“GoCarnya udah datang, ayok naik!”
–Kevin Alexander Hardianto
Kereta sudah melaju lima belas menit sejak setengah sepuluh malam, bergerak cepat hendak meninggalkan Jakarta. Lampu-lampu gedung bertransisi dari depan ke belakang, membentuk garis-garis horisontal lalu tersalip kereta. Aku selalu memilih tempat duduk di dekat jendela, entah di kelas, kamar, kafe, ataupun kereta. Vida di sebelahku, ia memejamkan mata dan menyumbat telinganya menggunakan earphone.
Ronal dan Basir duduk di depanku, sepertinya mereka berdua sudah tertidur, mengingat besok kami akan melakukan perjalanan yang melelahkan. Sedangkan Kevin duduk di depannya, sendirian, tidak ada penumpang lain di sebelahnya. Sesekali Vida bersenandung, membuatku tahu lagu siapa yang sedang ia dengar. Terkadang Taylor Swift, terkadang Sam Smith.
Muncul perasaan aneh dalam hatiku yang timbul tenggelam, aku tidak bisa mengungkapkannya, tetapi aku tahu bahwa perasaan ini didasari karena setelah sekian lama, kini aku hendak meninggalkan Jakarta menuju ke tempat asing yang jauh. Tentu saja perasaan seperti ini tidak dirasakan oleh Vida dan teman-temannya yang sudah terbiasa bepergian. Hanya aku.
Kami melewati palang kereta dengan sekejap mata. Aku sempat melihat orang-orang menghentikan kendaraannya di belakang palang, menunggu hingga kereta lewat dan palang diangkat. Ternyata seperti itu pemandangannya. Aku tersenyum, lalu memejamkan mata berusaha untuk tidur seperti lainnya.
Namun, baru sebentar kupejamkan mata, sosok Nadine terproyeksikan secara detail di kepalaku. Kali ini tidak hanya gambar hitam putih yang dibuat Ronal, melainkan memiliki warna dari rambut, kulit, hingga pakaiannya. Aku tahu bahwa ini hanya imajinasiku, akan segera hilang jika aku memikirkan hal yang lain tanpa perlu membuka mata.
Waktu di Parang Teritis you baik-baik aja, I bisa selamatin you dari tebing, terlintas perkataan Kevin tadi siang. Kalimat itu dilontarkan pada Ronal untuk menanggapi cerita Ronal tentang firasat buruk yang diungkapkan Nadine. Pemikiran ini membuatku membuka mata lagi dan ingin menanyakan sesuatu pada Vida.
Aku memperhatikan Vida, ia masih memejamkan kedua matanya, tetapi tetap bersenandung. “Vi,” panggilku lirih seraya menepuk pahanya.
“Ya?” Vida membuka mata dan menatapku, lalu ia melepas sebelah earphone-nya.
“Waktu di Parang Teritis emangnya Ronal kenapa?”.
“Oh, dia kepeleset waktu jalan di tebing, terus Kevin cepetan megangin tangannya.”
“Kalau sampai jatuh, apa Ronal bakalan mati?”
“Ya, enggak. Orang tebing yang kita naikin nggak tinggi, kira-kira tiga meteran. Di bawahnya juga pasir, paling kalau jatuh juga parah-parahnya patah tulang kaki.”
Kukira nyawa Ronal terancam, batinku. Jawaban Vida itu membuatku berasumsi bahwa jika benar sosok Nadine itu nyata, maka si hantu gadis kecil itu terlalu mencemaskan keselamatan Ronal. Tunggu, apa sekarang aku sudah mengira bahwa Nadine itu nyata? Astaga!