, saya ingin menawarkan madu...”
Salah satu laki-laki memotong Yani, “Tunggu kamu Yanikan?”
“Iya, bagaimana kamu bisa tahu?”
Laki-laki lain yang rambutnya sebahu menunjuk Yani. “Jadi ini Yani, lumayan juga.” Di situ Yani bingung, kenapa orang-orang bisa mengenalnya. Ekspresi dan tingkah mereka juga kurang sopan ke Yani. “Kami ini temannya Yogi, dia sering cerita tentang kamu.”
“Benarkah?” Yani bingung mau bereaksi bagaimana. “Apa mau saya panggilkan Yogi?”
Si rambut sebahu menggeleng, “Tidak-tidak. Kami tidak ingin bertemu dengannya. Kami ingin bertemu denganmu.”
“Apa?” Yani semakin bingung.