Kedudukan akal dalam Islam memiliki tempat yang tinggi, dalam menuntut ilmu dan menelaah sesuatu kita memerlukan akal. Namun, bagaimana jika kita dihadapkan dengan sesuatu yang sulit dicerna akal? Sedangkan kita adalah manusia biasa yang jauh dari karomah untuk bisa dengan tepat mengambil kesimpulan. Peristiwa yang berjalan selama 8 hari di pesantren ini membuat para santri kebingungan karena mereka tidak bisa menggunakan akal dengan maksimal, ada batas jalan yang buntu ketika mereka mencoba merunut sesuatu. Gangguan-gangguan yang pada awalnya hanya dialami oleh Alam dan kawan-kawan ternyata merembet ke santri lain pada hari-hari berikutnya. Hal itu juga sudah sampai di telinga para Kyai, karena gangguan paling sering muncul di malam hari ... maka para santri dimita untuk lebih meningkatkan ibadah malam. Setiap malam mereka semua mengupayakan dzikir, doa serta tadarus Al Quran, bahkan Kyai Haady dan Kyai Hasan sampai berpratoli untuk memantau apakah para santrinya benar-benar melakukan apa yang telah diperintahkan atau tidak. Namun gangguan itu seperti memiliki mata-mata yang mengintai dan melihat celah lalai para santri, gangguan itu muncul di waktu-waktu tertentu terutama saat mereka sedang beristirahat ataupun terlelap.
“Astaghfirullah ... rambut lagi,” ucap Wicak yang baru saja terbangun dari tidurnya.
“Hah ... di mana?” ucap Victor sambil mengucek mata.
Satu persatu santri di kamar itu terbangun dan melihat rambut panjang yang berserakan di lantai kamar. Sekarang rambut-rambut itu tidak datang sendirian, di sudut-sudut kamar terdapat larva yang biasa orang bilang sebagai belatung. Jumlahnya tidak banyak, tetapi cukup membuat merinding badan karna wujudnya yang menjijikkan. Mereka coba mengendus dan menerangi kolong-kolong ranjang menggunakan senter, takut jika ternyata ada bangkai atau semacamnya di kamar itu sehingga mengundang lalat yang bertelur dan menetaskan belatung. Namun setelah dicari, tidak ada sesuatu yang bisa mengundang lalat atau semacamnya ... bahkan bau tidak sedap pun sama sekali tidak tercium di kamar itu. Saat mereka mengecek kolong kamar dan sela-sela almari, tiba-tiba ada belatung yang berjatuhan dari langit-langit kamar membuat riuh seketika pecah. Hanif dan Adim langsung mengambil sapu serta serokan untuk membuang binatang menjijikkan itu, sedangkan yang lain membersihkan rambut yang lagi-lagi berserakan.
“Hanif ... dapet apa kamarmu?” tanya santri kamar sebelah yang terlihat sedang membuang sesuatu juga.
“Hah? Maksudnya?” tanya Hanif.
“Noh ... semua kamar pada nemu hal-hal aneh. Kamar pojok ada gumpalan tanah, sebelahnya ada rambut, kamarku nggak ada apa-apa tapi pas bangun udah berantakan sama ada bau busuk banget, jendela udah dibuka ... tapi baunya kaya ngendap di kamar,” ujar Santri tersebut.
Hanif melihat sekitar, benar saja ... para santri sedang sibuk keluar masuk kamar sambil memegang sapu dan lap. Ada juga yang berlari dari arah kamar mandi membawa banyak sekali gumpalan rambut. Kyai Abrar dan Kyai Haady terlihat tergesa menuju salah satu kamar santri diikuti beberapa santri lain. Alam, Wicak, Adim dan Victor yang mendengar bising-bising dari luar pun penasaran lalu keluar kamar.
“Ini kenapa Nif?” tanya Alam.
“Nggak tau Lam, kata anak kamar sebelah semua kamar dapet gangguan,” jawab Hanif.
Terlihat Kyai Hasan berlari cukup tergesa dan memasuki kamar santri yang tadi dimasuki oleh Kyai Abrar dan Kyai Haady. Alam melangkah menghampiri kamar santri tersebut, penasaran ingin melihat ada kejadian apa. Begitu pun yang lain, mereka mengerumuni depan kamar tersebut, Alam yang sampai duluan di kamar tersebut bisa melihat keadaan di dalamnya. Terlihat Kyai Abrar dan Kyai Haady sedang memeriksa 3 santri yang matanya masih terpejam.
“Mereka kenapa?” tanya Alam kepada salah satu santri yang tidak dia ketahui namanya.
“Nggak tau, dari semalem mereka udah ngeluh pusing, ya kita ngiranya demam atau masuk angin. Semalem minum obat, tapi paginya malah badannya panas banget, terus mereka bertiga kaya ngigo ngucapin sesuatu nggak tau apaan, kalimatnya sama persis, ngucapinnya juga kompak,” jelas Santri tersebut.
Alam melihat wajah-wajah pucat 3 santri tersebut. Kyai Hasan terlihat menelefon seseorang yang beliau panggil Pak Mantri. Kemudian rungu Alam menangkap suara yang keluar dari 3 santri tersebut.
“Sabran manah wwantěn bindu andhakāra. Sira wibhūta myang lungguh, ingsun kang asung anumata. Lungguh tunggěng myang umyāpaka, mālap kamudi. Sabran manah wwantěn bindu andhakāra, rumahab trang, wipaka dharma. Prāpta manungsa una(d)ika yan Gusti nisteja mandaśarana,” ucap 3 orang santri itu secara bersamaan dan diulang-ulang.
Hal itu membuat kerumunan di depan kamar semakin banyak. 3 satri itu terus meracau dengan kalimat yang tidak ketahui maksudnya oleh para Santri. Tiba-tiba secara besamaan ketiga santri itu membuka mata, mulut mereka juga menganga, badan sedikit terangkat seperti ingin bangun namun tertahan.
"Nang jangan lepaskan dzikir ... jika kalian sulit membaca doa atau ayat Al Quran, tetap usahakan ada asma Allah dalam hati kalian, jangan lepas dalam mengingat Allah," tutur Kyai Abrar.
"Kyai ... sa yy yya ... ti dak ... b bbbi sa berna fffa as," ucap Rais, salah satu santri yang demam.
"Hahaha ...." tiba-tiba Bani, Santri yang juga deman tertawa dengan suara yang berbeda dari biasanya, suara Bani serak berat dan rendah.
"Lepaskan jika kau mau bernafas lagi Rais ... jangan dengarkan Kyaimu itu, dia mau membunuhmu, KAU AKAN MATI KEHABISAN NAFAS JIKA TERUS MELAFALLKAN NAMA YANG KAU ANGGAP TUHAN!" ucap Bani memprofokasi.
"Rais ... jangan dengarkan, jangan terjebak ... tetap berdzikir, jangan lepaskan Allah dari hatimu!" tutur Kyai Abrar, sedangkan Kyai Hasan dan Kyai Haady terus melantunkan bacaan ruqyah dengan cukup lantang.
"Kyaimu itu bohong Rais, dia ingin kau mati ... lihat aku ... aku bisa bernafas kan ... berhenti mengucapkan nama sialan itu," ucap sosok dalam tubuh Bani.