Rara

Hai Ra
Chapter #3

Bagian 3: Kabar Membahagiakan

Waktu telah berlalu dengan cepat. Kejadian Rara jatuh dari ayunan, perayaan ulang tahun menyedihkan, sampai pada kejadian ia dan Sena hampir tidak bisa pulang berlalu begitu saja seolah seperti mimpi buruk yang baru terjadi semalam. Dua tahun sudah berlalu. Saat ini Rara dan Sena sudah resmi berstatus sebagai siswa sekolah dasar. Seragam resmi keduanya pun bukanlah lagi seragam berwarna hijau muda kotak-kotak melainkan putih merah, sama persis seperti seragam siswa sekolah dasar lainnya. Tubuh keduanya pun saat ini sudah tumbuh semakin besar, bahkan saat ini tinggi tubuh Sena menyalip tinggi Rara. Saat ini ujung kepala Rara hanya mencapai dahi Sena. Sungguh cepat sekali pertumbuhan anak laki-laki padahal sebelumnya tubuh Rara yang lebih tinggi daripada tubuh Sena. Keduanya saat ini bersekolah di sekolah yang sama, kelas yang sama, pun dengan kursi yang bersebelahan seperti di sekolah sebelumnya. Tak ingin berjauhan katanya. Takut rindu.

Setelah beberapa tragedi yang terjadi beberapa tahun silam, ikatan keduanya semakin kuat. Keduanya menjadi lebih akrab. Terlebih kejadian saat perayaan ulang tahun Rara yang membuat Rara sangat kecewa kepada teman-temannya yang lain, dari sana Rara mulai merasa bergantung kepada Sena. Tidak ada lagi teman lain yang bisa ia percaya dengan betul-betul kecuali Sena. Ia tetap menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain, namun ia memberikan sebuah batasan yang hanya bisa dilewati olehnya dan Sena. Ia tidak sudi mempersilahkan orang lain untu seenak hatinya masuk lebih jauh. Ibarat jika bertamu, seorang tamu itu hanya dipersilahkan di halaman rumah saja tidak sampai diajak masuk lalu berbincang lebih jauh.

Banyak hal menarik yang mereka lalui bersama selama dua tahun ke belakang. Sena yang sebelumnya seorang pendiam, perlahan ia berubah akibat ajaran Rara. Sena baru berani berulah jika Rara yang memulainya, sebaliknya jika Rara tidak memulainya atau tidak ada Rara disisinya ia akan bersifat wajar seperti biasanya, menjadi anak pendiam dan hemat berbicara. Beberapa kali Rara mengajak Sena untuk mengikuti tingkah usilnya, seperti melompat pagar (tinggi pagarnya tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk ukuran keduanya), memanjat pohon lalu memetik beberapa buah untuk dimakan, bermain di genangan air selepas hujan hingga menimbulkan bercak di pakaian, dan hal-hal mengasyikkan lainnya yang semuanya terangkum dalam pikiran Rara, Sena hanya ikut-ikutan. Dalang sebenarnya adalah Rara. Seringkali mereka mendapat teguran dari kedua orang tua mereka masing-masing karna ulah usil mereka, namun teguran itu tidak mempan untuk keduanya. Semakin ditegur, semakin senang pula melanggar. Bukan begitu memang jalan pikir manusia? Segala sesuatu yang dilarang-larang akan lebih menarik perhatian untuk dicoba.  

 

***

 

Pagi itu Rara sudah rapih mengenakan seragam merah putihnya. Tubuhnya kini lebih tinggi dan berisi jika dibandingkan dengan dua tahun lalu. Rambutnya pun kini sudah tidak sepanjang sebelumnya. Rambutnya ia potong sebahu sama rata dan diberi poni agar nampak lebih menggemaskan, katanya. Hari itu ia biarkan rambutnya terurai bebas tanpa diberi aksesoris apa pun. Khawatir helai rambutnya akan sesak jika terus-menerus diikat atau bisa saja saling ribut karna bosan berdekatan dengan helai lain.

Ia meraih tas punggung merah jambunya yang tergantung nyaman di balik pintu kamarnya. Lalu ia gantungkan tas ransel merah jambu itu di pundaknya. Buku di dalam tas punggung itu cukup banyak. Ditambah lagi ia membawa baju olahraga dan sepatu ganti. Entah sekolah macam apa yang melarang siswanya menggunakan sepatu olahraga di hari Senin. Setiap hari Senin, sudah pasti ada upacara, setiap siswa diwajibkan untuk menggunakan sepatu pantofel yang terkadang membuat kaki nyeri karena ada beberapa bahan dari sepatu pantofel yang begitu keras mirip seperti batu. Sebagai pengguna pun harus cerdas-cerdas memilih jenis sepatu pantofel yang beragam untuk menghidari rasa nyeri itu. Bagi siapa pun yang berani melanggar akan diberikan sanksi yang sesuai. Tetap saja ada beberapa anak yang mengaggap enteng sanksi itu dan lebih senang melanggar. Bonus bagi orang-orang yang senang melanggar ia akan dikenal banyak orang, seperti artis di televisi hanya saja lingkupnya lebih kecil tidak sampai jagat raya.

