“Nadine bilang apa?”
–Basir Kurniawan
Rumah Vida berada di Perumahan Beringin, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Letaknya dekat dengan rel perlintasan kerta dan memiliki pekarangan yang ditempati dua sedan bobrok. Pukul dua siang, aku sudah berada di serambi bersama dengan geng, sedangkan Vida masuk ke dalam untuk membuatkan minuman. Kami duduk membuka ransel masing-masing, mengecek kembali barang-barang yang dibawa agar tidak ada yang tertinggal. Ransel paling besar dimiliki oleh Kevin dan Basir, karena mereka membawa barang-barang seperti tenda, matras, dan tetek bengek peralatan masak lapangan.
Aku memilih mengenakan kaus putih yang ringan dan sweter abu-abu pemberian mendiang Amelia. Kedua pakaian ini terasa nyaman dan membuatku yakin bisa melakukan perjalanan jauh. Belum lagi sepatu ket yang ringan dan celana taktikal berkantong banyak. Aku juga memakai kupluk hitam agar menyesuaikan dengan keseluruhan warna pakaianku–gelap. Aku ikhlas membiarkan yang cerah-cerah dipakai Vida.
“Gue udah,” tutur Basir. “Tinggal sabun mandi sama pasta gigi, soalnya di tempat kos udah habis.” Kali ini Basir jelas tidak membawa laptop seperti biasanya, pria itu mengenakan jaket parasut krem dan topi bisbol cokelat, kacamata kotaknya tidak pernah ketinggalan. Kemudian ia menutup ritsleting ranselnya.
“I juga udah,” kata Kevin. Si cowok tajir tetap mengenakan kemeja pantai yang santai, tetapi kali ini bermotif pohon kelapa dan didominasi warna biru. Ngomong-ngomong dia yang bayarin liburan ini, dari mulai tiket kereta sampai keperluan logistik. “Nggak tahu apa lagi yang kurang.”
Sedangkan Ronal tampak murung saat menutup ritsleting ranselnya, pria itu duduk bersandar pada pilar lalu membuka ponsel. Kevin menawarkan sebatang Sampoerna dan Ronal menerimanya. Saat itu juga Vida keluar membawa lima gelas sirup di atas nampan, warnanya hijau, mungkin Marjan rasa melon.
Vida menaruh nampan itu di tengah-tengah kami, kemudian memperhatikan Ronal yang masih memasang wajah murung meski sebatang rokok terselip di bibirnya. “Lah, lo kok cemberut?” tanya Vida pada Ronal. “Nadine, ya?”
Lantas Basir juga memperhatikan Ronal. “Nadine bilang apa?”
Hei! batinku. Kenapa tiba-tiba Basir jadi peduli pada sosok Nadine? Apa ia percaya cerita takhayul Ronal?
“You cerita aja, Ron. Kami dengerin,” tutur Kevin.
Bahkan Kevin juga, apa sebatang rokok yang diberikannya itu tanda bahwa Kevin mengetahui perasaan buruk yang tampaknya sedang dirasakan Ronal?
“Semalam Nadine nggak tidur di tempatnya,” jawab Ronal, ia menyalakan rokok dan mengembuskan asapnya menjauh dari wajah Vida.