Rara

Hai Ra
Chapter #1

Bagian 1: Pertemuan

Pagi datang dengan kesenduannya menyambut hari. Matahari seolah enggan menampakan dirinya. Malu sepertinya. Atau bisa jadi ia ingin menambah jam istirahatnya sebentar. Rintik kecil mulai berdatangan, bermaksud ingin berkunjung ke bumi, lalu mengucapkan selamat pagi kepada seluruh umat manusia di bumi kemudian dibalasnya dengan perasaan penuh suka cita. Hujan di pagi hari membawa kebahagiaan tersendiri bagi beberapa orang. Tidak jarang hal itu dijadikan sebagai alasan kemalasan orang-orang sebelum melakukan rutinitasnya.

Dibalik balkon kamar, seorang gadis kecil sudah terbangun dari tidur pulasnya. Wajahnya terlihat begitu cerah menandakan bahwa ia sudah siap memberikan warna baru di setiap waktu. Sejenak ia melamun memandang keluar rumah mengamati lamat-lamat langit pagi yang nampak bersedih. Terbesit perasaan sedih dibenaknya karena pagi itu rupanya matahari enggan menyapa dan lebih memilih bersembunyi di balik sendunya langit. Tidak ada kicau burung yang biasa didengar oleh gadis kecil itu. Tidak ada cahaya kekuningan yang selalu memaksa masuk melalui celah-celah jendela dan menusuk mata. Yang ada hanyalah suara gemuruh dari ribuan air yang berlomba-lomba menjatuhi bumi dengan kasar dan penuh dengan perasaan tidak sabar.

Gadis kecil itu bernama Rania Freyzania. Rara panggilannya. Ia lebih senang dipanggil dengan sebutan ‘Rara’ karena ia merasa lebih akrab dengan nama itu. Banyak orang-orang yang pertama kali berkenalan dengannya memanggilnya dengan sebutan ‘Rania’, namun dengan mata yang membulat bahkan hampir keluar dan kerasnya ia berteriak, “Bukan Rania, Tapi Rara! Panggil aku Rara!” setelah berteriak keras seperti itu, ia akan berlari menghampiri bundanya lalu memeluknya erat dengan wajah yang ditanam ke tubuh bundanya.

Rara adalah anak tunggal dari keluarga Ibu Namira dan Bapak Riza. Ibu Nayara atau yang biasa Rara panggil dengan sebutan bunda, adalah seorang ibu rumah tangga yang mengabdikan dirinya untuk keluarga satu-satunya yang ia miliki, dan Bapak Ringgo atau yang biasa Rara panggil dengan sebutan ayah, adalah seorang karyawan di perusahaan swasta yang cukup terkenal. Hidupnya dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan yang cukup melimpah. Semua kasih sayang tentu hanya untuk Rara seorang, tidak ada orang lain yang mendapat bagiannya.

Di lingkungan rumahnya Rara tidak memiliki teman satu pun. Bukan karena ia tidak ingin berteman, namun hanya saja tidak ada anak lain yang sepantaran dengannya sehingga ia merasa kesulitan jika harus bergaul dengan orang-orang yang berbeda jauh dengannya. Ia selalu menghabiskan waktunya sepulang sekolah dengan budanya, bermain, membaca buku, memasak, dan kegiatan seru lainnya.

Di pagi yang begitu kelabu, segelas coklat panas menjadi kawannya dalam menyambut hari. Asapnya masih berterbangan ke udara mengikuti arah angin berhembus. Untuk bisa menikmati coklat panas itu dibutuhkan beberapa usaha. Bibir yang agak tebal, namun kecil berwarna merah muda segar kerap kali meniup-niup mengusir balutan asap yang masih nyaman mengelilingi coklat panas. Sesekali ia terkejut akibat panasnya minuman coklat yang membakar lidah.

 Ditengah usahanya meniup coklat panas miliknya, pandangannya jatuh kepada sebuah truk besar yang berhenti tepat di depan rumah kosong sebrang rumahnya. Di belakang truk besar itu ada sebuah mobil sedan hitam mengkilat yang kelihatannya sangat terawat. Dari dalam mobil sedan itu, nampak seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya. Ia menatap anak laki-laki itu dari balkon kamarnya. Kulitnya putih bersih, matanya bulat kecoklatan, hidungnya mancung, rambutnya hitam tebal namun agak ikal, tingginya lebih pendek darinya.

“Teman baru,” desisnya.

Ia meneguk coklat panasnya yang sudah tidak panas lagi berkat usahanya. Mungkin kini bisa disebut dengan coklat dingin. Dinginnya udara pagi dan hembusan tiupannya bergabung dalam minuman coklat itu. Minuman coklat itu ia teguk dengan cepat. Sangking cepatnya ia meneguk, ia tersedak. Minuman coklat itu kini tumpah, lalu mengotori sebagian baju tidurnya.