Sudah bawa beberapa buku tebal, baju ganti olahraga, sepatu olahraga, ditambah lagi tas jinjing kecil berisikan kotak bekal. Kalau semisal Rara menggunakan pakaian biasa bukan seragam sekolah orang-orang akan mengiranya ingin kabur dari rumah, mungkin. Beban di pundaknya terasa sangat berat. Seringkali ia mengeluh dan berkata, “Pantas saja Sena bisa membalap tinggiku. Kalau begini terus aku akan menjadi perempuan kerdil saat dewasa nanti. Ah aku tidak mau.”

Ketika ingin berpamitan kepada sang bunda, ia terkejut melihat wajah bundanya yang begitu pucat. Matanya sayu kelihatannya sangat kelelahan, bibirnya sangat pucat jauh bisa dikatakan sebagai perwujudan manusia sehat.

“Bunda sakit?”

“Nggak, ra, cuma pusing sedikit saja.”

“Tapi, muka bunda pucet banget. Kita ke dokter ya, bun.”

“Kan kamu harus sekolah, ra.”

“Rara bisa izin kok.”

“Bunda nggak apa-apa. Sekarang kamu berangkat ya.”

Hatinya risau. Ia tidak mungkin meninggalkan bundanya yang terkulai begitu lemas. Biar pun ia sendiri tahu bahwa sebenarnya bundanya masih mampu melakukan pekerjaan rumah dengan paksaan kuat. Langkahnya tak jelas, bolak-balik bolak-balik seperti setrikaan.

“Ra, kamu belum berangkat? Nanti kamu telat.”

“Bunda bagaimana?”

“Bunda baik-baik saja.”

“Bagaimana hati Rara bisa tenang kalau sekarang saja muka bunda pucet begitu.”

“Ra, itu Sena sudah berangkat kamu cepat berangkat.”

Rara kesal dengan sikap bundanya yang tak acuh dengan perasaannya. Ia bersikap seperti itu juga karena peduli dengan kondisi bundanya. Namun, sang bunda seolah menolak rasa simpati putri satu-satunya itu. Rara akhirnya melengos pergi dengan membiarkan pintu pagar terbuka lebar.

Baru beberapa meter ia berjalan, langkahnya putar balik ke arah ia datang sebelumnya.

“Yaampun bekalku ketinggalan.”

Ia kembali dengan berlari hingga membuat deru nafasnya tidak beraturan. Sesampainya di rumah ia berpapasan lagi dengan wajah pucat sang bunda. Hatinya kembali risau ketika melihat wajah itu, melonggarkan keyakinannya untuk pergi ke Sekolah.

“Bun, Rara hari ini nggak masuk ya. Rara nggak enak badan,” ia berbohong kepada bundanya demi agar ia bisa menjaga bundanya di Rumah.

“Tiba-tiba gitu, ra?”

“Iya nih, Rara juga nggak tau. Tiba-tiba saja tadi kepala Rara pusing,” ucapnya sambil memegang dahinya yang berkeringat karena lelah berlari. “Dada Rara juga sedikit sesak, bun,” lanjutnya berbohong. Sebenarnya ia sesak akibat lari bukan karena sakit. Namun, karena keadaannya juga pas maka ia jadikan alasan.

“Kita ke dokter ya, ra.”

“Nggak perlu, bun. Rara istirahat saja di Rumah.”

“Tapi, kata kamu sesak. Bahaya lho, ra.”

“Rara nggak apa-apa, bun.”

Tipuan Rara membuahkan hasil. Sang bunda percaya begitu saja dengan tipu muslihat sang anak. Rara tidak bermaksud membohongi bundanya, ia tidak tega jika harus meninggalkan bundanya sendirian di Rumah dengan kondisi mengkhawatirkan seperti itu. Siapa yang akan menolong bundanya jika terjadi sesuatu nanti? Berbohong demi kebaikan tidak apa bukan? Toh banyak diluar sana orang-orang jahat yang berbohong demi keburukan padahal mereka tahu sendiri itu bukanlah perbuatan baik. Dan bohongnya saat ini jauh berbeda dengan orang-orang jahat diluar sana, ia berbohong demi bundanya, demi ketenangan hatinya. Semoga Tuhan merestui kebohongannya.

