Rante Aji

Arumdalu
Chapter #10

Menebas Ranting

Kabar tentang pesantren yang mengalami banyak gangguan pun sudah menyebar ke warga Desa. Kabar tersebut mulai tersebar saat beberapa warga yang rutin mengantar sayur itu mendatangi pesantren pada hari Minggu dan ternyata keadaan pesantren sedang tidak baik-baik saja. Hari ini, Pak RT dan dua orang warga mengunjungi pesantren untuk melihat keadaannya secara langsung dan menanyakan apa yang terjadi. Mereka berkumpul di dalam masjid menunggu Bayu Sadar, para santri masih terus membaca Al Quran. 

Bayu tersadar dari pingsannya, Kyai Abrar dan Pak RT langsung menghampiri anak itu. Segelas air disodorkan kepada Bayu, dia meneguk sedikit demi sedikit hingga air itu habis. Saat kesadarannya sudah benar-benar terkumpul, Bayu dituntun oleh Kyai Abrar untuk mengambil wudhu dan didudukkan kembali di dalam masjid. Santri lain masih khidmat membaca Al Quran. Bayu diminta beristighfar terlebih dahulu. Setelahnya Kyai Abrar mulai menanyainya, ternyata benar ... Bayu juga mengalami kejadian persis seperti Victor dan 3 santri lainnya, dia bermimpi bertemu sosok hitam bermata merah. Dalam mimpinya, dia sangat ketakutan dan termakan tipu daya setan. Dia mengucapkan satu kata “tolong” kepada makhluk itu kemudian dia terbangun dengan badan nyeri serta panas, matanya pun kabur tidak bisa melihat dengan jelas. Kepalanya penuh suara makhluk itu yang tertawa terbahak-bahak, dia terjebak dalam keadaan di mana terkadang dia bisa mengambil alih tubuhnya namun tidak lama dia kembali dikuasai oleh suatu energi yang dia tidak bisa menjelaskan detailnya. Kyai Abrar memintanya untuk bersyahadat, hal itu langsung dilakukan oleh Bayu.

“Nang ... kamu kembali lagi kepada Allah dalam keadaan sadar ... benar?” tanya Kyai Abrar.

“Benar Kyai,” jawab Bayu dengan suara lemah.

“Laksanakan shalat taubat dua rakaat ya,” tutur Kyai Abrar.

Kyai Abrar memberikan baju yang diambilkan oleh seorang santri saat beliau mengantarkan Bayu wudhu, selama pingsan Bayu terus berkeringat ... membuat baju yang dipakainya sangat basah oleh keringat. Tulisan rajah itu terlihat saat Bayu membuka bajunya, Pak RT memandang sendu santri tersebut. Sebelumnya Kyai Abrar sudah menceritakan semuanya kepada Pak RT dan dua warga bernama Pak Pragma dan Pak Wisesa saat Bayu masih pingsan tadi. Bayu berdiri dengan mantap, namun saat dia menginjak sajadah dan menghadap kiblat, tiba-tiba kakinya gemetar. Kyai Abrar berkata bahwa Bayu bisa shalat sambil duduk jika memang belum kuat berdiri, namun Bayu tetap kekeh ingin melaksanakan shalat dengan normal. Kaki dan tangan gemetar itu sedang berusaha mempertahankan posisi rukuknya. Lalu dalam sujudnya terdengar isakan kecil, air mata Bayu sudah tak terbendung saat dia selesai melaksanakan dua rakaat shalat taubat. Tiba-tiba dia berteriak kecil dan dari punggungnya muncul cahaya seperti bara api yang berkilat dibalik kain putih polos baju kokonya. Bayu seperti merasakan kesakitan, mulutnya terus beristighfar dan menyebut asma Allah. Tidak lama setelah itu, dia kembali tenang. Kyai Abrar menghampirinya dan meminta izin untuk memeriksa punggung Bayu. Baju koko itu disingkap dan terlihat punggung polos tanpa ada rajah ataupun ruam.

“Alhamdulillah ... Allah menolongmu Nang, jangan lalai lagi ya” ucap Kyai Abrar.

“Alhamdulillah.” Serempak suara santri terdengar melafalkan hamdalah. Kakak Bayu yang ikut berada di deretan santri itu akhirnya bisa bernafas lega melihat Adeknya sudah dalam keadaan baik. 

“Kyai Abrar ... maaf, gangguan yang terjadi di pesantren ini terus menjadi perbincangan para warga, kami semua menghawatirkan pesantren ini ... Warga berpendapat, mungkin sebaiknya kita meminta tolong Mbah Wirya ... seperti yang kita tahu, kalau Mbah Wirya paham hal-hal seperti ini dan memang sering menangani hal ghaib seperti ini,” ujar Pak RT.

“Alhamdulillah ... terima kasih Banyak Pak RT, tolong sampaikan rasa terima kasih kita untuk para warga yang sudah sangat peduli dengan pesantren ini. Saya menghargai pendapat para warga, juga menghargai Mbah Wirya, saya percaya Mbah Wirya itu orang yang baik ... namun mohon maaf, saya tidak bisa menyetujui saran tersebut. Kami hanya akan melakukan upaya dengan cara yang sesuai dengan syariat islam, kami tidak bisa menerima praktik penyelesaian yang bukan berlandaskan syariat. Mohon maaf sekali Pak RT,” tolak Kyai Abrar sopan.

“Tapi tidak ada salahnya dicoba Kyai ... kami takut kalau gangguan ini akan semakin berimbas buruk ke pesantren ini,” bujuk Pak Pragma.

“Jika aturan syariat tersebut diibaratkan sebagai pepohonan yang rimbun dan kita sedang berdiri di bawahnya. Dikepung gelap, tidak ada salahnya kita menebas ranting pepohonan itu untuk melihat cahaya, Kyai,” imbuh Pak Pragma.

“Jika aturan syariat ini diibaratkan pepohonan rimbun dan kita perlu melihat cahaya, saya akan memilih untuk memanjat pepohonan itu, melewati semua ranting hingga sampai ke atas dan melihat cahaya dibalik rerimbunan, tidak harus menebas rantingnya. Mohon maaf Pak, saya tetap teguh dengan pendirian ini untuk berpegang pada syariat islam, saya tidak akan menebas syariat itu,” tegas Kyai Abrar.

Diskusi itu diakhiri dengan keputusan bahwa Kyai Abrar menolak saran yang diajukan warga. Pak RT, Pak Pragma juga Pak Wisesa pun mengerti dengan keputusan Kyai Abrar. Mereka pun kembali ke Desa untuk menyampaikan hasil kunjungannya kepada warga. Pesantren sudah kembali kondusif, para santri pun kembali ke kegiatan normal sehari-hari mereka. 

Lihat selengkapnya