Badan Victor kaku, posisinya terduduk dengan tumpuan lutut dengan tangannya yang saling menggenggam di depan. Tiba-tiba ada sepasang tangan hitam besar, walaupun besar ... tetapi tangan itu terlihat seperti tidak memiliki daging. Hanya tulang yang dibalut kulit hitam menggelambir, kukunya panjang dan tajam dengan jari yang tidak bisa Victor hitung jumlahnya. Tangan hitam itu memegang tangan Victor, 2 kuku menggores permukaan punggung tangannya. Victor menegakan wajah melihat sosok di deoannya, sosok seperti tengkorak besar berbalut kulit hitam menggelambir. Dari bibirnya mengintip barisan gigi yang tajam, sosok itu menyeringai menatap Victor dengan mata merahnya. Tubuh Victor kaku, dia tidak bisa bergerak sedikitpun. Di punggung tangan sosok hitam itu terdapat tulisan berwarna putih seperti rajah, tiba-tiba tangan sosok yang sedang menggenggam tangan Victor itu mengeluarkan asap lalu sosok itu melepaskan genggamannya. Rajah di punggung tangan itu berpindah ke telapak tangan Victor.
"Pesantren ini sedang dikutuk, tidak ada yang bisa selamat dari kutukan itu ... kalian semua akan berakhir mengenaskan menjadi mayat!" ucap sosok hitam itu.
"Tapi ... kau masih bisa selamat, aku satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu dari kutukan di pesantren ini asal kau meminta pertolongan itu. Tangkupkan kedua tanganmu lalu meminta tolonglah, jika kau mau selamat," ucap sosok itu sambil menggoreskan kukunya di telapak tangan Victor.
Victor memejamkan mata, dia mencoba memanjatkan doa yang dia ingat, sebenarnya ingatannya buyar saat itu seakan semua hafalannya melebur hilang. Namun Victor tetap memfokuskan hati meminta pertolongan ke Allah dan dengan pelan mulutnya berhasil melantunkan beberapa ayat Al Quran meski dengan gemetar. Sosok hitam itu menggeram marah lalu dengan tangan besarnya, dia menampar Victor. Victor tetap memejamkan mata sambil membaca ayat yang dia bisa, perlahan dia merasa lehernya tercekat dan tubuhnya melayang ... namun tiba-tiba dia merasa dibanting. Sepersekian detik setelah Victor merasa tubuhnya terbanting, dia terbangun namun belum terbangun secara total. Sosok hitam itu tersenyum menjijikan di atas tubuhnya, Victor ketindihan. Sosok itu meniup ubun-ubun dan muka Victor, tangannya membuka mulut Victor. Bola mata Victor mulai memutih, kesadarannya seperti dikikis ... makhluk itu berusaha memasuki tubuh Victor. Dalam hati Victor, dia kembali merapalkan banyak doa dan memasrahkan dirinya kepada Allah. Tidak lama setelah itu Victor terbangun, kali ini benar-benar terbangun. Dia membangunkan teman-temannya untuk melaksanakan shalat tahajud. Hatinya cukup cemas, matanya terus terjaga hingga adzan subuh berkumandang.
“Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā, lahā mā kasabat wa ‘alaihā maktasabat, rabbanā wa lā tahmil ‘alainā israng kamā hamaltahu ‘alalladzīna ming qablinā, rabbanā wa lā tuhammilnā mā lā tāqatalana bih, wa’fu ‘anna, waghfir lanā, war-hamnā, anta maulānā fansurnā ‘alal-qaumil-kāfirīn.” Lantunan ayat terakhir surah Al Baqarah itu mendayu lembut bersamaan dengan sinar matahari yang mulai mengintip lewat celah ventilasi.
“Sadaqallāhul adzīm, subhānakallāhumma wa bihamdika, asyhadu allā illāha illa anta, astaghfiruka, wa atūbu ililaīk.” Para santri menutup kegiatan itu dengan tashdiq serta doa kafaratul majlis.
Setelah shaat subuh, para santri diminta untuk kembali membaca surah Al Baqarah dalam sekali duduk. Alam dan Victor mendapat tugas membaca surah Al Baqarah di ruangan Kyai Abrar. Mereka memindahkan posisi kaki karena merasa cukup pegal, satu diantara para santri tersebut tiba-tiba berteriak kaget.
“Astagfirullah ... Kyai, saya menemukan ini di dekat kaki saya ... tadi saat awal datang, saya tidak melihat benda ini,” ucap santri tersebut menyerahkan benda yang biasanya disebut buhul.
“Subhanallah ... Astaghfirullah ... coba ... Kyai minta tolong cek setiap sudut ruangan ini, Alam ... Kyai minta tolong siarkan di masjid pesantren, minta para santri membersihkan kamar mereka sambil berdzikir atau membaca ayat kursi, jika menemukan barang-barang aneh, kumpulkan nanti di tengah lapangan” pinta Kyai Abrar.
“Baik Kyai,” jawab Alam.
Alam keluar dari ruangan itu untuk melaksanakan perintah Kyai Abrar. Sedangkan santri-santri yang masih berada di ruangan itu, bergegas mengecek ruangan tersebut. Rak buku mereka periksa satu-satu, kolong meja, atas almari. Ditemukan beberapa buhul dengan bentuk yang berbeda, ada yang dibuat dari benang, lempengan besi, kain putih yang kotor, dan seperti akar-akar tanaman. Victor sedaritadi memasang wajah gelisah, dan raut itu ditangkap oleh Kyai Abrar.
“Nang ... Victor ... kenapa?” tanya Kyai Abrar lembut.
“Kyai ... sebenarnya, saya semalam mengalami hal yang seram, tapi itu di dalam mimpi dan setelah itu saya ketindihan, apa boleh mimpi buruk itu saya ceritakan?” ucap Victor.
“Mimpi buruk sebaiknya tidak diceritakan, tapi dalam kondisi seperti ini ... jika kamu merasa mimpimu itu ada hubungannya dengan gangguan di pesantren ini, bisa ... silakan cerita sama Kyai,” ucap Kyai Abrar.
Saat Victor ingin menceritakan hal yang dia alami semalam, tiba-tiba ada santri yang mengetuk pintu ruangan itu dengan kencang. Saat pintu itu dibuka, santri tersebut sudah penuh keringat dengan wajah takut dan khawatir.
“Assalamualaikum Kyai ... maaf Kyai, di kamar pojok sebelah kamar mandi ada yang kerasukan, saya tidak tau ini kerasukan atau apa, tapi punggungnya ruam-ruam merah dan kebiruan,” jelas santri tersebut terengah-engah.
“Waalaikuussalam, ayo kita ke sana,” ucap Kyai Abrar.