Terlihat sebagian santri sedang sibuk dengan sarungnya, sebagian sibuk dengan kitab kuning yang akan dibawa dan ada juga yang sedang terburu-buru menyeruput kopi karena takut nanti mengantuk saat mengaji. Tidak terasa sudah hampir 3 bulan Alam menuntut ilmu di pesantren ini, dia pun juga sudah mulai bersekolah serta akrab dengan teman dari luar pesantren.
“Eh ayo ayo ayo buruan ... bentar lagi mulai,” ucap Hanif.
“Bolpoinku mana? Woi ada yang ghosob¹ bolpoinku ya?” teriak Wicak.
“Ini meja siapa? Kutaruh bawah ya, mejaku ketumpukan,” ucap Adim.
Alam berlari bersama teman-teman kamarnya menuju salah satu ruang kelas mengaji. Penggunaan sarung cukup membuat dirinya keribetan saat berlari, dia masih belum terbiasa. Tangan kanan Alam memegang meja kecil yang ringan dan 2 buku serta bolpoin, sedangkan tangan kiri memegang sarung yang dia angkat selutut agar lebih mudah saat berlari. Mereka terburu-buru agar bisa sampai duluan dan mendapat barisan depan. Sesampainya di depan bangunan bernuansa Jawa itu mereka melepaskan sandal lalu masuk ke dalam. Alam meletakan meja kecil dengan panjang 30 cm, lebar 18 cm dan tinggi 10 cm itu ... lalu dia meletakan bolpoin, satu Kitab Nahwu Mutammimah juga satu buku tulis biasa. Dia memandang kitab kuning di depannya, kitab ini adalah lanjutan dari Kitab Nahwu Matan Jurumiyah dan Kitab Nahwu Matan Imrithi di mana 2 kitab itu sudah dia pelajari di pesantren lamanya. Alam duduk satu baris dengan Wicak, Victor dan Adim, mereka sudah seperti 4 sekawan yang terus berbarengan entah saat di sekolah atau saat di pesantren.
“Cak, Kyai yang mengajar siapa? Kyai Abrar ya?” tanya Alam.
“Kyai Haady soalnya Kyai Abrar lagi keluar sama putri beliau,” ujar Wicak.
“Hah? Putri beliau yang mana?” tanya Alam.
“Lho kamu belum tau toh, itu ... Bu Nyai Fatimah istri Kyai Haady ... beliau itu Putri Kyai Abrar, Kakak Kyai Hasan. Kalau dari yang aku denger, Kyai Haady itu udah nyantri di sini sejak kecil dan ternyata berjodoh dengan Putri Kyai Abrar,” jelas Wicak.
Alam mengangguk paham dengan sedikit kekehan ringan karena menurutnya kisah Kyai Haady seperti kisah romansa klise di sinetron ataupun cerita fiktif. Namun melihat kepiawaian beliau dalam mengajar dan kepribadian beliau yang sungguh mengesankan membuat Alam merasa sangat wajar jika hal itu terjadi, seorang santri berjodoh dengan putri Kyai.
“Sssst ... itu Kyai Haady udah rawuh² ... berhenti ngobrolnya,” ujar Adim.
Kyai Haady mengambil posisi untuk mengajar para santri. Mereka melakukan kegiatan mengaji dengan serius walaupun terlihat ada beberapa santri yang menguap. Dulu ketika belum masuk ke pesantren, Alam membayangkan bahwa kegiatan mengaji di pesantren itu berlangsung dengan serius, khidmat, seluruh mata santri terpusat pada Kyai yang mengajar, dibayangannya adalah sebuah kelas tanpa cacat. Tapi saat Alam menjadi santri, dia baru mengetahui keyataannya. Memang kegiatan mengaji berlangsung dengan khidmat, tetapi semakin lama akan terlihat pemandangan beberapa santri yang kepalanya tekatuk-katuk karna mengantuk, mulut-mulut menguap, bahkan suara dengkuran halus dari santri yang benar-benar tidak bisa menahan kantuknya. Alam tesenyum tipis melihat ke belakang dan menemukan beberapa santri sedang menahan kelopak mata mereka tetap terjaga.
Setelah kegiatan itu selesai, para santri kembali ke kamar mereka. Alam duduk di ranjangnya sambil memijit kakinya yang sedikit pegal. Victor terlihat sedang duduk bersila sambil menarik nafas dengan tempo teratur.
