Ranum

Merta Merdiana Lestari
Chapter #7

Cinta Pertama

Salah satu hal yang menakjubkan dari manusia adalah

Dia mampu mengolah perasaan masa lalunya (mengingat waktu, momentum, dan suasana hatinya pada saat itu), sedangkan dia sedang berada dimasa saat ini.




Mengagumi seseorang bagiku bukan hal yang tabu, bahkan aku sering sekali mengungkapkannya secara langsung atau mengirimi surat yang berisi ungkapan kepada seseorang yang aku suka. Hal itu sudah berlangsung sejak aku sekolah dasar, sebagai generasi milenial ungkapan cinta monyet saat itu sedang sangat buming - bumingnya. Biasanya, lawan jenis yang aku kagumi mereka memiliki hobby atau memiliki karakter yang aku suka, seperti pemain basket, kurus dan tinggi, menyukai musik dan bisa bermain gitar. Perasaan tinggallah perasaan, kasmaran tinggallah kasmaran, dari tindakan brutal hingga akhirnya aku merasa cinta pertama bukan soal karakter lawan jenis yang memiliki hobby yang sama denganku, atau fisik yang sesuai dengan isi kepalaku saja. Aku masih duduk di kelas tujuh, ketika aku merasakan cinta pertama, cinta yang bukan hanya soal fisik atau kekaguman akan soal aktivitasnya, dia pendiam, pencinta buku dan senang mengamati orang - orang dibawah gedung, karena kelas yang dia tempati berada di lantai dua. Barangkali benar bahwa cinta akan datang ketika kita sudah siap, tetapi cinta tanpa balasan apakah bisa disebut dengan cinta ?. Selama melihat dan memperhatikannya dari kejauhan, adalah hari - hari yang membahagiakan bagiku, meskipun setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku harus berhadapan dengan pekerjaanku sebagai seorang kakak, menghadapi bermacam emosi adik - adikku dan drama - drama sebelum menggunakan pakaian sekolah, sungguh hanya di sekolah aku selalu bisa merasa kebahagian bagian dari jatah hidupku. Tidak seperti cinta - cinta monyet sebelumnya yang sering aku rasakan, kali ini perasaan kasmaran yang aku alami bukan hanya perihal kekaguman, setiap kemunculannya didepan kelas jantungku selalu berdebar kencang, karena gedung kami cukup bersebelahan, cinta yang mempengaruhiku bisa menulis hingga hari ini. Setiap penulis atau seseorang yang suka dengan dunia kepenulisan pasti mengalami faktor penyebab mengapa mereka suka sekali menulis, dan aku salah satu yang memiliki faktor untuk menulis. Perasaan - perasaan menyukai lawan jenis sebelumnya hanya ungkapan - ungkapan dari mulutku, lain halnya dengan apa yang aku rasakan pada kakak kelas yang beda tiga tahun denganku, saat itu dia duduk di kelas sepuluh.

Semenjak mencari tahu namanya di Facebook aku jadi sering menulis tentangnya di buku harian, perasaan - perasaanku terhadapnya aku curahkan di buku harianku. Terkadang aku merasa cemburu ketika dia bermain tawa dan mata dengan teman satu kelasnya, sungguh saat itu aku tidak tahu apa yang aku rasakan, selain didorong karena rasa suka terhadap lawan jenis, lagu - lagu tahun dua ribuan menjadi pengimplementasian perasaan - perasaanku. Aku sering mengirimi pesan melalui radio, walaupun aku sadar hanya 0,1% kemungkinan dia akan mendengar itu. Beberapa kali mencuri pandang, dia tidak pernah sadar bahwa ada satu perempuan di sekitar dia yang begitu memiliki perasaan besar terhadapnya. Selama cinta bertepuk sebelah tangan itu tumbuh, aku tidak pernah berhenti mengungkapkan keindaan yang tumbuh juga didalam perasaanku. Hingga dia lulus dan aku duduk di kelas yang dahulu dia tempati aku tidak pernah sepatah katapun berbicara dengannya apalagi mengungkapkan perasaanku.



***

Menonton ulang Crazy Little Thing Called Love, di akhir pekan sungguh membawaku ke masa - masa penuh imajinasi dan kebahagiaan batin. Aku lebih sering menghabiskan aktivitas di dalam kontrakan ketika hari libur kerja telah tiba, tidak seperti aku seorang mahasiswa dulu yang setiap harinya adalah aktivitas - aktivitas outdoor, tidak keluar satu hari saja pikiran dan hati akan gelisah. Tetapi lain hal yang aku lakukan saat ini, menonton film, menulis dan menyalin tulisan dari buku harian sudah menjadi aktivitas kesukaanku. Memilih film - film romantis diakhir pekan hanyalah salah satu usaha agar aku masih mempunyai harapan untuk percaya bahwa cinta yang tepat itu memang ada, dan sebuah perayaan mati rasa tidak perlu terjadi. Walau terkadang aku sering kecewa terhadap ekspektasi dan ambisiku sendiri. Setelah kisah cinta pertama yang tidak dapat diungkapkan, aku sempat menemukan kembali perasaan yang pernah aku rasakan di masa remaja, dan ketika memasuki Universitas perasaan itu kembali hadir, selain karena kekaguman dorongan untuk hidup seatap dengannya pernah aku utarakan, mungkin ini lebih brutal dari mengirim surat atau mencintai dalam diam. Sebuah halte di depan kampus menjadi saksi bisu dan hujan akan mengingatkanku akan hal baik dan buruk saat itu.


