“Mungkin kita juga bakal lewat hutan yang gelap dan tempat yang jarang dijamah manusia. Biasanya tempat-tempat kayak gitu jadi tempat pembuangan hantu.”
–Ronal Eka Widiyanto
Kuliah di hari Kamis adalah yang tersingkat, hanya ada dua mata kuliah dan selesai pada pukul setengah dua belas siang. Pukul satu aku duduk di kantin, ada Vida, Basir, Ronal dan Kevin duduk melingkari meja kotak. Mengingat aku yang baru bergabung dengan geng mereka, maka aku lebih banyak diam dan mendengarkan. Namun, biar kujelaskan seperti apa anggota geng ini Vida satu per satu.
Yang pertama Kevin, ia adalah pria yang kurasa paling banyak dilirik oleh wanita di kampus ini. Selain hidung mancungnya, postur tubuh Kevin jangkung dan memiliki rambut gondrong sebahu. Bukan hanya itu, Kevin adalah anak konglomerat, ayahnya pemilik PT. Roket 97—perusahan rokok papan tengah di Indonesia. Siang ini pria itu duduk berhadapan denganku, ia memakai setelan kemeja pantai bermotif pisang, arlojinya jelas mengilap perak oleh pantulan cahaya matahari.
“Vi,” panggil Kevin pada Vida. “You udah beli tiket?”
“Udah,” jawab Vida. Ia menunjukkan bukti pembelian lima tiket kereta api. “But the way muka Ronal di KTP aneh banget, deh.”
Ronal menoleh, ia adalah pria berambut ikal yang gemar memakai kaus bola. Siang ini Ronal memakai kaus Manchester United, mulutnya menyeruput es teh dari sedotan kemudian berkata, “Makanya gue bilang NIK aja, tapi lo minta sekalian foto KTP gue.”
“Hahaha.” tawa Vida. “Soalnya gue penasaran sama foto KTP lo, kalau yang lain gue udah lihat.”
“Terus tenda you aman nggak, Sir?” tanya Kevin pada Basir.
Aku pun menoleh pada Basir yang duduk menatap laptopnya. Ia adalah kutu buku sama sepertiku, hanya saja Basir lebih cerdas dan nyaris mendapat nilai A di semua mata kuliah. Rambut Basir cepak dan kulitnya sawo matang, lebih gelap dari semua orang yang duduk di sini. Ia selalu memakai kacamata kotak dan kemeja flanel, sayangnya Basir dicap pelit contekan oleh kebanyakan teman sekelasku.
“Aman,” jawab Basir tidak menambahkan apa pun.
“Oke,” kata Kevin, “kalau gitu besok siang habis jumatan kita kumpul di rumah Vida. Masalah peralatan outdoor kayak kompor lapangan, gas, tenda, matras, itu jadi urusan I sama Basir. Ntar siang Audi sama Vida belanja makanan di pasar, nggak usah banyak-banyak. List—nya udah you tulis kan, Vi?”
“Udah.”
“Sip,” lanjut Kevin. “Nah, sekarang I bingung sama tugasnya Ronal, nih. Enaknya dia disuruh apa?”