Disaat Rara sedang mencoba membersihkan nada coklat di pakaiannya, dirinya terkejut mendapati bundanya yang sedang mengobrol dengan seorang wanita berusia sepantaran dengan bundanya. Di tangan bundanya menggantung kantung plastik bening berisikan sayuran yang sudah tidak sabar untuk diolah menjadi hidangan lezat. Kemudian di dekat wanita asing yang sedang berbincang dengan bundanya, menggelayut anak laki-laki yang ia lihat dari balkon kamar sebelumnya. Terlihat jelas bunda Rara mencoba mengajak mengobrol anak laki-laki itu, namun anak laki-laki itu tidak merespon dan bersembunyi dibalik tubuh wanita asing itu. Sampai pada akhirnya pertemuan singkat di bawah hujan yang mulai mereda itu ditutup dengan lambaian tangan dari kedua wanita itu.

Rara lantas berlari keluar dari kamarnya, menuruni satu persatu anak tangga dengan tergesa-gesa tanpa memperdulikan noda di pakaiannya. Ia melihat bundanya yang sedang sibuk menurunkan sayuran yang baru saja dibeli. Larinya terhenti dekat tubuh bundanya, kemudian ia lempar tubuh kecilnya dan memeluk bundanya erat-erat. Tanpa disadari pelukan itu membuat noda di pakaiannya mengotori pakaian yang digunakan oleh bundanya.

“Bunda, selamat pagi!” jeritnya sambil bergelayutan di tubuh bundanya. Sejenak bundanya terkejut dengan kehadiran Rara yang tiba-tiba. Plastik telur yang sedang berada di genggamannya hampir saja terjatuh ke lantai. Beruntungnya tangan bundanya cekatan sehingga kantung plastik itu aman.

“Selamat pagi putri kecilku,” bunda Rara memegang pipi gembil Rara dengan gemasnya hingga wajah Rara seolah mengecil seperti terjepit.

“Bun, itu siapa?”

“Yang mana?”

“Itu lho, bun, orang yang ada di rumah kosong itu,”

“Oh...itu, itu tetangga baru kita.”

“Ooo tetangga baru. Memangnya mereka nggak takut ya, bun, pindah ke rumah kosong. Ada yang bilang rumah itu berhantu.”

“Hantu? Ini hantunya ada disini.”

“Bundaaaa!”

“Lagian kamu ada-ada saja, ra.”

“Nanti kita main kesana yuk, bun!”

“Hayuk, tapi sekarang kamu siap-siap dulu ke sekolah.”

“Oke, bun.”

Sambil menikmati sarapan pagi, nasi goreng udang bercampur dengan telur urak-arik ditambah pula dengan kerupuk yang pastinya tidak pernah dilupakan dan membuat rindu saat berjauhan, mereka asyik mengobrol membicarakan tetangga baru mereka. Mulai dari keramahan tetangga baru itu, tampannya anak tetangga baru itu, hingga rumor rumah berhantu yang beredar di telinga anak-anak. Sebenarnya rumor itu tidak benar, rumor itu sengaja dibuat agar anak-anak tidak bermain kesana. Asyiknya pembicaraan itu membuat bundanya tidak menyadari noda yang ada di pakaian anaknya. Mulut Rara sibuk mengoceh sana-sini dengan mulut yang terisi penuh dengan nasi goreng udang. Beberapa butir nasi berjatuhan dari mulutnya hingga mengotori sebagian meja makan dan lantai disekitarnya. Bundanya hanya bisa memaklumi, karena ia tahu betul bagaimana sikap Rara. Pernah suatu ketika Rara dinasihati untuk diam sejenak selama makan, namun itu hanya berlaku beberapa menit saja.

“Ra, itu baju kamu kenapa? Kok bisa kotor gitu?” tanya bundanya yang baru tersadar dengan noda coklat di bajunya.

“Coklat,” jawabnya pelan sambil menunjukkan cengirannya.

“Yaampun ternyata baju bunda juga kena.”

“Bun, nama anak laki-laki itu siapa?” Rara tidak menggubris keluhan bundanya, ia mengalihkan pembicaraan dengan sengaja agar bundanya tidak jadi mengomelinya.

