Sudah hampir sepekan gadis itu memperhatikan rumah seorang wanita paruh baya yang bernama Santi. Sembari memegangi sebuah undangan yang akan diberikan pada Santi. Dibalik pagar warna hitam itu terdapat sebuah rumah yang megah. Warna grey yang masih terlihat cekas. Tak ada yang berubah dari rumah itu. Tapi, kali ini terlihat lebih sepi dari sebelumnya.
Ranum hanya sesekali melangkah dan kemudian mundur lagi. Dengan ditemani Bagas yang selalu setia menemaninya. Rasanya dia sudah tak layak untuk menginjakkan kakinya di rumah berwarna grey itu.
Keberadaannya hanya sekitar 100 meter dari gerbang berwarna hitam milik rumah Santi. Ranum memperhatikan setiap orang yang keluar dari rumah itu. Mengamati, apakah orang-orang yang berada disana masih sama atau sudah berganti.
Ah! Tapi kejadian itu sungguh sudah lama. Bahkan, Ranum sudah menjadi alumni sejak 6 tahun silam. Mungkin, orang-orang disana sudah berganti. Ranum tidak tau dengan siapa Santi tinggal sekarang.
Ranum hanya mampu mengawasinya dari jauh, terakhir dia mendengar kabar bahwa suami Santi yang bernama Sukmo telah tiada. Dapat Ranum rasakan betapa kehilangannya Santi akan sosok Sukmo yang selalu Ranum lihat mereka dengan mesra.
Bahkan Ranum ingin dirinya dan Bagas bisa menjadi cinta abadi seperti cinta Santi dan Sukmo.
“Mau sampai kapan kita seperti ini?” tanya Bagas yang tampaknya sudah mulai jengah dengan perilaku Ranum yang hanya menatap rumah itu tanpa mengetuk terlebih masuk ke dalamnya.
“Aku takut, Gas”
“Ini hari terakhir kita kesini loh. Besok kita harus sudah upacara adat”
Ranum menghela nafas. Kekacauan dalam dirinya kembali terjadi, kesedihan pada dirinya kembali terkuak. Kali ini dia benar-benar kalah oleh seorang wanita yang bernama Santi itu.
“Tunggu sekitar senja mulai tenggelam, Gas”
Pinta Ranum pada calon suaminya itu. Bagas menghela nafas sembari mengangguk kemudian dia membelai rambut Ranum dengan lembut.
Bagas memang laki-laki penyabar, bahkan kesabarannya melebihi Ayahnya yang bernama Darmo. Selama menjalin kasih kurang lebih 6 tahun, hanya Bagas yang selalu mengalah agar tidak terjadi percekcokan jika mereka terjadi selisih paham. Untuk itulah Ranum menerima Bagas dengan mengorbankan cintanya kepada Santi.
Kemudian mereka tetap menunggu di dalam mobil sembari menatap rumah berpagar hitam itu. Tapi, tidak ada orang yang Ranum lihat, padahal lampu rumah itu terlihat mati dan menyala seperti ada tangan manusia yang memainkannya.
“Bisa pergi sekarang?”
Bagas lagi-lagi mempertanyakan hal itu. Sesungguhnya laki-laki itu tau alasan mengapa dia ingin segera mengajak calon istrinya itu pergi dari sana. Dia tak ingin melihat Ranum bersedih dengan mengingat masa lalunya.
Ranum menghela nafas, rasanya tak ada lagi yang dapat dirinya perbuat. Bahkan, waktu enam tahun pun tidak cukup untuk mengumpulkan nyalinya untuk menemui Santi
Ranum mengangguk, tandanya dia setuju dengan Bagas yang mengajaknya pergi dari sana. Mesin mobil itu pun langsung dinyalakan olehnya dan kemudian secara perlahan menjauh dari kediaman mereka sedari tadi. Tatapan mata Ranum tak lepas memandangi rumah itu sampai mereka menjauh dan rumah itu tak terlihat lagi.
“Mau sampai kapan kamu begini?”
Tanya Bagas yang sesekali melihat kesedihan Ranum sembari dirinya tetap fokus pada jalanan yang berada di depannya.
“Kamu sudah cape?”
“Engga”
Tentu saja Bagas tak pernah merasa lelah dan marah terhadap wanita yang sangat dicintainya itu.
“Aku ga tau, Gas. Selama enam tahun ini aku selalu dibaluti kesedihan. Rasa bersalah ini tidak pernah pergi”
“Bukankah ini jalan yang terbaik? Seandainya kamu menjadi milik laki-laki itu. Kamu belum tentu bahagia karena kamu juga gak tau siapa laki-laki itu kan?”