Ranum

Merta Merdiana Lestari
Chapter #8

Perjalanan Sikap

Olehnya. Kita harus berani, meski terkadang ketakutan

adalah kekuatan terbesar dari pada cemas.




2018,


***

Bumi manusia. Ketika manusia terlahir, belum barang tentu bahwa dia akan bisa memanusiakan manusia. Bumi manusia, dua kata yang hampir - hampir mengonyak nalarku dalam menerjamahkannya. Tidak lain, bagiku bumi manusia adalah kumpulan kontradiksi yang menjadi ilham dalam perjuangan tiada henti. Larasati, adalah novel karya Pram. Dari beberapa novel yang begitu menginspirasi dan amunisi bagi kaum muda dalam menganalisa pandangan dan materinya. Menjadi berani memang mudah kita ucapkan, namun terkadang begitu sulit dan berat untuk kita mengimplementasikannya. Ada hal yang menyayat perasaanku, sehingga aku mampu melebur pada karya Pram yang berjudul Larasati , tentu ia adalah seorang perempuan dengan kutukaannya yang cantik dan mampu menarik perhatian orang - orang sekitarnya terlebih kaum Adam. Terlahir sebagi perempuan, Larasati yang diterpa proses panjang dalam mengalami hidup ditambah kondisi Tanah air yang sedang ia tempati berada pada posisi harus di perjuangkan. Pram yang begitu piawai menggambarkan perempuan bernama Larasati menjadi sebuah perenungan buatku sendiri yang juga terlahir sebagai perempuan, pengalaman kekerasan juga trauma - trauma masa kecil yang harus berani aku hadapi untuk melanjutkan kehidupan yang masih misteri. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan. "Terlahir dengan kutukan ataupun anugerah, kau tetap perempuan yang harus berani dalam segala hal". Pelabuhan Anyer.


***


Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1439 H.

Tidak selamanya air harus mengalir, ada kala ia harus membeku agar bisa menjadi hal yang butuh di dengar. Saat ini, aku sedang di Rumah seperti biasa, ketika libur panjang tiba aku selalu pulang entah sekedar istrahat dari rutinitas Kampus, atau memang aku sedang rindu pada masa kecil yang bisa kutemui di kampung halaman, entah tempat bermain yang sudah menjadi bangunan, teman - teman sejawat yang juga sudah tumbuh besar seperti aku, sungai yang sudah mulai surut dan dangkal karena orang - orang di kampung sudah banyak mempunyai kamar mandi, orang - orang tua yang semakin tua dan sawah - sawah yang diganti oleh rumah - rumah karena populasi generasi yang semakin berkembang, dari sanalah aku melihat bahwa aku sudah bukan anak - anak lagi. Selama merantau untuk pendidikan, aku sudah sangat jarang bahkan sudah sangat malas untuk pulang ke rumah, selalu ada perdebatan antara aku dan ibu, jalan prinsipku dan juga harapan ibu sangatlah bersebrangan. Entah kedepan, apakah aku akan menemukan jalan yang mudah atau malah semakin rumit.

"Semapah, nalar menyambut keterusterangan dan keasingan yang diselimuti kemiskinan. Kini tidak ada lagi yang perlu ditutupi, kertasku akan bisa kau pakai dan penaku bisa kau gunakan. Kita sedang membangun satu kesatuan, kita hanya butuh meja dan kursi sebagai alat perjuangan. Kau simpanlah kekayaanmu, sebab di pedalaman yang harus kau bawa dalam ssaku hanyalah buku dan pena. Mari kita menangis dan tertawa bersama - sama, sebab sejarah sedang kita catat. Selamat datang dan selamat tinggal."


