Aku pulang dari Kafe Kopinu membawa perasaan yang aneh, tidak senang ataupun sedih, tetapi juga tidak biasa-biasa saja. Kedua tanganku terasa lemas memegang setir sepeda motor, membuatku ingat belum sempat makan dari tadi sore. Seharusnya tadi aku makan di kafe, tetapi mood buruk membuatku enggan memesan apa pun untuk dimakan. Kematian Amelia bukanlah hal yang pantas untuk dibahas berulang-ulang, bagaimana jika ia mendengarkan ucapan tentangnya Vida di alam sana?
Gemerlap gedung Kota Jakarta Selatan pada malam hari menyamarkan sinar bintang-bintang di langit. Aku berharap jutaan bintang itu masih ada hingga kunikmati liburan, karena seminggu lagi November datang dan kuyakin akan menggelapkan langit. Jalanannya padat, bising klakson di sana-sini, dan jangan tanyakan tentang polusi yang dihasilkan oleh semua kendaraan di sekitarku.
Aroma ayam bakar di pinggir jalan sedikit mencuri perhatian, aku melirik ke spion kiri dan melihat banyak kendaraan yang melaju kencang di belakangku, maka kuurungkan niat untuk membeli ayam bakar itu. Papan besar di depan gedung bioskop menunjukkan film horor Setengah Pocong 6 . Walaupun aku belum menonton satu pun dari film Setengah Pocong, tetap saja aku heran kenapa film horor seperti itu bisa sampai dibuat hingga enam kali? Bagian otakku yang lain menjelaskan bahwa orang-orang masih sangat suka pada cerita takhayul walaupun sudah tahun 2025.
Oktober, batinku, hallowen. Semuanya jadi serba horor di bulan Oktober. Seolah hantu-hantu jadi punya kekuatan tambahan untuk mengintimidasi manusia. Aku tidak percaya bahwa orang-orang yang telah meninggal karena hal tak wajar akan menjadi hantu. Jika benar ada, maka seharusnya aku mendapatkan cerita-cerita hantu dari ayahku, bukan dari teman-teman kuliah ataupun tetanggaku. Faktanya ayahku yang notabene adalah seorang pendaki gunung, tidak pernah melihat hantu sama sekali selama dua puluh tahun pengalamannya, dan gunung adalah tempat di mana banyak pendaki meninggal. Keyakinan seperti ini membuatku memandang sebelah mata orang-orang yang bercerita telah melihat hantu dari orang yang telah meninggal.
Aku masuk ke Gang 1 tempat rumahku berada, melewati sekumpulan manusia yang mengadu keberuntungannya pada judi slot. Mereka selalu berisik, aku yakin tetangga di sebelahnya cuma bisa membatin daripada menegur. Lima rumah kemudian aku sampai di depan pagar rumahku.
***
Siapa sangka ternyata ayahku juga belum makan malam padahal sudah pukul sembilan. Kami berdua pun makan malam bersama di ruang tengah, menemani Ibu yang sedang menjahit kemeja sobek. Aku dan ayahku memakan menu yang sama, nasi goreng petai buatan Ibu. Hanya saja porsinya berbeda, tentu porsi ayahku kolosal sedangkan porsiku lite.
“Gimana? Jadi liburanmu?” tanya ayahku, ia mengunyah kerupuk dan kedua mata cekungnya melirik padaku.
“Jadi, Yah,” jawabku, aku meneguk sedikit air di gelas kemudian lanjut bicara. “Rencananya mau ke Tegal, katanya ada tempat bagus di sana buat camping.”