“Sejak Amelia bunuh diri, suasana lantai tiga tuh jadi beda banget, nggak ramai kayak sebelumnya.”
–Vida Nurina
Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi latte art wajah serigala di cangkir yang lebar. Entah bagaimana si barista membuatnya, yang pasti lukisan wajah serigala itu membuatku enggan untuk menyesap, apalagi mengaduknya. Ya, aku hanya memandanginya, karya seni seindah itu tidak ingin kurusak begitu saja meski aku butuh kafein malam ini.
Tidak banyak yang datang ke Kafe Kopinu, tetapi ada beberapa mahasiswa entah dari kampus mana yang berkumpul dan mengerjakan tugas. Pemandangan seperti itu membuat perutku mual, karena aku sudah kelelahan menghadapi tugas-tugas kuliah Akuntansi semester empat. Tujuanku duduk di sini sendirian adalah untuk menikmati kopi dan menunggu Vida datang membawa informasi penting, lebih penting dari satu-satunya nilai A yang kudapat di mata kuliah Pajak.
Seorang pria bertubuh kekar memasuki pintu kaca Kopinu. Seraya melangkah, ia melepas kacamatanya dan melirikku, hanya sedetik lalu berpaling. Mungkin ia melirik karena aku satu-satunya wanita yang duduk sendirian di dalam sini, kemudian ia berpaling karena melihat gugusan jerawat di wajahku. Mungkin. Aku tidak ingin peduli.
Aku mengabaikan pria itu dan melihat arloji, waktu menunjukkan pukul delapan lewat dua belas menit, Vida sudah terlambat dua belas menit dan ia belum juga datang. Sudah dua belas menit juga aku membiarkan kopiku mendingin.
“Audi!” pekik seorang wanita dari arah pintu, aku yakin ia Vida. Aku pun menoleh dan melihatnya. Vida selalu tampak cantik di mana pun ia berada, malam ini wanita itu memakai sweter rajut putih dan mengikat rambut panjangnya ke belakang, membiarkan kening mulus yang berkilau dan alis tebal natural itu jadi tontonan utama.
Vida menghampiri dan memelukku, lalu ia duduk berhadapan denganku. Aku tidak tahu apa merk parfum yang dipakai Vida, tetapi aromanya tidak menyengat dan hanya bisa dicium saat berada di dekatnya, yang pasti nyaman.
“Ada Avogatto,” ucapku, aku tahu Vida suka es krim. Di sini satu-satunya menu kopi yang bisa dicampur es krim adalah Avogatto.
“Oke, ntar gue pesen sendiri,” ucap Vida. Senyum yang tersungging sejak ia memasuki pintu belum juga memudar, memberikan indikasi ada kabar bagus yang hendak disampaikan. Tentu saja senyum seperti itu menular, memberikan mood baik meski aku belum mengonsumsi kafein malam ini.
“Nah, kan sepi,” lanjut Vida, wajahnya menoleh ke sana kemari, kemudian kembali menatapku. “Mending di Starbucks aja, ramai.”