“Mau ngapain sih Vic? Kagak usah aneh-aneh deh,” ucap Hanif.
“Udah lama nggak keluar, cuma mau mastiin masih bisa apa nggak,” ujar Victor.
“Malem-malem boleh keluar?” tanya Alam.
“Bukan keluar beneran ... kamu percaya nggak kalau aku bisa ngeluarin sukmaku dari raga?” tanya Victor.
Alam hanya memandang dengan tatapan aneh seolah-olah menganggap bahwa yang dikatakan Victor itu hanya candaan atau bualan.
“Yeee ... pasti nggak percaya, nih bentar,” ucap Victor.
Victor berjalan mengambil sebuah selotip, buku dan bolpoin lalu melangkah menuju pintu. Dia menempelkan kertas itu ke pintu lalu berjalan menuju Alam, menyerahkan bolpoin kepadanya.
“Aku duduk ya di sini, nanti kalau dipanggil nggak ngerespon ... kamu tulis sesuatu di kertas itu. Terserah mau nulis apa, abis itu balik badan diem di situ,” ujar Victor.
Victor kembali duduk bersila lalu diam memejamkan mata, setelah beberapa saat Adim memanggil namanya namun tidak ada respon. Alam pun menghampiri kertas itu untuk menuliskan satu kalimat. Setelahnya, dia membalikkan badan memandang Victor namun temannya itu tak kunjung membuka mata. Setelah sekitar 5 menit, Victor akhirnya membuka mata.
“Lama banget sih, pegel ini berdirinya,” gerutu Alam.
“Jalan-jalan bentar sekalian ngerjain kamu,” ucap Victor sambil terkekeh.
“Hmmm,” gumam Alam.
“Sapi kepala segi lima gara-gara induknya ngidam kebab Madagaskar,” ujar Victor dengan nada tengil.
Alam hanya terdiam sambil membalikkan badan melihat tulisannya itu. Kalimatnya sama persis dengan apa yang diucapkan Victor.
“Masih nggak percaya? Nih kalau nggak percaya, sekarang pura-pura nyari barang ketinggalan di masjid, mau jam atau apa gitu. Kyai Abrar udah pulang, sekarang lagi di masjid baca Al Quran ... sama ada Kyai Hasan juga yang lagi ngotak-atik microphone masjid,” ujar Victor.
Alam sebenernya tidak mau melakukan hal itu apalagi kakinya sedang pegal, tapi karena penasaran maka dia meminta Wicak untuk menemaninya ke masjid. Sesampainya di masjid, benar saja ada Kyai Abrar yang sedang melantunkan ayat Al Quran dan Kyai Hasan yang nampak mengotak-atik microphone mimbar masjid tersebut. Mereka langsung berpura-pura mencari sesuatu dan dihampiri Kyai Hasan.
“Kok belum istirahat ... mau shalat malam atau apa?” tanya Kyai Hasan.
“Maa Kyai, ini Alam baru ingat kalau tadi pas shalat ngelepas jam di masjid, tapi lupa jamnya udah dibawa lagi atau ketinggalan di sini Kyai,” jawab Wicak terpaksa berbohong.
“Udah ketemu belum?” tanya Kyai Hasan.
“Belum ... mau kita lanjut cari besok saja ... kami ke kamar dulu ya Kyai, Assalamualaikum,” ucap Wicak, berlalu sopan.
Mereka kembali ke kamar dan sudah terlihat Victor tersenyum tengil.
“Udah percaya kan?” ujar Victor.
Alam hanya diam dengan wajah yang sedikit tidak enak. Ada kekhawatiran dalam hatinya.
“Kenapa Lam? Kok gitu mukanya,” tanya Adim.
“Maaf, di sini belajar kaya gituan?” tanya Alam ragu, takut ada yang tersinggung dengan pertanyaannya.
“Kaya gituan gimana Lam?” tanya Hanif.
“Itu ... yang kaya Victor,” imbuh Alam.
“Nggak ... di sini mah lurus-lurus aja Lam, nggak belajar aneh-aneh. Jadi nggak usah takut. Victor mah bawa itu dari rumah, dari sebelum masuk pesantren,” jelas Adim.