***


Selain keberanian, tertawa juga bisa  menular. Selain hujan, yang bisa menutupi air mata yang mengalir deras di pipi, apakah diam bisa menjadi perenungan paling dalam diantara sunyi ?. Januari 2017 adalah puncak, dimana rindu akan lahir meski tanpa seorang ayah, tanpa nama, tanpa sambutan dan tanpa pelukan. Jika luka adalah tempat rindu beranak pinak apakah kita siap untuk terluka sepanjang hari,

“Bertahan sampai kapan, kopi menjadi alat untuk kita orang-orang, bisa bercakap satu sama lain, disela-sela kesibukan mereka”, Rama memberanikan diri untuk mencoba membuka percakapan. “Hahaha” aku hanya tertawa, ketika untuk pertama kalinya kita bisa saling bercakap, setelah beberapa tahun aku hanya bisa melukiskan Rama didalam puisi - puisiku. Angin petang saat itu, sangat indah. Menjadi miniatur tidak terkalahkan sebagai pelengkap senja. Sekali lagi, kita meneguk kopi yang tidak lama lagi habis oleh keserakahan kata-kata.

Kota yang menjadi pundak keluh kesah akan diriku dan sekaligus saksi bagaimana rindu yang terus aku lahirkan , yang sedang diguyur hujan, sepanjang jalan, orang – orang berkendara roda dua, menepi di sela – sela halte dan di bawah pohon rindang. Diantara merekalah aku menunggu sosok dirimu.

Sore itu, sore itu, Ram. Kau menjemputku dengan roda dua kesayanganmu, tanpa ada pemberitahuan, kau menggandeng tanganku untuk mengisi lahan kosong ditempat duduk belakangmu. Sore itu, Ram. Angin menuntun kita pada cakrawala, kita sama – sama memandangi senja. Saling mendengarkan dalam diam, diantara riak ombak, kita menanam sunyi. Sore itu, Ram. Kita berdua menjadi manusia bodoh dengan menahan tertawa.  

Angin dimana lagi yang kau peluk malam ini Ram ?, berani jatuh cinta, haruspun berani kecewa, itulah pepatah orang dewasa yang sering aku dengar. Jika malam ini, ditengah deras hujan kau datang memenuhi undangan yang aku tulis melalui pesan singkat telegrammu. Aku merasa puas dengan segala konsekuensi keberanianku.

Lihatlah Ram, apa yang aku temukan di antara keramaian orang-orang berlarian karena takut basah dan kedinginan. Padahal hujan, bisa meyembunyikan kesedihan, padahal dingin bisa menyejukan perasaan. Jam di layar handphone menunjukan pukul delapan malam. Orang – orang yang bosan menunggu reda, memilih menembus badai. Tapi aku, bertahan. Semenjak aku melukis puisi di punggungmu, Ram. Aku terbiasa menunggu, menunggu rindu yang tidak pernah kau jemput karena terbakar waktu. Bahkan, menunggu selama enam tahun lamanya, agar aku bisa memberanikan diri untuk bisa menyerahkan rindu yang terus lahir didalam tubuhku.

Sekali lagi, aku melintasi ingatan perihal, menerima. Karena, jika aku berani untuk jatuh hati, aku harus menerima masa lalu dan jawaban masa depan seseorang yang aku cintai. Aku menerima, melihat dia mencintai seseorang, aku menerima, butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menyampaikan segala bentuk perasaan.

Malam semakin dingin Ram, bukan gelap yang aku khawatirkan, tapi ketidakhadiranmu yang aku cemaskan. Satu puntung rokok yang aku punya, mengisyaratkan bahwa aku duduk sendirian di sebuah halte, tempat yang aku janjikan. Hujan tidak juga reda Ram, ponselku berdering, aku senang itu pesan darimu. “gw dalam perjalanan”.

Tidak pernah terpikirkan olehku, bahwa menyayangi bisa melahirkan kecewa dan luka. Menerima bagian dari bersenggama dengan luka. Kau datang di hadapanku, aku deg – degan. Perasaan apa ini Tuhan.

Kita duduk berdampingan, hujan tetap turun. Menyembunyikan rasa gemetarku akan kehadiranmu. Jalanan mulai sepi, tapi lampu – lampu jalan semakin terang. Entah karena langit semakin gelap, atau memang Dinas Tata Kota sudah menggantinya dengan yang baru.

