Jika terlahir kembali, aku ingin menjadi angin. Tidak terlihat tetapi bisa di rasakan.
Setelah bermacet - macetan ketika pulang dari kantor, jarak yang harusnya di tempuh 10 menit, hari ini aku harus menunggu lebih dari tiga puluh menit untuk sampai di kontrakan. Sudah menjadi hukum jalanan ketika sehabis di guyur hujan, kawasan pabrik akan macet dan tidak jarang lumpuh total beberapa jam, masalahnya bisa beragam, dari angkot yang ngetem menunggu penumpang, dari beberapa kendaraan yang tidak mau mengalah untuk melewati kemacetan dan tak jarang bisa karena banjir dan pohon tumbang. Dengan pakaian yang sedikit basah kuyup karena di guyur gerimis, aku langsung mengganti pakaian sesampainya di kontrakan, kali ini, aku disambut Robbin, kucing hitam yang aku beli dari internet satu minggu yang lalu.
"Seseorang tidak pernah mengubah cara hidupnya, satu cara hidup akan sama baiknya dengan yang lain, dan cara hidupku yang sekarang adalah cocok betul dengan diriku". Salah satu cara hidup dari seorang penulis yang aku kagumi adalah Albert Camus. Bagaimana dia menggambarkan keterasingan dan absurditas manusia dalam tulisan - tulisannya, membuatku tersadar di beberapa hal fase kehidupan yang sedang dan sudah aku jalani. Sembari menunggu gerimis reda, aku menyempatkan jadwal membacaku sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan kantor.
Menjadi biasa - biasa saja, barangkali adalah kamus paling terdepan yang selalu aku bawa saat ini. selain faktor usia, drama - drama hidup yang sudah tidak penting lagi buatku menjadi modal utama ketika aku harus berkomunikasi dengan orang - orang sekitar. Entah ini bisa dibilang apatis atau individualis yang jelas, aku sangat ingin menjadi biasa - biasa saja. Ketika awal - awal memasuki usia 28 tahun, aku sangat malas sekali untuk pulang ke rumah, selain jarak yang jauh saat itu dari tempat aku bekerja, sikap membanding - bandingkan yang di lakukan ibu kepadaku adalah salah satu faktor utama. Ibu selalu mengeluh padaku tentang anak - anak seusiaku yang sudah menikah, memiliki rumah, tanah, pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang "layak" lainnya dalam pandangan ibu, dibandingkan aku saat itu. Dibalik rasa kesal itu, ada hal - hal maklum yang sering aku netralisirkan untuk meminimalisir kebencian terhadap ibu, adalah masa lalu ibu dan aku yang terlahir sebagai anak pertama. Aku paham, harapan ibu yang begitu besar terhadapku yang akhirnya membuat ibu begitu keras dalam mendidik dan berharap besar kepadaku. Saat aku menginjak remaja, aku sempat mengiyakan apa yang ibu harapkan terhadapku, soal menjadi PNS yang memiliki masa depan, soal menikah dengan orang yang berada, dimana hal itu di nilai dapat mendatangkan kebahagiaan. Barangkali, pandangan - pandangan masa depan yang sering ibu lontarkan padaku