Tidak lama Rara beberes mengganti pakaiannya, tiba-tiba saja bundanya mengeluarkan suara yang tidak sedap didengar, “huek huek.” Rara berlari dari kamarnya menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Kakinya hampir tergelicir karena tidak hati-hati, namun keseimbangannya begitu bagus sampai pada akhirnya ia tidak jadi tergelicir dari tangga. Sang bunda keluar dari kemar mandi sambil menutupi mulutnya dengan tangan rampingnya. Tangan lainnya mengusap-usap perutnya karna merasa tidak nyaman, bergantian memegang dahinya karena rasa pusingnya semakin membesar.

“Bunda kenapa?” Rara merasa semakin khawatir melihat keadaan bundanya yang begitu memprihatinkan. Perasaan khawatirnya semakin akrab memeluk erat dirinya tak ingin pisah, seperti seorang kekasih yang sudah muak menjalin hubungan jarak jauh.  Jantungnya berdegup kencang. Rasanya ingin lepas dari tempat seharusnya dan mencari tempat lain yang menenangkan.

Bundanya tidak menjawab pertanyaannya. Sangat sulit baginya untuk mengeluarkan kata-kata ditengah hebatnya rasa mual. Ia mengabaikan pertanyaan Rara dan gegas berlari ke arah kamar mandi, lagi. Rara yang melihat kejadian itu turut berlari menuju kamar mandi mengikuti bundanya. Ia memandangi bundanya dari belakang. Terlihat jelas punggung bundanya yang seolah meronta-ronta berusaha susah payah mengeluarkan isi perutnya.

Rara membantu menggopoh tubuh lemas bundanya ke ruang keluarga. Intuisinya mengatakan kepadanya untuk segera mengambilkan secangkir air mineral untuk bundanya. Gelas bening berisikan air mineral segera ia berikan kepada bundanya. Sang bunda meneguk air itu dengan pelan-pelan. Tubuhnya begitu lemas, seluruh tenaganya tercurahkan tanpa sisa di kamar mandi tadi. Wajahnya semakin pucat. Tubuhnya terduduk lemas di kursi. Rara sangat bingung ia tidak tahu harus berbuat apa.

“Bun, kita ke dokter ya.”

“Bunda nggak apa-apa kok, ra,” lagi-lagi ucapan menyebalkan itu keluar dari bibir bundanya. Sang bunda sama bohongnya dengan Rara. Kalau sebelumnya Rara berbohong demi kebaikan, lalu bundanya berbohong demi apa? Jelas-jelas ia terlihat sakit, tapi selalu mengelaknya dengan berkata, “Nggak apa-apa.” Apakah ia senang melihat anaknya yang khawatir sebab kondisi dirinya? “Kali ini saja bunda menghargai perasaanku,” batinnya. Ia hanya bisa membatinkan kata-kata itu. Ia tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan langsung kata-kata itu yang kemudian di dengar oleh bundanya, karena pasti bundanya akan sedih kalau mendengar itu. Dirinya sangat menghormati perasaan orang-orang terdekatnya.

Rara memanglah anak kecil yang masih berusia delapan tahun. Biarpun begitu dalam beberapa keadaan entah panggilan dari mana secara alamiah ia mampu berpikir dan berperilaku layaknya orang-orang yang berusia di atasnya. Itu muncul secara naluriah. Tidak dibuat-buat, dan tidak ada pula yang memaksanya.

“Bun!” Rara berbicara agak keras dengan mata yang melebar karna rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun akibat kebebalan bundanya.

Hari ini di rumah tidak ada siapa-siapa selain Rara dan bundanya. Ayahnya sudah berangkat ke kantor sejak udara masih dingin-dinginnya dan matahari pun belum sempat menyapa bumi dengan sambutan manisnya. Apa jadinya nanti jika bundanya hanya seorang diri di Rumah. Mungkin yang terjadi nantinya bundanya akan pingsan tanpa diketahui orang dan baru akan mendapatkan pertolongan ketika Rara sudah pulang sekolah. Atau mungkin mengharapkan keajaiban seseorang tiba-tiba bertamu, lalu menemukan seorang wanita berusia pertengahan tiga puluh tahunan sedang terkulai lemas di kursi atau bahkan di lantai yang dingin. Keajaiban seperti itu mungkin hanya terjadi di film-film. Sungguh menyakitkan hati jika dibayang-bayang. Anak macam apa yang rela meninggalkan ibunya dengan tenang disaat sang ibu sedang sakit tak berdaya.

Rara lantas berlari ke kamar bundanya untuk mengambil handphone milik bundanya yang tergeletak di atas ranjang. Kemudian ia mencari kontak darurat yang biasa ia hubungi jika dirinya memasuki keadaan genting, lalu menekan kontak itu dengan mantap yang bertuliskan ‘ayah’. Terdengar suara sambungan. Tidak lama sang ayah menjawab.

“Halo, ada apa, bun?”

Lihat selengkapnya