“Dia mau apa?”
–Audi Larasati
Kuedarkan pandang ke kejauhan, tepatnya ke arah sungai yang mengalir di sisi kiri bukit. Ada Kevin dan Vida di sana, mereka berdua mengambil air dari sungai menggunakan botol plastik dua belas liter. Ada yang menarik di antara mereka, keduanya bercanda saling menciprati air, terbahak-bahak entah membahas apa. Pemandangan itu membuatku semringah, tetapi tetap saja tidak meringankan beban dari semua ranting yang kubawa bersama Lusiana saat ini.
Seingatku, Kevin dan Vida sebelumnya tidak sedekat itu, entahlah, aku juga tidak terlalu memperhatikannya selama ini. Apa sekarang mereka jadi semakin dekat setelah insiden terjatuh di bebatuan sungai tadi? Mungkin begitu. Jika begitu, maka syukurlah. Sebab, aku lebih setuju jika Vida memiliki hubungan sungguhan dengan Kevin daripada open BO dengan juragan tua yang sempat kulihat di minimarket—aku lupa namanya.
Akhirnya aku dan Lusiana sampai di puncak bukit dan mendekati Aryo, kami menaruh kumpulan rantingnya dan terasa sangat melegakan. Aku duduk di rumput dan mengatur napas, begitupun dengan Lusiana. Kemudian kami berdua melakukan tos karena sudah kerjasama. Tampaknya Aryo juga sudah membersihkan sisik kakap merah dan mengeluarkan isi perutnya. Pria itu sungguh mahir ketika menggunakan pisau, membelah badan kakap merah jadi dua dan menaruhnya di penjepit bakaran. Layaknya koki di acara TV MasterChef Indonesia yang sekarang sudah jarang kutonton. Dua kakap merah siap dibakar.
“Kalian nginep di sini sejak kapan?” tanyaku pada Lusiana dan Aryo, tidak masalah siapa pun yang akan menjawabnya.
“Kemarin sore,” jawab Lusiana.
“Rumahmu deket dari sini?”
“Jauh, rumahku di Kota Tegal.” Seekor kupu-kupu terbang di atas kepala Lusiana.
“Oh, tadi pagi gue juga mampir Kota Tegal, loh.” Aku keceplosan memakai kata “gue”, padahal sudah kuusahakan untuk tidak menggunakannya saat berbicara dengan Lusiana ataupun Aryo, seperti yang dilakukan oleh Vida.
“Pakai kereta?” tanya Lusiana.