Sudah tiga hari semenjak kejadian jatuh itu Rara tidak hadir ke sekolah dengan alasan sakit. Sehari setelah ia jatuh, keesokannya tubuhnya demam dan menggigil. Mulanya sang bunda khawatir hal itu disebabkan oleh luka di lututnya yang cukup parah, namun dokter menenangkannya dengan berkata,”Itu hanya demam biasa tidak perlu khawatir.”
Rara datang ke sekolah dengan lutut yang masih terbalut perban. Perbannya baru diganti pagi tadi sebelum ia berangkat ke sekolah. Sang bunda dengan telaten mengganti perban lutut Rara karena khawatir ada bakteri yang bersarang yang nantinya akan membuat lukanya tidak membaik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, namun sudah lebih baik dari sebelumnya. Rasa sakitnya pun tidak sesakit saat ia terjatuh. Kini ia sudah pandai menahan rasa perih di lututnya. Sebelum berangkat sang bunda berpesan kepadanya untuk jangan berlari dulu sampai lukanya benar-benar pulih.
“Hai teman-teman besok Minggu datang ya ke ulang tahunku,” serunya mengajak teman-teman satu kelasnya untuk ikut meramaikan pesta ulang tahunnya yang ke enam, tepatnya pada tanggal 2 April yang akan datang beberapa hari lagi. Ini adalah tahun terakhirnya di taman kanak-kanak. Beberapa bulan lagi ia akan berpindah sekolah, berganti seragam, berganti teman, dan tentunya berganti status menjadi siswa sekolah dasar. Di acara pesta ulang tahun ini, ia ingin membuat kenangan indah bersama teman-temannya yang nantinya mungkin akan terpisah karna alasan sekolah berbeda.
“Selamat ulang tahun, ra.”
“Oke siap.”
“Asyik.”
“Wah pasti banyak makanan.”
“Aku nanti mau satu balon untuk dibawa pulang ya.”
“Nggak ada badutnya kan? Aku takut.”
“Pasti rame nih.”
Begitulah cuitan jawaban dari teman-teman sekelasnya yang begitu antusias dan ikut tidak sabar menunggu untuk segera bertemu hari Minggu. Hari ini Rara tidak melihat Sena. Ia tidak mengira bahwa anak baru dan pendiam seperti Sena sudah berani tidak hadir ke sekolah. “Sena bolos ya,” pikirnya. Padahal ia sangat bersemangat mengumumkan acara pesta ulang tahun ini karena Sena. Sebelumnya sang bunda mengatakan padanya bahwa ini perayaan ulang tahun untuknya yang terakhir yang dirayakan secara besar-besaran dengan mengundang banyak orang. Bundanya merasa semakin besar anaknya tumbuh, perayaan ulang tahun besar-besaran tidak terlalu penting untuk dilakukan, panjatan doa-doa terbaiklah yang terpenting, karena dalam perjalanan kehidupan ini doa-doalah yang akan selalu menemani di setiap langkah, perayaan itu hanya bersifat sementara sedangkan doa akan terus mengalir seperti air. Jika suatu saat ingin merayakannya kembali, cukup dilakukan dengan merayakannya bersama keluarga saja dengan tidak mengurangkan suatu makna.
“Kalian pasti akan datang bukan?”
“Pasti!”
“Sudah jelas aku pasti akan datang.”
“Aku sangat menyukai pesta, pasti aku akan datang dari sebelum acara di mulai.”
“Kalian janji?”
“Janji!”
Rara merasa senang mengabarkan kabar mendebarkan itu. Hatinya berdebar-debar beberapa hari ini usianya akan bertambah satu. Di hari Minggu nanti usianya bukanlah lima tahun lagi, melainkan resmi menjadi enam tahun. Ditambah lagi kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan memasuki sekolah dasar membuatnya semakin berdebar. Mendengar ucapan “Janji” dari teman-temannya membuat hatinya semakin berdebar dan semakin tidak sabar untuk berjumpa dengan hari Minggu. “Aku sangat tidak sabar, aku ingin segera melompat ke hari Minggu,” batinnya.
Sejenak pikirannya kembali ke tahun lalu, waktu saat perayaan ulang tahunnya ke lima. Saat itu suasana pesta perayaan ulang tahunnya sangat berkesan dan membahagiakan. Banyak teman-teman sekolahnya, mayoritas teman satu kelasnya, datang meramaikan pesta perayaan ulang tahunnya. Dengan gaun putih ia berdiri dihadapan kue ulang tahun yang menancap lilin menyala, seolah dirinya adalah seorang tuan putri dari sebuah kerajaan nan agung, diiringi dengan nyanyian lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ oleh teman-temannya yang datang, seakan itu merupakan sebuah lagu wajib yang tidak boleh ketinggalan dalam sebuah acara perayaan ulang tahun.
Keesokannya, Sena juga tidak hadir. Rara tidak tahu alasan Sena tidak hadir ke sekolah selama berhari-hari. Teman-temannya yang lain pun juga tidak mengetahuinya karena mereka tidak terlalu dekat dengan Sena. Beberapa hari sebelumnya saat Rara tidak masuk sekolah, Sena tidak mencoba bergaul dengan lainnya. Ia cenderung diam dan sesekali bermain sendiri. Anak-anak lain pun merasa segan mengajak Sena bermain karena merasa Sena terlalu hemat berbicara dan mereka merasa sulit memahami diamnya Sena.
