Rante Aji

Arumdalu
Chapter #2

Setitik Lega

Suara langkah dan ramai orang bercengkerama memecah lamunan Alam. Dia menoleh ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul dua siang ... bukankah tadi katanya anak-anak lain akan pulang sekitar jam tiga sore? Alam bergegas keluar kamar untuk mengecek, suara ramai dari siapa itu. Saat sampai di luar dia mencari sumber suara, tampak banyaknya kerumunan anak menggunakan seragam putih dengan celana biru tua atau navy. Ternyata anak-anak SMP. Jumlahnya cukup banyak, Alam tidak heran ... melihat dari luasnya, pondok ini bisa menampung banyak santri. Beberapa santri ada yang menyapanya sambil menundukkan kepala, lalu ada yang berlari menghampirinya masih dengan tas sekolah yang tampaknya cukup berat.

“Maaf ... Mas Alam ya? Barusan Pak Kyai minta tolong buat manggil Mas Alam ... katanya barang-barangnya udah bisa diambil,” ucap anak itu.

“Oh ... iya ... makasih ya,” ucap Alam.

Alam bergegas menutup pintu kamar dan menguncinya. Saat berbalik ... anak tadi masih ada di situ dan saat Alam mulai melangkah menuju ruang administrasi, anak itu mengikuti langkahnya ... anak itu menemaninya mengambil barang.

“Pindahnya kok nanggung Mas? Oiya ... aku Ridwan," ucap Ridwan memperkenalkan diri.

“Iya nih ... pindahannya juga mendadak,” jawab Alam.

“Emm ... Kamu udah berapa lama mondok di sini?” lanjut Alam.

“Baru satu tahun lebih beberapa bulan Mas, aku masuk sini pas mau SMP ... sekarang udah kelas dua,” jawabnya.

“Sekolahnya itu di luar pondok atau di dalam?” tanya Alam.

“Di luar pondok Mas ... Sekolah umum tapi nggak jauh dari sini, jalan kaki cuma delapan menit aja,” jelasnya.

“Oh ... Makasih ya Wan udah nemenin,” ujar Alam.

“Sama-sama Mas,” jawab anak itu.

“Assalamualaikum,” ucap Alam sambil mengetuk pintu ruangan itu.

“Waalaikumussalam ... masuk,” jawab suara di dalamnya.

Alam memasuki ruangan itu, terlihat seseorang sedang menulis sesuatu di sebuah buku. Orang itu bukan Kyai Haady yang ditemuinya tadi.

“Sini duduk ... saya Kyai Hasan, salah satu pengurus dan pengajar juga ... barang-barang kamu sudah diperiksa tadi, setelah ini bisa kamu bawa ke kamar. Ini jadwal ngaji kamu di pondok, sesuai data yang kita terima ... kamu sudah selesai mengaji beberapa kitab di pondok lama, ada juga beberapa yang sudah dimulai ... tapi ada beberapa kitab yang kita pelajari di sini dan belum kamu pelajari di pondok yang dulu. Kitab yang belum kamu pelajari nanti kamu ikut kelas bersama santri-santri baru dan ada kelas khusus untuk kamu mengejar bab nanti. Terus beberapa kitab, karena kamu sudah memulainya di pondok yang lama ... jadi kamu gabung dengan kelas santri-santri lama. Sudah paham?” jelas Kyai Hasan panjang lebar sambil memberikan dua lembar kertas berisikan jadwal ngajinya.

“Faham Kyai ... terima kasih,” jawab Alam sopan.

“Setiap aula untuk mengaji di sini sudah ada nomornya. Kamu bisa keliling dulu buat lihat-lihat dan ngafalin. Ini kitab-kitabnya bisa kamu bawa sekalian, untuk buku tulis dan perlengkapan lain bisa dibeli di koperasi pondok,” jelas Kyai Hasan.

“Baik Kyai Hasan ... terima kasih, mohon izin saya ambil barang-barangnya,” ucap Alam.

Alam mengambil barangnya satu persatu untuk dibawa keluar. Saat semua barang sudah dikeluarkan, dia kaget ... Ridwan ada di depan ruang administrasi dengan baju koko dan sarungnya, ah ... sarung ... dia ingat hanya membawa satu sarung saja, memang di pondok lamanya dia biasa menggunakan celana panjang. Sepertinya, dia harus membeli beberapa sarung ... karena di pondoknya yang sekarang sepertinya para santri setiap harinya menggunakan itu saat beraktivitas.

“Ridwan?” panggil Alam.

“Eh Mas Alam ... mau dibantu bawain barang-barangnya?” tawar Ridwan.

“Ah ... nggak usah Wan, ini bisa aku bawa sendiri,” jawab Alam pura-pura tidak mau, padahal dalam hatinya berharap agar Ridwan tetap kekeh membantunya.

“Udah sini Mas, kalau dibawa sendiri mau bolak-balik berapa kali?” ujar Ridwan.

“Makasih Wan, jadi ngerepotin. Emangnya kamu nggak ada kegiatan?” tanya Alam penasaran.

“Ya ada Mas ... tapi kita dikasih waktu satu setengah jam buat istirahat sama mandi. Nanti baru kumpul aula buat ngaji,” jelas Ridwan.

“Oooh ... ini udah mandi? Kok cepet banget,” tanya Alam.

“Masih ngantri Mas ... nanti aja deh,” ujarnya tanpa menoleh.

Mereka membawa dan menaruh barang Alam di bawah ranjang lalu kembali lagi ke depan ruang administrasi untuk mengambil sisa barang yang belum terangkut.

“Makasi Wan, kutata nanti malem aja,” ucap Alam.

“Mau keliling Mas? Yok aku temenin,” tawarnya lagi.

“Boleh deh, kalaupun ditolak kamu juga bakal ngeyel,” jawab Alam terkekeh.

“Hehe ... Mas nanti kalau lagi kenalan sama anak-anak kamar. Bilang aja tadi dibantu plus ditemenin keliling sama Ridwan hehehe,” ujarnya diselingi tertawa.

“Kenapa emangnya? Males ah, aku bilang keliling sendiri aja,” ujar Alam mencandai Ridwan, Alam merasa anak ini asyik jadi dia pun mudah menyesuaikan diri dengan Ridwan.

“Plis Mas ... Masku itu sekamar sama Mas Alam ... biar aku keliatan jadi anak baik,” ucap Ridwan sambil menaik turunkan alisnya.

Lihat selengkapnya