Ranum

Merta Merdiana Lestari
Chapter #5

Kontrakan

Umur itu hanyalah angka yang bisa dikalkulasikan menjadi pasar,

Tetapi, keputusan hidup didalamnya adalah tanah tempat hidup dengan kehidupannya.



Memiliki kamar sendiri dengan hiasan yang kita inginkan, memang pernah menjadi salah satu impianku. Enam adik dan dua orang tua, saat itu belum bisa mewujudkan tempat istirahat yang aku inginkan. Nenek selalu menasehatiku untuk hati - hati terhadap bapak tiriku. Terkadang aku sering was - was ketika hendak mandi, dan mengganti pakaian, alih - alih untuk menjaga diri dari bapak tiriku. Meskipun kami sering pindah kontrakan, kami selalu tidak punya cukup ruangan untuk berbagi satu persatu, terakhir rumah yang kami tempati saat aku masuk semester awal di Universitas, kami memiliki dua kamar satu ruang tengah dan satu kamar mandi. Satu kamar untuk ibu dan bapak tiriku juga adik yang masih kecil, satu kamar lagi untukku dan beberapa adikku. Aku yang sejak SD sangat menyukasi olahraga sepak bola, hal itu berlanjut hingga aku masuk SMA, seminggu sekali aku membeli koran Soccer yang berhadiah satu poster pemain yang setiap minggunya berbeda - beda, poster - poster itulah yang menjadi hiasan dinding di kamarku dan adik adik. Saat itu aku sangat menggemari Cristiano Ronaldo, pemain asal portugal itu menjadi bulan - bulanan tempat curhat ketika aku hendak menulis buku harian.

Jalan lain yang Tuhan kasih untuk aku memasuki Universitas ternyata lebih menyenangkan dan banyak warna. Sebelum masuk Universitas Negeri, aku sempat daftar di Universitas Swasta yang lokasinya tidak jauh dari rumah, cukup setengah jam menggunakan metro mini. Setelah registrasi dan setengah biaya yang masuk, ibu membatalkan niatnya untuk memasukan aku ke Universitas Swasta tersebut, alasannya tidak lain karena tidak ada jaminan bisa sukses dengan akreditasi kampus, dan informasi itu ibu dapatkan dari tetangganya. Memang, di kampung tempat aku tinggal, menjadi Pegawai Negeri Sipil memang sesuatu yang banyak didambakan, dengan tunjangan dan penghasilan perbulan yang lumayan. Akhirnya, aku mencoba mendaftar Universitas Negeri dengan jalur rapot dan dibantu oleh wali kelasku. Setelah mendapatkan informasi bahwa aku diterima, maka ibu dengan antusias mencari tambahan uang untuk membayar registrasi awal. Sungguh saat - saat itu aku merasa senang akhirnya ibu mau terlibat untuk urusan pendidikanku.

Berkeliling mencari kos - kosan di sekitar kampus, membuat aku merasa sangat dekat dengan ibu, ada kebahagiaan tersendiri yang aku lihat diraut wajah ibu, hampir satu jam aku dan ibu saat itu mencari kosan, proses ini sungguh pengalaman yang asik buatku pertama kali merantau dan menginjakan kaki di tempat baru. Aku dan Ibu akhirnya menemukan kosan di belakang kampus yang berdekatan dengan warnet saat itu, aku bisa melihat banyak mahasiswa yang sedang merapihkan berkas - berkas entah saat itu aku belum paham betul tugas seorang mahasiswa, seorang perempuan yang berumur kurang lebih 30 tahun yang sudah menikah tetapi belum memiliki seorang anak, akan menjadi ibu kos pertama dalam hidupku, dia ramah dan sama - sama berasal dari Pandeglang kampung halamanku. Kami sempat mengobrol cukup lama karena ibu juga sangat sudah kelelahan kami sejenak istirahat di rumah pemilik kosan.