Raut wajah bundanya terlihat kesal dan gemas melihat tingkah Rara. Cara bicara bundanya mulai agak meninggi, seolah dirinya ingin memarahi Rara keras-keras. Tetapi, pemikiran warasnya masih berlaku, sangat remeh jika ia marah besar hanya karna noda coklat dan sikap Rara yang tidak peduli dengan keluhannya. Sambil memendam amarahnya, bundanya menyuapi sendok berisikan nasi goreng udang yang masih tersisa ke mulut ceriwis Rara. Rara lantas menerima suapan dengan membuka mulut lebar-lebar, lalu menguyahnya sampai halus sebelum ditelan. Mulutnya tidak berhenti berbicara biarpun sudah disesaki makanan. Sesekali ayahnya yang duduk di sebrangnya mengingatkannya untuk diam sebentar saat makan. Namun, ia tidak menurut dan terus mengoceh.

Sang ayah melirik jam tangan berbahan kulit yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, saatnya untuk segera berangkat ke kantor dan menikmati sesaknya perjalanan pagi. Ayahnya berpamitan kepada Rara dan bundanya. Diciumnya kening kedua manusia yang sangat ia sayangi.

“Bun, ayah berangkat dulu ya,” ucap ayahnya kepada bundanya sambil mencium kening bunda Rara.

“Hati-Hati ya, yah,” jawab bundanya cepat.

“Ra, ayah berangkat dulu ya. Jangan nakal,” ucap ayahnya kepada Rara sambil mencium kening Rara.

“Oke siap bos!” jawabnya sambil mengacungkan jempolnya.

Tidak berselang lama sejak keberangkatan ayah Rara, hujan yang sebelumnya sudah mereda, kini kembali membesar, seperti pasukan air yang berdatangan lengkap dengan parjurit-prajurit lain yang siap menghantam bumi dengan ganasnya hingga membuat bencana dibeberapa tempat. Suasana yang semula sepi, berganti dengan suara gemuruh pasukan air yang saling berlomba-lomba membasahi bumi, mengguyur jalan lowong hingga membuat dunia luar terdengar begitu ramai. Jalan aspal yang semula begitu sunyi dan sedang bersantai dibawah sendunya langit, kini ikut merasakan kesedihan dan rasa sakit yang dirasakan langit. Dedaunan kering yang semula betebaran di jalan sunyi itu pun mengalir terbawa arus mengikuti arah air itu mengalir hingga berkumpul di satu titik. Ada juga genangan air di beberapa titik yang siap mengejutkan pengendara kendaraan dan siap membuat celaka untuk siapa saja yang tidak berhati-hati.

Setelah makan, Rara bersiap-siap untuk ke sekolah dibantu dengan bundanya. Dimulai dari mandi, menggunakan pakaian seragam, hingga bekal yang tidak pernah dilupakan. Pakaian tidur bernoda yang sebelumnya ia gunakan, kini telah berganti menjadi seragam taman kanak-kanak berwarna hijau muda, bermotifkan kotak-kotak dengan dasi kupu-kupu kecil yang melingkar di kerah bajunya. Rambut panjangnya yang sebelumnya terurai tak karuan seperti singa, kini berubah menyerupai telinga kelinci lengkap dengan pita merah jambu. Tidak lupa bundanya mengecek satu persatu barang bawaan Rara agar tidak ada yang tertinggal. Khawatir jika ada satu barang saja yang tertinggal, putri kesayangannya ini akan kebingungan hingga menangis di Sekolah.

“Oke, sudah lengkap semua,” ucap bundanya puas.

Tidak lama kemudian,

 “TIN...TINNN!”

Hujan masih turun deras. Sopir jemputan yang tidak sabar ini, berulang kali menekan-nekan klakson hingga membuat bising area perumahan. Beberapa penghuni melontarkan kekesalannya terhadap ulah sopir jemputan itu, beberapa lagi bersikap tidak peduli berpura-pura sibuk dengan kegiatannya.

“Ra, ayo cepat!” Rara berlari sekonyong-konyong dengan tas pundak unicorn yang ikut melompat-lompat akibat getaran tubuhnya. Isi tas itu ikut bergoyang-goyang hingga menimbulkan suara samar, “bruk bruk bruk.”

Disaat Rara dan bundanya sedang berjalan menuju mobil jemputan itu, sopir jemputan itu masih terus menekan-nekan klakson dengan keras. Bunda Rara yang semula tidak terlalu menghiraukan pun lama-kelamaan kesal.

“Sabar dong, pak.”

“Sudah jam berapa ini, bu? Kesiangan nanti!” jawab sopir itu dengan ketusnya. Wajahnya nampak sangat tidak berkawan, tidak terlihat ramah sama sekali. Justru membuat tidak enak hati untuk dipandang.

“Pak, nanti siang Rara saya yang jemput,” tidak ada jawaban dari sopir jemputan itu.

