Berlayar tanpa angin.
Aku mengapung di lautan lepas, tanpa Kompas tanpa tujuan.
Aku menahkodai alam pikiran, hanya dengan sebiji batu Nisan.
Laut melepaskan, menunggu mautku!
06 Oktober 2022
Hujan sore itu cukup deras, beruntungnya ketika hujan tiba mampir di kontrakanku, aku sudah pulang lebih dahulu dari tempat kerja. Setelah selesai bersih-bersih, aku mendidihkan air dan menyeduh teh hangat, cocok untuk cuaca yang sedang berduka hari ini. Aku meraih buku bacaan yang tergeletak disamping tempat tidur, karena sebuah kebiasaan bagiku selalu menyimpan buku yang sedang aku baca dan buku catatan harian tidak jauh dari tempat aku mengistirahatkan lelah. Jari-jariku yang sedikit kasar, membuka lembar-lembar halaman didalam buku, akan tetapi sore itu, dengan sisa tenaga yang aku punya, aku lebih tertarik melihat deras hujan dari balik jendela, buku dipangkuanku ikut menikmatinya, suara hujan yang berdansa bersama atap di kontrakan lebih nyaring masuk kepalaku. Aku sejenak menutup buku dan mendengarkan irama yang dimainkan hujan. Beberapa menit aku terbawa suasana, melihat butiran-butiran hujan yang jatuh dari atas genting, aku teringat pada satu momen ketika aku dan Ibu harus berteduh di sebuah pangkalan ojek, saat itu umurku sekitar 14 tahun, setelah mendapatkan ijin dari bapak tiriku, ibu akhirnya mengajak aku untuk bertemu dengan ayah kandungku. Selama perjalanan aku merasa senang, karena akan bertemu dengan seseorang yang sebelumnya hanya bisa aku dengar dari Nenek, seorang ayah darah dagingku. Tetapi, khayalan itu naas sirna ketika sampai di rumah yang berisi perempuan istri pertama ayah, dan tiga anak laki-lakinya yang juga adalah kakakku dari satu ayah, mereka menyayangkan bahwa ayah ternyata sudah berpulang satu tahun lalu sebelum kedatanganku. Tidak ada perasaan apapun saat itu, aku hanya terdiam dan ibu menatap tajam padaku, entah sebuah penyesalan karena begitu telat mengajakku untuk bertemu ayah, atau hanya tatapan kosong dan sama-sama kaget mendengar kabar kurang baik itu. Tidak kusadari ternyata aku meneteskan air mata, teh hangat yang ku seduh menjadi dingin. "Terimakasih Diana." Aku mengusap air mataku. Setelah menghabiskan teh yang sudah dingin, aku membawa tubuhku yang penuh luka dan lelah ke atas kasur.
***
Entah ini sudah yang keberapa kali, aku bermimpi soal masa kecilku. Begitu jelas, rumah nenek dan tempat-tempat bermain yang sering aku dan saudara-saudaraku kunjungi. Aku merasa, nenek barangkali sedang rindu kepadaku, karena yang aku tahu, bahwa setiap kali ada orang terdekat kita mampir di dalam mimpi, itu pertanda seseorang terdekat sedang merindukan atau akan ada pesan tersirat untuk kita. Sembari mengingat-ingat mimpi semalam, aku melamun sejenak. membayangkan masa kecil dan orang-orang yang sudah pergi terlebih dahulu kesisi sang Pencipta.
Bereppppp ... bereppppp.
Dering handphoneku berbunyi, sedikit membuyarkan lamunanku. Satu pesan dari sahabat kecilku. “Gimana, lu jadi gak sob, datang ke Psikolog ?'' beberapa bulan lalu, aku dan sahabatku bertemu di Jakarta timur, di tempat kediaman sahabatku. Setelah tiga tahun aku mengabaikan pertemuan kami, karena semenjak aku memiliki pekerjaan tetap dengan penuh aturan, aku menjadi orang yang pendiam dan introvert 90 derajat. Bertemu dengan orang-orang baru rasanya, melelahkan. Saat pertemuan itu, aku menjelaskan beberapa hal alasan mengapa aku baru sempat berkunjung menemuinya, dia memaklumi dan sedikit memberi saran, salah satunya mencoba untuk mendatangi seorang Psikolog. Menurut dia, hal itu adalah sesuatu yang lumrah dilakukan oleh orang-orang di Jakarta, mereka bahkan memiliki jadwal pribadi untuk bertemu dengan Dr. Psikolog pribadi mereka. Aku tidak begitu menanggapinya, karena aku merasa baik-baik saja dan hal yang aku alami masih sangat wajar sebagai fase berkehidupan. "Hem, biarlah aku pikirkan lagi yah sob, terimakasih untuk saran baikmu ini, dasar." Dengan emot gorila andalan, aku menutup percakapan dan bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerja. Karena jarak tempat kerja dan kontrakan ku tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh sekitar 10 menit, aku punya banyak waktu untuk menikmati pagi.