Saat pulang sekolah, Rara memandangi rumah Sena yang pintunya selalu tertutup rapat. Jarang sekali terlihat orang yang lalu lalang keluar masuk rumahnya, seperti rumah tidak berpenghuni. Keinginannya besar untuk berkunjung dan menanyakan kabar Sena. Namun, ketika ia teringat dengan rumor bahwa rumah itu berhatu, ia mengurungkan niatnya takut bukan Sena yang menyambutnya melainkan hantu penunggu rumah itu yang kabarnya sangat menyukai anak kecil. Bulu kuduknya selalu merinding jika mengingat itu, tubuhnya ikut bergidik ngeri.
Hari Minggu datang. Rara begitu bersemangat mendekor sisi ruangan dibantu oleh sang bunda dan sang ayah. Acaranya masih tiga jam lagi, masih cukup waktu untuk mengisi ruang-ruang yang terlihat kosong. Sampai hari ini Rara belum juga bertemu dengan Sena. Bahkan ia hampir melupakan sosok Sena. Pertemuannya dengan Sena beberapa hari lalu dirasanya sudah terlewat begitu jauh, bahkan sangat jauh.
Disela-sela waktu mendekor, sang bunda mendapatkan sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Setelah menutup panggilan itu, bundanya memasang raut sedih. Rara dan sang ayah yang ada di satu ruangan merasa bingung dan menghujani sang bunda dengan berbagai pertanyaan.
“Tadi bundanya Raka, Adisti, dan Syahla bilang ke bunda katanya mereka nggak bisa hadir karna ada keperluan mendadak,” ia ragu mengabarkan kabar buruk ini, tapi anaknya harus tahu agar tidak kecewa kemudian. Lebih baik menelan kenyataan pahit diawal daripada harus menelan mentah-mentah kekecewaan dibelakang, karna pasti rasanya akan lebih menyakitkan dan jauh menusuk hati.
“Tenang, ra, masih banyak teman-temanmu yang bisa hadir,” ucap sang ayah mencoba menghibur putri kecilnya. Sejenak Rara terdiam dengan wajah murungnya. Kemudian ia bangkitkan lagi memanfaatkan sisa-sisa semangat dalam jiwanya.
“Ra, Sena sudah kamu undang?”
“Rara belum ketemu Sena, bun, seminggu ini.”
“Kamu nggak tahu? Beberapa hari ini Sena dirawat karna sakit.”
“Sakit? Sakit apa, bun?”
“Kurang tahu bunda.”
Mendengar kabar Sena sakit, lantas Rara berhambur ke rumah Sena. Rasa takutnya akan hantu penunggu rumah itu hanyut terbawa perasaan khawatirnya. Ia mengetuk keras pintu rumah Sena, namun tidak ada jawaban. Rumah itu kosong, seisi rumah sepertinya sedang tidak ada di rumah. Rara kembali dengan perasaan kecewanya. Perasaan kecewanya menjadi berlipat-lipat. Ia sangat menyesal kenapa dari kemarin ia tidak berusaha menanyakan kabar Sena dan malah melupakan Sena. Padahal Sena sudah sangat baik padanya ketika ia terjatuh dari ayunan, Sena dengan setia menemaninya dan menghiburnya hingga lupa akan rasa sakit yang ia rasakan.
Acara perayaan tinggal satu jam lagi. Semua dekorasi dan makanan sudah siap menyambut tamu undangan. Rara masih bersiap dengan dibatu oleh sang bunda. Rambut panjangnya ia biarkan terjurai dan diberikan hiasan bandana merah jambu dengan aksen kerlip serasi dengan warna gaunnya.
“Cantiknya anak bunda.”
Usai mendandani sang anak, ia turun ke lantai bawah dan bersiap untuk menyambut kehadiran tamu undangan. Beberapa teman Rara sudah berkumpul di ruang depan ditemani dengan orang tua masing-masing. Disana sudah hadir Dania, Ariva, Gani, Haekal, Mone, Ugi, dan Yuda. Sudah delapan orang yang benar-benar diketahui bisa mengikuti acara perayaan ulang tahun terakhirnya.
“Bunda Rara, ini hadiah untuk Rara. Maaf ya, bun, saya nggak bisa lama-lama karena mau mengantar ayah Kia ke bandara.”
“Oh iya nggak apa-apa, terimakasih ya. Salam untuk ayahnya.”
“Iya, bun, saya permisi ya, bun.”
“Bunda Rara,” Panggil orang tua lainnya.
“Eh...mama Devan.”
“Selamat ulang tahun, bun, untuk Rara. Maaf ya, bun, saya hari ini harus ke undangan di Bogor. Ini ada hadiah dari Devan untuk Rara.”
“Terimakasih pasti Rara suka hadiah dari Devan.”
“Bisa saja si bunda satu ini. Maaf ya, bun, saya harus pergi sekarang, ayahnya Devan sudah nunggu di mobil.”
Jika ditotal keseluruhannya seharusnya ada lima belas orang yang ikut meramaikan, itu sudah termasuk Sena. Namun, dari kelima belas orang itu hanya tujuh orang yang hadir, lima orang lainnya menyatakan tidak bisa hadir, kemudian empat orang sisanya tidak memberikan kabar apa pun atas ketidakhadirannya, termasuk Sena yang masuk ke dalam golongan empat orang itu. Melihat sedikitnya yang hadir dan beberapa tamu undangan yang pergi lebih dulu ketika acara belum dimulai membuat hati bunda Rara berat, “apa yang harus aku katakan kepada Rara? Pasti dia akan bertambah kecewa,” batinnya.
“Bun, yang datang baru ini?”
“Ra, kita mulai saja yuk acaranya keburu sore, sudah sedikit mendung juga.”
“Tapi, bun...”