***


Percakapan para tukang di luar sungguh tidak dapat aku mengerti, hanya beberapa kata bahasa Indonesia yang diselipkan ke dalam bahasa Jawa yang sedang mereka komunikasikan. Sedikit membuyarkan lamunanku yang sedang mengingat - ingat bagaimana aku sungguh bisa seberani itu jauh dari rumah dan akhirnya bisa memiliki kamar sendiri, walaupun saat itu aku sering pindah - pindah kosan hampir kurang lebih sepuluh kali selama aku menjadi mahasiswa. Kosan yang aku pernah singgahi memang cukup beragam, entah dari ukuran, jarak ke kampus dan lingkungan di sekitar kosan, tetapi dari siklus itu aku banyak belajar sebagai perantau harus saling menghargai, tidak ikut campur terlalu dalam perihal aktivitas penghuni yang lain dan tidak jarang pula aku sering mendapatkan teman baru, dari kosan - ke kosan itulah banyak sekali karya - karya tulisanku dimana kosan selain menjadi tempat istirahat, aku bisa menghabiskan waktu disana untuk menulis dan mengaji diri. Beberapa kali aku sempat tinggal dengan kawan organisasi yang seiring berjalannya waktu mereka menjadi bagian dari proses kehidupanku, mereka menjauhkanku dari rasa kesepian dan tidak jarang kami saling memberi dalam hal upaya untuk bertahan hidup.

Setelah menulis dan membaca buku sekitar tiga jam aku ditemani berbagai berita yang terdengar dari radio. Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang, perutku lapar dan aku bergegas merapikan buku - buku yang berserakan. Aku berencana memasak soup udang kesukaanku. Setelah mencuci muka dan berganti pakaian aku mengeluarkan motor kesayanganku schopy tahun 2010 itu aku beli second dengan uang hasil tabunganku selama bekerja. "Eh eneng, baru bangun yah mau kemana ?" "hehe ia pakde, permisi yah pakde. Mau ke pasar pakde", setelah berbasa - basi ketika tukang menyapa aku langsung menyalakan kendaraan dua ku dan pergi. Pagi ini cukup cerah, dan oarang - orang berhamburan di sepanjang jalan menuju pasar. Aku selalu merasa bahagia ketika memasuki kawasan pasar, pasar dimanapun. Seperti bernostalgia dengan aktivitas ibu dulu, bumbu - bumbu dapur dan aneka makanan yang tersaji disana selalu membuatku ingin berlama - lama di pasar meskipun belanjaanku tidak banyak, biasanya aku keliling terlebih dahulu sebelum membeli sesuatu yang akan aku pilih. Aku jadi ingat, selain berjualan di pasar, ibu sering sekali mengajakku berkeliling dari kampung ke kampung yang jaraknya lumayan jauh, kami membawa bumbu - bumbu dapur itu dengan keranjang pasar yang dianyam. Barangkali, dari proses itulah aku sangat menyukai aktivitas outdoor dan traveling.

Setelah lima menit mengendarai motor, aku langsung memarkirkannya di tempat parkiran langganan, biasanya tukang - tukang parkir disini menjadikan lahan yang kosong untuk dijadikan mata pencaharian mereka, karena bisa dibilang ini adalah pasar kaget yang hanya buka dari pagi hingga siang saja. "belanja nih", aku selalu disambut ramah oleh bapak yang menjaga parkiran dengan usia sekitar 50an kami selalu menyempatkan ngobrol walaupun hanya tanya jawab sekitar belanjaanku, begitulah aku, selalu antusias mengobrol dengan orang - orang tua sebagai bentuk terimakasih. Setelah membeli udang seperti harapan masakanku hari ini, aku segera mencari pedagang sayur, aku tertarik dengan nenek yang bisa ku lihat dia seumuran dengan almarhum nenekku ketika terakhir kali aku bertemu dengannya, sekitar 89 tahun. Badan yang kurus dan urat - urat yang mulai timbul seakan ingin menceritakan berbagai kehidupan, aku memesan sayur bayam dan jagung darinya. Begitulah pasar, selain mengingatkanku kepada tempat ibu mencari sesuap nasi, disamping itu aku bisa melihat begitu banyak isi kepala yang ada disana, dan keramaian - keramaian itulah yang selalu membuat nalarku terus berpikir dan merasa bahagia.


Populasi manusia terus meningkat,

Dari sudut manapun akan terlihat

Lihat selengkapnya