“Yo wis, dibakar.”
—Aryo Wisanggeni
Aku bisa melihat wajah wanita itu lebih jelas setelah kami sampai di puncak. Ketika melihat kami, ia berhenti bermain gitar dan berhenti bernyanyi, lalu melambaikan tangan dan tersenyum. Wanita itu punya lesung pipi, ada satu gingsul di deretan gigi atas yang membuat senyumnya tampak manis. Hidungnya tidak terlalu mancung dan bola matanya bulat, sungguh khas kejawaan yang memesona. Rambut panjangnya dibiarkan terurai di bawah topi Fedora putih yang dikenakannya.
“Pagi, Ka,” sapa Vida.
“Pagi,” sahut wanita itu.
Vida melangkah menghampiri, ia juga menarik lenganku untuk mengikutinya. Sedangkan Basir, Kevin, dan Ronal mulai memilih tanah datar yang cocok digunakan untuk mendirikan tenda.
“Suara Kaka bagus banget,” tutur Vida seraya mengulurkan tangan.
Si wanita bergitar menaruh gitarnya di matras dan berdiri, ia berjabat tangan dengan Vida, lalu berjabat tangan denganku. Telapak tangannya terasa kasar, tidak seperti ketika aku berjabat tangan dengan Vida atau teman kuliah wanitaku yang lain.
“Terima kasih,” kata si wanita bergitar. “Kalian rombongan dari mana?” Ada penekanan nada ketika wanita itu mengucapkan huruf vokal, aksen Jawanya terdengar kental.
“Kami dari Jakarta. Kenalin, aku Vida, dia Audi.”
Aku tersenyum untuknya, juga untuk Vida yang menggunakan kata “aku” saat berbicara pada wanita itu.
“Halo Vida, Audi. Aku Lusiana, aku orang Tegal,” tuturnya.
“Lusiana,” gumamku.
“Lusiana, kamu sama siapa di sini?” tanya Vida.
Baru saja Vida bertanya seperti itu, tampaklah seorang pria keluar dari tenda Lusiana. Pria itu mengenakan kaus oblong putih dan topi bisbol, rambutnya pendek dan memiliki cambang tipis. Pacarnya? batinku. Hidung pria itu mencuat, terselip sebatang rokok yang menyala di bibirnya. Ia memperhatikan kami. Hal yang unik kulihat pada lengan kiri pria itu, ada semacam karet panjang yang dililit hingga melingkar erat pada pergelangan tangannya.
“Hei,” sapa pria itu.
“Kenalin, ini Aryo,” tutur Lusiana.
Aryo, batinku. Pria itu mendekat dan berjabat tangan dengan kami, telapak tangannya jauh lebih kasar daripada Kevin, Basir, ataupun Ronal. Dadanya bidang, tingginya tidak sejangkung Kevin, mungkin sekitar 170 sentimeter. Kemudian Lusiana tampak mengernyit melihat ke arah teman-teman pria kami.
“Teman-teman kalian kok bikin tendanya jauh banget? Di sini aja, loh. Biar kena bayangan pohon cemaranya.”