Rara

Hai Ra
Chapter #4

Bagian 4: Kehadiran Sosok Baru

Perut bunda Rara sudah semakin membesar, menyerupai buah semangka matang. Dirinya tak sabar menyambut kehadiran sosok baru di keluarga kecilnya. Tinggal menghitung hari sosok kecil di dalam perutnya itu akan segera hadir ke dunia. Pikirannya sudah mengawang, membayangkan seorang bayi kecil dibopongnya.

Ayah Rara pun tak kalah. Ia sudah menantikan kelahiran anak keduanya sejak berbulan-bulan lamanya. Tak sabar rasanya ingin segera menimang-nimang seorang bayi kecil di tangan besarnya.

“Bun, mau buah? Ayah kupasin,” ucap ayah Rara dengan penuh perhatian. Semenjak awal kehamilan sang istri, ayah Rara menjadi lebih perhatian dibandingkan dengan sebelumnya. Jika sebelumnya ia hanya memberikan perhatian secukupnya, kali ini ia betul-betul berbeda. Sikapnya lebih lembut dan apa pun keinginan sang istri lantas ia turuti tanpa menunda. Bahkan suatu ketika tanpa sang istri mengucapkan keinginannya ayah Rara sudah membawakan apa yang sedang diidam-idamkan sang istri. Seolah telepati keduanya begitu kuat. Apakah kejadian ini bisa dikatakan sebagai kejadian yang sangat romantis? Mungkin untuk sebagian orang akan menjawab ‘iya’, dan mungkin sebagian akan menjawab ‘biasa saja, itu sudah wajar memang begitu tugas suami disaat istrinya mengandung’.

Saat ini Rara sudah tidak berpegang pada perasaan bingungnya seperti disaat awal mengetahui kabar kehamilan bundanya. Saat kabar itu terdengar ditelinganya ia merasa sedikit terkejut, maka dari itu ia merasa bingung. Dan sebelum kabar baik itu datang, tidak pernah terlintas satu detik pun berkeinginan untuk memiliki seorang adik. Ia sudah merasa terlalu nyaman dengan keadaan menjadi anak satu-satunya. Pikirnya, dengan menjadi anak satu-satunya ia tidak perlu untuk berbagi mainan dengan sang adik nantinya, selain itu ia tidak perlu ribut karna hal-hal kecil. Tapi, ternyata tuhan berkeinginan lain, ia ingin untuk Rara melakukan itu semua dengan sukarela dan tentunya penuh dengan keikhlasan hati. Mungkin baginya kebahagiaan yang Rara dapatkan saat ini sudah cukup atau bahkan terlewat cukup dan perlu dibagikan ke manusia lain agar porsinya cukup, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Memang begitu bukan dalam hidup ini segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, sama halnya dengan perasaan senang dan sedih yang berlebihan, sangat tidak baik efeknya, keduanya perlu seimbang. Sederhana memang, namun memang semua yang ada di dunia ini ada takarannya. Seperti halnya dengan saat kita makan, cukup dengan porsinya masing-masing.

Tidak kalah dengan bunda dan ayahnya, hati Rara ikut senang menantikan kehadiran calon adiknya. Sesekali ia membelai lembut perut besar bundanya yang sepertinya mahkluk kecil itu juga tidak sabar ingin merasakan kehidupan di bumi. Telinganya mendekat ke perut besar bundanya, mendengarkan detak jantung calon adiknya. ‘dug dug dug’ suara detak jantung itu terdengar jelas di telinganya hingga membuat jantung Rara ikut berdebar. Beberapakali terasa seperti ada sesuatu yang menendang-nendang, seolah ingin mengajaknya bermain. Sungguh mengagumkan kejadian ini.

Hari ini adalah hari Sabtu. Jadwal bundanya untuk check up kandungannya. Ayahnya menemani bundanya pergi ke rumah sakit besar yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Bundanya meminta Rara untuk tidak perlu ikut. Rara masih kecil. Suasana rumah sakit kurang baik untuk Rara. Ia meminta Rara untuk pergi bermain saja dengan Sena. Seperti kebanyakan anak kecil lain mulanya Rara menolak ia memaksa ingin ikut mengantar sang bunda. Namun, saat sang ayah membicarakan mengenai jarum suntik, ia pun bergidik ngeri dan segera menyetujui ketidakikutannya ke rumah sakit.

Dari halaman rumahnya, Rara memandangi mobil ayahnya yang melaju semakin menjauh meninggalkannya. Tangannya melambai-lambai, dan mulutnya mengucapkan, “Hati-hati jangan lama-lama”. Ia sedikit menangis. Perasaannya seolah seperti dirinya telah ditinggalkan di tempat lain oleh kedua orang tuanya dan entah kapan kedua orang tuanya itu akan datang menjenguknya. Disampingnya ada Sena yang sudah siap bermain dengannya.

