Tragedi, adalah isi kepala kita sendiri
Dan tubuh beserta cabangnya, adalah pohon tempat tragedi berkembang biak.
Malam yang berselimut gaun hitam, nampak cantik ditengah – tengah Kota yang mulai terang oleh lampu – lampu gedung yang menjulang serta lampu – lampu pinggir jalan yang sedikit sekarat. Menyambut manusia – manusia yang penuh misteri dalam berkehidupan. Tepat pukul setengah sembilan, aku berpamitan dengan Dokter Psikolog dan bapak Satpam, dengan mengucapkan terimakasih dan sisa senyum hari ini, aku meninggalkan Klinik, “astagaaa, udara ini segar sekali, seperti sedang menyaksikan diriku sepuluh tahun lalu”, aku bergumam melihat keramaian di tengah Kota Jakarta ini, entah mengapa, setelah bercerita dan mendapatkan pelukan hangat, aku merasa lega dan mereda secara pikiran. “Karena besok weekend gw mau jalan – jalan sebentarlah”, ketika melihat Bus Transjakarta, aku langsung terpikir untuk pulang dengan salah satu kendaraan umum yang terkenal alternatif di Jakarta ini. Aku ingin sedikit menikmati malam ini dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku berjalan kaki sekitar tiga menit menuju jembatan penyebrangan, tak kalah ramai dengan tempat tinggalku di Pasar Kemis di Kota metropolitan ini kemacetan sepertinya berjalan setiap hari, aku menaiki tangga dan ikut berdesakan di jembatan, di atas jembatan ini aku melihat gedung – gedung yang bercahaya dan angkutan umum yang sedang menunggu penumpang, hal itu tidak kalah ramai ketika manusia – manusia yang silih berganti berdatangan dan pergi, ada yang turun dari angkot sehabis pulang bekerja, ada yang sedang menunggu seseorang atau hanya sedang ingin berjalan sendirian saja seperti aku, ada pula pedagang – pedagang kaki lima yang mulai menabur asap - asap aroma bumbu. Aku merasa senang melihat alunan musik dari aktivitas manusia ini. Melihat orang – orang di halte, seperti menyaksikan kehidupan dari berbagai tragdi, aku berdiri menyender pada penyangga yang tersedia. Kurang lebih tiga menit kami menunggu, akhirnya Bus Transjakarta telah tiba, didalam bus cukup penuh, aku sampai tidak mendapatkan tempat duduk, berdiri dan melihat bermacam – macam usia di dalam Bus, mengingatkanku perihal cita – cita ketika lulus SMA.
***
Sejak kelas dua SMA, aku tidak pernah berpikir atau berniat untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas walaupun di Sekolah menyediakan berbagai macam beasiswa, tetapi aku tidak begitu tertarik. Saat itu dalam pikiran remajaku, aku cukup bisa bekerja disalah satu perusahaan yang sering aku dengar dari ibu Guru ketika bercerita dan dari buku bacaan yang aku temui di perpustakaan. Karena aku adalah anak pertama dengan penghasilan ibu yang bersyukur masih bisa membeli makanan yang bisa di masak, dan adik – adik yang masih kecil ditambah aku mendapatkan adik baru, melanjutkan Pendidikan adalah hal yang mustahil dalam pikiran polosku saat itu. Aku hanya ingin memiliki penghasilan yang cukup besar dan ibu tidak perlu berjualan bumbu lagi. Walau terkadang, sebagai penikmat film action dan mengidolakan Jackie Chan dan Angelina Jolie, aku sering terlintas ingin menjadi seorang Polisi atau Badan Inteligent, saat itu aku belum cukup wawasan bahwa Negara bisa menjadi salah satu faktor kenapa Ibu harus banting tulang dan aku harus mengubur cita - citaku. Yeah, pikiran – pikiran itu menurutku hal yang lumrah ketika seorang anak remaja banyak mengimajinasikan apa saja yang dia lihat. Rencana semesta memang tidak pernah bisa kita duga, kita yang hanya ingin hidup berjalan saja seperti air, tetapi pelajaran hidup selalu sempat membuat jalan - jalan lain untuk mengajari kita sesuatu hal. Aku tidak pernah menyangka, bahwa Ibu memperhatikan pendidikanku, karena selama ini, selain mengobati perasaannya sendiri atas perlakuan Bapak, ibu sangat sibuk bekerja, bahkan dari SD hingga aku SMP ibu tidak pernah sempat datang ke Sekolah untuk memenuhi panggilan Guru mengambil Raport anak - anaknya. Walaupun terkadang aku iri dengan teman - teman pada saat itu, karena orang tua mereka selalu hadir di acara pelepasan dan kelulusan anak - anaknya, tetapi aku memaklumi ibu, karena jika dia tidak berjualan sehari saja, tidak ada makanan yang bisa kita makan.
Aku memandangi sudut - sudut Kota melalui jendela, kemacetan kendaraan juga orang - orang berlalu lalang, seakan menghiasi gaun hitam yang dikenakan oleh malam, begitu indah walau ada sesuatu hal yang buruk di sudut - sudut lain yang tidak aku lihat, seperti ada kelaparan yang dialami beberapa keluarga dibalik gedung - gedung itu, ada perempuan - perempuan dewasa yang mengalami proses hidup yang berat dibandingkan aku, atau ada mimpi anak - anak yang hanya bisa diraih ketika mereka terlelap tidur, hidup sungguh penuh tragedi. Orang - orang didalam bus semakin berkurang, akhirnya aku mendapatkan tempat duduk. Karena halte pemberhentianku masih lumayan jauh, aku mengambil headset dan membuka spotify satu album Lana Del Ray aku putar.