Esok harinya, Euis tidak berangkat kerja. Hanya ada Yani sendirian di sana. Yogi yang baru datang melirik sekilas dan melewatinya. Tapi saat akan masuk ke dalam restoran. Yogi berbalik. “Yani,” Yani langsung menoleh sambil tersenyum. “Kamu sendirian?”
“Iya, Euis sedang sakit makanya tidak berangkat.” Yogi hanya mengangguk dan kembali masuk ke dalam, tapi sebelum itu Yani memanggilnya, “Yogi.” Yogi berhenti dan berbalik. “Kamu mau mengajakku pergi lagi? Ada banyak tempat yang belum aku kunjungi di sini.” Yogi menatap Yani bingung, “Kalau bisa ajak semua teman-temanmu yang kemarin ke sini.”
Yogi nampak berpikir tapi kemudian tersenyum. “Baiklah, besok minggu kita pergi.” Yogi kemudian masuk ke dalam.
Tanpa Yani sadari, Bambang mendengarkan percakapan mereka. Ia langsung menghampiri Yani. “Yani.” Mata Bambang melotot. “Kamu mau pergi bersama Yogi?” Yani mengangguk. “Jangan! Kamu tahu tidak Yogi orangnya seperti apa?”
“Aku tahu dia seperti apa.” Yani tersenyum, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Bambang. Kamu tahu rumahnya Risa?” Bambang mengangguk. “Kamu mau datang ke pernikahnnya? Kalau iya, aku mau bareng.”
Bambang mengerjap tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia langsung mengangguk. ”Baiklah, Risa menikah besok rabu.”
“Baiklah, setelah pulang kerja kita langsung ke sana ya.” Ucap Yani. Bambang kembali mengangguk semangat. Ia tidak ingin meninggalkan Yani. Tapi Eko sudah memanggilnya untuk membersihkan meja pelanggan. Bambang pergi tapi masih melihat ke arah Yani sambil tersenyum bahagia.
***
Untung Yani tidak lupa kalau hari ini hari rabu. Ia membawa baju untuk datang ke pernikahan Risa. Setelah selesai bekerja. Bambang langsung mendatangi Yani yang sedang memasukkan botol madu ke dalam etalase. “Ayo.” Ajak Bambang dengan semangat bahkan ia membantu Yani agar selesai dengan cepat.
“Sebentar, aku ganti baju dulu.” Yani mengunci etalase dan kemudian pergi ke kamar mandi yang ada di dalam restoran. Bambang menunggu sambil bersenandung dan sesekali mengelap etalase.
Yani tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti pakaiannya. Ia hanya memakai rok yang pernah dipinjamnya dari Linda waktu pergi ke bersama dengan Yogi. Linda sempat marah saat Yani kembali meminjam rok yang waktu itu. Tapi Yani mengatakan kalau ia hanya ingin pergi ke pernikahan rekan kerjanya. Untungnya Linda tidak marah. Linda memang sudah sangat tidak sabar untuk segera menampar Yogi. Apapun yang berhubungan dengan Yogi membuatnya marah.
Yani hanya menggunaka bedak dan lipstik yang dibelinya saat mendapat gaji. Gaji pertamanya yang tiba-tiba hilang dalam sesaat. Untuk membayar hutangnya ke Esti, membayar kontrakan dan untuk dikirimkan ke keluarga di desa.
Yani bergegas menemui Bambang. “Ayo,”Ajak Yani, tapi Bambang hanya diam saja saat melihat Yani. Ia merasa bingung, apa ada yang salah. ”Apa aku terlihat aneh?” Mungkin, seharusnya ia berdandan seperti saat pergi dengan Yogi.
Bambang menggeleng, “Kamu cantik sekali, ayo kita pergi ke rumah Risa.”
Mereka berdua berjalan menuju parkiran, “Kenapa kita kemari?”
Bambang menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. ”Aku meminjam motor temanku. Tidak mungkin kamu yang sudah cantik begini naik bis.”
Yani tertawa, “Apa salahnya? Aku juga suka kok naik bis.”
Bambang mengulurkan helm kepadanya, ”Pakai ini, demi keselamatan.” Yani memakai helm yang diberikan Bambang. Benar juga, Yogi kemarin tidak memperdulikan keselamatan Yani. Berarti roti itu benar-benar untuk Yani.
“Terima kasih.” Ucap Yani begitu mereka sudah ada di jalan.
“Untuk apa?”
“Untuk roti gambang yang kamu berikan waktu itu.”
Bambang tertawa. “Baru kali ini kamu akhirnya mengatakan terima kasih.”
Yani merasa malu, “Maaf, baru sekarang aku percaya kalau kamu yang memberikannya Bambang.”