***
Selama ini, barangkali aku terlalu ambisius dalam menciptakan atau meraih sesuatu. Berlatar belakang dari keluarga yang memiliki Sejarah sedikit kelam, menjadikan punggungku sedikit – demi sedikit menjadi "besi". Aku harus tahan banting, memendam amarah, tidak mengutarakan keinginan bahkan menjadi pelamun yang ulung membuat perasaanku lebih tenang. Semenjak diterpa oleh tanggung jawab sebagai seorang anak pertama sekaligus kakak dari sembilan bersaudara, aku menjadi dewasa sejak kelas empat SD. Pekerjaan rumah yang harus aku lakukan dan membantu ibu untuk menyiapkan dagangannya agar bisa berjualan di Pasar. Dan saat – saat kondisi inilah trauma dan luka menjadi bibit yang tidak aku sadari yang pada akhirnya, akan berdampak pada diriku yang terus beranjak dewasa.
Sejak terlahir menjadi salah satu manusia penghuni Semesta, aku tidak pernah tahu bagaimana bentuk rupa dan aroma khas dari seorang Ayah. Nenek atau beberapa saudaraku sering bercerita, bagaimana proses aku bisa menjadi bagian dari kelurga mereka. Yang saat itu, Ibu yang baru lulus SMA terpaksa harus ikut dengan saudaranya merantau ke sebuah Kota di Provinsi Banten. Tinggal bersama sepasang suami istri tidak menjamin beberapa hal akan baik – baik saja, dan ternyata, hal yang tidak terduga oleh Ibu saat itu, terjadi padanya, disuatu hari ibu akan mengalami pelecehan oleh kakak iparnya sendiri, tanpa pikir panjang, menurut Nenek saat itu ibu kabur tanpa tahu tujuan untuk melarikan diri dari peristiwa naas itu, ditengah perjalanan itulah ibu bertemu dengan seorang laki-laki, yang sampai hari ini tidak dapat aku temui untuk selamanya.
Berbekal pengalaman bagaimana proses aku bisa terlahir di Dunia, membuatku sering murung sejak memasuki Sekolah Menengah Pertama. Tetapi, aku salah satu Siswa yang cukup aktif, karena mengikuti berbagai ekskul meskipun sering menyendiri di perpustakaan Sekolah. Pepatah sering bilang bahwa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya entah aku ini, memiliki kesamaan dengan Ayah atau Ibu dalam hal terbentuknya pribadi yang melankolis, abstrak dan terlalu merumitkan sesuatu. Tapi aku selalu yakin, bahwa buah jatuh atas pengaruh angin dan cuaca, sebab itu, proses hidup yang aku lakukan saat ini adalah atas penemuan jati diri ku dalam melihat, mendengar dan merasakan apapun. Seorang penulis Pramoedya pernah bilang; “Karena kau menulis. Suaramu takan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh di kemudian hari”. Selama ini, aku hanya bisa mengungkapkan segala bentuk emosi yang aku rasakan melalui tulisan yang aku buat, buku harian, puisi, sajak. Semua hal itu aku lakukan, sebaagai cara bagaimana aku bisa berdamai dengan luka-luka masa lalu. Dan hari ini, aku akan menceritakan perasaan emosional itu kepada seorang Psikolog, aku benar-benar mendengarkan saran sahabatku ini. Aku tidak pernah membandingkan hidupku paling menderita karena tidak mengenal sosok seorang Ayah, karena di beberapa tempat dan kondisi masih banyak kehidupan yang lebih malang daripada aku. Akan tetapi, tidak ada salahnya bukan, jika aku ingin meratapi proses berkehidupan yang sedang aku perjuangkan, atau pernah aku perjuangkan. Maka dari itu, dengan usia yang sudah kepala tiga ini, aku ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja, tak perlu terburu-buru dalam hal apapun, tidak hidup untuk berkompetisi, aku hanya ingin, menjadi individual yang humanis, meskipun masih banyak belajar. Dan aku ingin terus menulis apapun yang sedang aku pikirkan.
"Baru berangkat Mba?"
"Ehh. Ia Bude, ini baru mau berangkat kerja. Sebentar lagi kontrakannya beres ia Bude sudah punya kamar mandi di dalam semua."
"Ia, nak Diana. Kemarin juga banyak yang nanyain kontrakan, biar rame biar kamu ada teman." Aku hanya tersenyum dan meninggalkan Bude kontrakan setelah berpamitan, sebenarnya aku senang kontrakan sepi seperti saat ini.
***