Semua yang aku utarakan yang kau utarakan, telah berlayar menembus hujan dan keramaian Kota. Semua yang aku dengar yang kau dengar, telah berlayar menembus sunyi dan angin malam. Semua yang kita diamkan tanpa kata – kata telah disaksikan oleh halte di Kota perjuangan. Semua cukup untuk direlakan, karena pengharapan memiliki tempatnya masing – masing. Begitupun, harapanku tentang kita, yang sempat aku ingin perjuangkan. Merelakan harapan untuk memilih tempatnya sendiri.

Ini akan mudah, Din. Begitu kata hati kecilku. Yah, ini akan mudah!, bolehkah aku memelukmu untuk pertama dan terakhir, Ram ?.

Rintik hujan yang sendu, sepi kota yang nelangsa. Aku kira, luka dan kecewa butuh dewasa.

Semoga kau sehat dan bahagia, Ram. Terimakasih. 


***


Rama, sempat menjadi rumah yang aku harapkan, cara dia berdiskusi, menyampaikan materi, banyak membaca buku, teori - teori yang matang dan radikal dan hal - hal progresif yang dia punya selalu membuatku jatuh hati padanya. Pertemuan perdana kami terjadi ketika aku dan kawanku saat itu di utus oleh organisasi untuk ikut konsolidasi di Universitas Bung Karno, dan Rama saat itupun sama, dia datang bertiga bersama teman organisasinya. Itulah awal mula aku tertarik kepadanya, dengan rambutnya yang gondrong bermekaran seperti gelombang ombak dan kulitnya yang coklat membuatku terpana pada pandangan pertama. Dan perasaan itu berlanjut hingga delapan tahun lamanya, lagi setelah Furqon kakak kelas yang aku nobatkan sebagai cinta pertamaku yang membuka cakrawala literasiku sehingga aku rajin untuk menulis buku harian tentang pertemuanku dengannya walaupun hanya memandang dari kejauhan, dan Rama, seperti tercipta untuk mengembangkan ide - ide literasiku, dari kekagumankun pada Rama, aku sering menulis puisi dan sajak yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan saat aku menicntai kak Furqon. Aku tidak mengerti mengapa suatu momen harus bertemu dengan masanya masing - masing, perasaan - perasaan jatuh cinta yang aku lalui selain dari dorongan hati ada juga dorongan - dorongan eksternal lainnya, seperti perasaanku yang timbul pada kak Furqon salah satunya terdorong karena aku terlalu menghayati musik - musik yang sering aku dengar di radio, perasaan - perasaan kasmaran yang di tulis dan dinyanyikan oleh Band - Band pada saat itu, seakan - akan menghipnotisku kepada romantisme lawan jenis. Dan apa yang terjadi pada Rama saat itu, adalah dorongan dari romantisme hubungan yang setara, sama - sama berjuang di medan perang, bersama - sama membangun keluarga yang demokratis dan radikal, sungguh lagu - lagu dan sejarah perjuangan founding father saat itu yang memicu aku ingin memiliki pasangan hidup yang sama - sama seorang aktivis.

Barangkali, Rama menjadi salah satu manusia yang cara pengimplementasian cinta yang aku punya seperti apa yang Kahlil Gibran katakan bahwa, Apa bila cinta memanggilmu, ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku - liku. Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrahlah. Walau pedang yang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Aku ingat betul, aku menangis tersedu - sedu ketika melihat foto profil watshapp dia dengan perempuan. Cinta itu buta mungkin benar adanya, rasa cintaku yang begitu besar terhadap Rama membutakan mata hatiku bahwa ketika Rama mengetahui perasaanku terhadapnya dia akhirnya hanya memanfaatkan perasaanku terhadapnya. Rama menjad salah satu sumber perasaan kecewa yang selalu membuatku tidak percaya lagi perihal pasangan hidup atau laki - laki yang tidak patriarki. Setelah, tragedi halte aku sudah sangat jarang berkomunikasi dengan Rama, selain pertemuan - pertemuan tidak terduga kita ketika menghadiri sebuah pertemuan konsolidasi organisasi. Selain kecewa, Rama menjadi sebuah pembelajaran buatku salah satunya adalah puisi. Sembari mengusap air mata karena adegan akhir film yang mengharukan aku langsung membuka Spotiy dan memutar lagu Kodaline all i want .


Puisi di punggungmu...

 

Semesta menyambut purnama

Tapi kau, datang meninggalkan luka

Sunyi menyambut malam

Tapi kau, pergi dengan seribu diam

Orang - orang berpesta melahirkan tawa

Tapi kau, menyuguhkan sebotol kecewa

 

Dari balik punggungmu aku berharap

Melukis atap meminta untuk menetap

Semakin aku berharap, kau jauh tanpa bisa aku dekap

 

Malam ini,

Langit mengingatkan,

Sebungkus kenangan

Untuk aku cukupkan!

 

Enough,

Its done

Lihat selengkapnya