***

Dua puluh delapan Juni, pukul 16.00 kami berangkat dari Kota Serang menuju Kalideres. Kami tiba di Kalideres pukul 18.00 WIB. Sejenak istirahat, sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan. Kami singgah di warung kopi dekat halte Busway, satu jam kami istirahat dan berbincang. Akhirnya bus yang akan kami tumpangi telah tiba, tepat pukul 19.20, Bus yang lumayan mewah dengan AC, selimut serta bantal membuat perjalananku ke Jogja lumanyan cukup nyaman. Aku duduk bersebelahan dengan perantau asal Purwokerto yang akan pergi mudik, sejenak kami berbincang perihal pendidikan. Tepat pukul 13. 20 kami tiba di Jogjakarta terminal giwangan tepat hari Jum'at 29 Juni 2018. Sesampai terminal kami istirahat sebentar mampir di warung makan sederhana tidak jauh dari terminal, satu jam kurang lebih kami menghabiskan waktu untuk makan siang dan meminum kopi, tak lupa kami menyajikan canda tawa yang membuat kami semakin semangat untuk menghadiri Konferensi Pendidikan. Dimana konferensi ini, dihadiri beberapa lintas organisasi Kampus. "Akhirnya, karya massa adalah resolusi untuk membangun kekuatan besar".


***


"Pagimu memancarkan sinar mentari yang menjadi sebuah pengharapan bagi insan yang telah sedikit demi sedikit surut dalam peraduannya mengayomi cinta". Hari kedua aku di pulau Sangiang, ini adalah kedua kalinya aku berkunjung ke pulau Sangiang. Kunjungan kedua ini aku hadiri karena mendapatkan undangan halal bi halal dari masyarakat setempat, bersama dengan kawan - kawan Lab Banten Girang dan Ombusdman. Sangiang, masih menjadi pulau yang penuh kontradiksi dengan segala hal yang menjadi perbincangan kami. Panjang kiranya hal yang aku resahkan yang terjadi di Pulau ini, permasalahan masyarakat pulau dengan perusahaan yang belum selesai hingga aku datang kesini untuk kedua kalinya, sungguh bumi manusia.

"Alam membisikan kesunyiannya pada keadaan bumi yang di hiasi golongan - golongan manusia yang tersisih dari tanah sebagai alas kaki dalam memapah. Oh... Dewi... sangsaka buanamu telah usang ditikam amunisi yang menyayat hati". Sangiang 2018.


Kosan. Tiba - tiba saja, malam ini aku mengingat kematian. Disampung itu, aku bersyukur masih ingat akan hal - hal ini, selama lima tahun lebih aku menempuh pendidikan disini, mulai dari bersosialisasi, berorganisasi dan berkawan mencari penghidupan hingga bosan untuk melakukan hal - hal yang berulang. Etahlah, akal dan nalarku sudah berada di persimpangan mana, keabsurdan dalam pikiranku mulai menjadi - jadi.

"Waktu yang kita miliki tidak akan pernah panjang, pada kesunyiannya menyampaikan angin, pada pengharapannya atas makna dan do'a. Hingga rasa dan karsa menyatu pada peraduannya, memancarkan keceriaan yang tidak pernah terduga. Kau tak perlu takut, kendatipun aku tak patut gentar. Hidup memang pilihan bukan ? kau lebih tau arti dari kata itu (hidup) ibu. Lekas kita bertemu pada ketiadaan".


***

Tepat akhir pekan kemarin 8-9 September, aku melangsungkan Kongres ke - V Komunitas Soedirman 30. Di kongres itulah, aku memberhentikan jabatanku yang sudah dua tahun lamanya menjadi Sekretaris Jendral. Bukan berarti perjalanan perjuanganku selesai hanya di kongres ini, tetapi dari sinilah nalar dan prinsipku dipertaruhkan. Selama dua tahun lamanya aku belajar hal apapun dalam memimpin sebuah organisasi, dan banyak hal yang aku rasakan, Komunitas Soedirman 30 sudah menjadi keluarga kedua dalam hidupku. Dan aku mengucapkan terimakasih, sudah menjadi tempat pulang dan belajar ternyaman buatku.

Sejak pertama mengenalnya

Sedikit - demi sedikit keterasingan mulai menghampiri, dengan kabar yang menggembirakan

Sejak itulah, hal yang ada dalam diriku

Menjadi biak dalam mengalahkan riak

Aku dapat memesan takdir, dan dapat menggenggam nalar

Meskipun aku, tidak dapat memeluk pikiranku

Lihat selengkapnya