Rante Aji

Arumdalu
Chapter #3

Tak Lagi Sebelah Mata

Berisik suara mesin gergaji memenuhi ruang rungu para santri yang tengah bekerja bakti pagi hari ini, suara itu terdengar dari belakang pesantren yang memang terdapat banyak pohon besar. Memang sudah menjadi rutinitas di pesantren ini, minggu pagi akan diisi dengan bersih-bersih mulai dari membersihkan debu, mencuci gorden dan seprei, bekerja bakti membersihkan masjid serta lingkungan pesantren. Ada juga sebagian dari mereka yang ditugaskan untuk membersihkan jalan Desa dan masjid Desa.

“Rame banget ya suasana minggu pagi di sini,” ucap Alam, merujuk pada suara gergaji yang cukup keras.

"Ini belum apa-apa Lam ... kalau di rumah bukan di pesantren, hari minggu itu ramenya nggak karuan ... nih ... suara gergaji, potong keramik, suara ternak, sari roti lewat, orang muter musik serasa lagi hajatan, terus tambah lagi kalau ada Ibu-ibu yang ngegosip atau yang adu mulut ... bayangin coba,” jelas Wicak sambil menggelengkan kepala seolah menyerah dengan keadaan seperti itu.

“Hahaha aku malah pengen nyoba idup di lingkungan kaya gitu, rame,” ujar Alam sambil menggulung celananya untuk membersihkan area kamar mandi.

“Eh itu tadi yang pada keluar gerbang mau ke mana?” tanya Alam sambil menyikat lantai depan kamar mandi.

“Itu kerja bakti di jalan desa sama masjid desa ... makanya jalan desa bersih banget kan, bahkan ada taneman yang rapi ... soalnya tiap minggu kita gantian buat kerja bakti di sana. Tiap hari juga santri ada yang shalat di masjid desa bahkan tiap magrib itu imamnya santri di pesantren ini, ya pastinya di tes bacaan sama Kyai dulu,” jelas Wicak.

“Oh itu salah satu program di sini?” tanya Alam lagi

“Iya, buat ngelatih santri juga untuk terjun ke masyarakat, kalau ada warga yang meninggal ... santri sini juga aktif buat bantu mandiin jenazah, shalat jenazah sampai pemakaman. Bagaimanapun juga nanti pas udah lulus kita bakal terjun ke masyarakat, harus bermanfaat buat masyarakat. Tuh liat gerbang belakang,” ujar Wicak sambil menunjuk gerbang belakang yang jaraknya kurang lebih 150 meter dari deretan kamar mandi santri.

“Iya kenapa?” respon Alam.

“itu warga sini, petani sini ... mereka menjual hasil kebun, hasil ternak, hasil sawah ke sini. Jadi sayur, telur, ayam, nasi dan lain-lain itu dibeli dari warga desa. Padahal dulu pernah ada supplier dari kecamatan sebelah buat nawarin biar mereka supply bahan pokok di pesantren ini ... harganya lebih murah karna itu emang diambil dari lahan usaha tani gede. Tapi Kyai Abrar milih tetep beli dari warga aja, kalau sayuran dari warga kurang baru pengurus dapur belanja ke pasar. Itu semua biar masyarakat juga dapet manfaat dari pesantren ini. Kita beli bahan pokok dari mereka, kita bantu kerja bakti, ikut aktif di masjid bahkan untuk ngajar TPA juga,” terang Wicak sangat panjang yang disimak khidmat oleh Alam.

Alam menoleh memperhatikan gerbang belakang, terlihat beberapa warga membawa sayuran dan keperluan dapur lainnya. Senyum ramah mereka dan pancaran wajah terlihat semangat menggotong ikatan sayur, karungan umbi ataupun beras membuat hangat menjalar dalam rasa, Alam terkagum dengan pemikiran Kyai abrar yang mengupayakan agar masyarakat mendapat manfaat dari adanya pesantren ini. Hal ini tidak dia dapat di pesantren sebelumnya, dia memang dulu juga dilatih untuk terjun di masyarakat seperti praktik ceramah dan lain-lain, tetapi itu semua praktiknya masih dalam lingkungan pesantren saja. Bahkan selama 4 tahun lebih dia belajar di sana, belum pernah ada kegiatan bersama masyarakat kecuali jika ada bencana Alam. Hati Alam menghangat melihat ada orang yang sangat peduli dengan sesama, karena memang sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.

Mereka melakukan kerja bakti sampai pukul 10 pagi, setelah itu mereka bergegas membersihkan diri dari keringat. Lalu berkumpul di tengah ruang kosong kamar sambil mengipaskan buku ke badan. Saat hari minggu, kegiatan mengaji akan dimulai sore hari pukul 5 ... jadi setelah kegiatan kerja bakti selesai mereka bebas melakukan kegiatan mereka asalkan tidak keluar pesantren.

“Assalamualaikum ... oi kamar kita urutan kedua nih,” ujar Hanif yang tiba-tiba masuk menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka 2.

“Waalaikumussalam,” balas mereka serempak.

“Aseeeek ... aku udah ngiler pengen makan mie nih,” ucap Victor.

“Ssst ... ada acara?” bisik Alam ke Adim yang berada di sebelahnya.

“Kalau hari minggu, buat makan siang itu kita disuruh masak sendiri ... tapi bebas mau masak apa. Nanti ada uang Rp.15.000 per anak dari pondok buat beli sayur atau mie atau apalah terserah, bumbunya pake yang ada di dapur. Tapi misal mau beli bahan lebih dari Rp.15.000 ya tambahin pake duit sendiri,” jelas Adim.

“Misal duit Rp.15.000 itu mau dikumpulin sekamar buat patungan beli ayam seekor itu juga bisa, minggu kemaren kita bikin Ayam bakar,” tambah Victor.

Lihat selengkapnya