Payung polos berwarna kuning dijadikan sebagai pelindung diri dari derasnya hujan. Rara mencium tangan dan kening bundanya. Tangan Rara begitu dingin akibat cuaca pagi itu yang terasa lebih dingin daripada biasanya. Berungkali bunda Rara mengusap-usap lengannya sekadar untuk menghapus rasa dingin yang menghinggap. Perlahan, namun pasti kaki kecil Rara mencoba meraih lantai mobil. Tangan kanannya melambai ke arah bundanya seraya mobil jemputan itu berjalan menjauhi rumahnya.

Bye bye bunda.”

Mobil jemputan itu semakin menjauh, gambaran tubuh bundanya semakin mengecil dan lama kelamaan menghilang ditelan jarak.

 

***

 

Hujan sudah berhenti. Di Sekolah, Rara bermain bersama teman-teman sepermainannya. Ia berlari kesana kemari bagaikan gangsing. Tubuhnya tidak mengenal kata lelah. Senyumnya terus merekah. Beberapa anak berkumpul mengerubunginya. Berusaha mengajaknya untuk bermain bersama.

“Hati-hati licin!” ucap salah seorang guru yang mengawasi.

Rara adalah anak yang sangat ceria. Banyak orang-orang di sekolahnya yang menyukai dirinya. Selain ceria, dia juga anak yang sangat pemberani. Disaat teman-temannya diam saat diminta maju ke depan kelas, ia justru sangat semangat saat gurunya memintanya ke depan kelas. Tidak jarang ia mengajukan diri jika ada temannya yang menolak panggilan gurunya. Selain itu ia juga anak yang sangat mudah bergaul dengan orang lain. Maka dari itu banyak dari anak-anak satu sekolahnya ingin bermain bersamanya.

Saat sedang asyik bermain dengan teman-temannya, tiba-tiba saja suara bel masuk berbunyi. Tanda bahwa pelajaran akan segera di mulai. Semua anak-anak berlarian ke arah kelasnya masing-masing. Tak terkecuali dengan dirinya. Ia berlari dengan kencangnya hingga tidak sadar ada seorang anak laki-laki di depannya. Mereka akhirnya bertabrakan. Tubuh Rara terpental jatuh ke lantai. Begitu pula dengan anak laki-laki itu.

“Aduh, sakit,” keluhnya sambil memegang bokongnya yang sakit akibat jatuh.

Rara meringis kesakitan. Diusapnya bokongnya yang terasa sakit akibat berbenturan dengan lantai. Anak laki-laki itu pun meringis kesakitan hingga mengeluarkan sedikit air mata. Wajah anak laki-laki itu memerah. Kedua tangannya menutupi seluruh sisi wajah. Orang-orang disekitar memperhatikan kejadian itu. Mereka berpikir Rara sudah membuat anak laki-laki itu menangis. Beberapa anak lain yang melihat kejadian itu mencoba menyalahkan Rara, “Hayo lho Rara, anak orang ditangisin.”

“Aku nggak sengaja!” dibalasnya dengan ketus.

“Eh, ada apa ini?” suara seorang wanita berusaha melerai keributan itu.

Rupanya wanita itu adalah ibu anak laki-laki itu. Wajahnya cantik. Ditambah lagi polesan make up tipis menambah tingkat kecantikan wanita itu. Cara bicaranya sangat lembut hingga membuat nyaman yang mendengarnya.

“Itu Rara nakal!” tunjuk salah seorang anak laki-laki lain kepada Rara.

“Sudah aku bilang, aku nggak sengaja!”

Wanita itu mencoba melerai keributan itu lagi. Semuanya terdiam. Menyimak kejadian dengan begitu serius.

Anak laki-laki yang sedang menangis tidak menggunakan seragam. Pakaiannya bebas, namun tetap rapih dan sopan. Kelihatan betul bahwa anak laki-laki ini adalah anak baru. Rara dan anak-anak lain pun belum pernah melihat anak laki-laki ini sebelumnya.

Keributan itu rupanya terdengar hingga ruang guru. Beberapa guru mulai berdatangan karena penasaran. Seorang guru muda, lantas segera mencoba menenangkan keadaan itu. Guru itu seorang perempuan. Wajahnya cantik, rambutnya diikat satu ke belakang seperti ekor kuda. Orang-orang biasanya memanggil dengan sebutan bu Nukeu. Ia adalah wali kelas Rara.

“Ada apa ini?”

“Rara nggak sengaja nabrak dia, bu.”

“Aduh Rara lain kali hati-hati ya, nak.”

“hehe...maafin aku, ya,” anak laki-laki itu hanya mengangguk sambil mengusap-usap matanya yang basah.

Keributan pagi itu pun terselesaikan dengan tuntas. Perkumpulan pun dibubarkan. Rara berjalan ke arah kelasnya. Di belakangnya ada bu Nukeu yang sebelumnya membantunya dan juga anak laki-laki yang ia tabrak sebelumnya berjalan ke arah yang sama.

Lihat selengkapnya