“Ra, main ke rumahku saja yuk. Hari ini ayahku ada di rumah lho,” ucap Sena dengan penuh semangat. Entah ia sengaja mengabaikan kesedihan Rara agar tidak berlarut atau memang ia tidak tahu kalau saat itu Rara mengeluarkan sedikit air matanya. Beberapa detik keduanya terdiam hingga akhirnya keduanya beranjak ketika Rara menjawab ajakan Sena, “Ayok.”

Ia berusaha menghapus rasa sedihnya itu sambil meyakinkan dirinya akan baik-baik saja saat ditinggalkan kedua orang tuanya. Ini adalah pengalaman pertama kalinya ia ditinggal oleh kedua orang tuanya. Jadwal check up sebelum-sebelumnya selalu berpapasan saat dirinya masuk sekolah sehingga tidak terasa seperti ditinggal. Ini adalah pembelajaran awal untuk Rara sebelum adik kecilnya itu benar-benar lahir ke dunia. Ke depannya ia akan dituntut lebih dewasa daripada saat ini dan lebih banyak hal yang perlu ia ikhlaskan karena tidak sesuai dengan harapannya. Mungkin, saat ini ia belum sadar dengan kenyataan itu, tapi lambat laun ia akan merasakan dan berurusan keras dengan ego besarnya.

Bertemu dengan ayah Sena adalah sebuah pengalaman langka. Selama bertahun-tahun ia tinggal berdekatan, ia sama sekali belum pernah melihat wujud ayah Sena. Ayah Sena adalah orang yang sangat sibuk. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk tugas keluar kota.

Sampai di ruang tamu, Rara melihat sosok seorang pria yang kini sedang duduk di sofa abu-abu. Tubuhnya gemuk tinggi, beberaoa bagian rambutnya beruban menandakan bahwa ia adalah orang pemikir, kumisnya tebal meninggalkan kesan garang. Rara merasa seperti pernah melihat wajah itu. Tapi ia tidak ingat. Ia terus mengingat-ingatnya. Ia menyalami tangan ayah Sena dengan begitu sopan. Ayah Sena menyambutnya dengan sangat baik. Ia sangat ramah. Sifatnya pun sangat hangat. Membuat Rara merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Berbeda dengan gambaran wajahnya. Penilaian fisik memang bukanlah penilaian yang tepat.

Sena mengajak Rara untuk bermain di taman belakang rumahnya. Ia menarik tangan Rara dengan kencang karena perasaan tidak sabarnya. Baru kali ini Rara merasa Sena begitu bersemangat. Sebenarnya apa yang ingin ia pamerkan kepadanya sampai-sampai sebegitu menariknya hingga membuat Rara meringis kesakitan. Kedua anak itu meninggalkan seorang pria berusia empat puluh tahunan itu bersamaan dengan kopi hangatnya, dan tumpukan korang yang sedang menunggu giliran untuk dibaca.

Saat ini Rara berada di taman belakang rumah Sena. Pantas saja Sena begitu bersemangat ternyata ia ingin memamerkan taman belakang rumahnya yang begitu besar dan indah. Rumah Sena jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rumahnya. Taman itu ditanami berbagai macam bunga berwarna-warni yang tentu saja Rara tidak mengetahui pasti nama-nama bunga itu. Yang bisa ia kenali betul hanyalah tanaman mawar, anggrek, dan bunga sepatu yang memang sering kali ia temui di tempat lain. Selain dihiasi berbagai macam bunga berwarna-warni, ada juga ayunan yang sudah berkarat akibat terkena hujan. Letaknya berdekatan dengan sebuah pohon membesar. Kehadiran pohon besar itu membuat keadaan sekitar ayunan sejuk dan membuat siapa pun mengantuk jika berdiam diri disana karena lembutnya sapaan angin. Melihat ayunan itu mengingatkannya pada kecelakaan kecil yang ia alami sewaktu di taman kanak-kanak. Rara tertawa sebentar mengingat kejadian menghebohkan yang ia timbulkan saat di taman kanak-kanak. Kemudian ia dan Sena duduk di ayunan itu.

“Ah! Aku ingat sekarang,” ucapnya tiba-tiba mengejutkan Sena.

“Ada apa, ra? Apa yang kamu ingat? Memangnya kamu melupakan sesuatu?” tanya Sena tidak mengerti. Kali ini Sena benar-benar menjadi orang yang banyak bicara. Kelihaiannya dalam berbicara semakin meningkat. Dan itu membuat Rara senang dan bangga akan dirinya telah berhasil merubah Sena yang hemat bicara menjadi banyak bicara. Tapi, terkadang pembicaraan Sena terlalu jauh membuatnya tidak mengerti dengan topik yang sedang dibicarakan dan pada akhirnya ia akan menguap karena terkantuk-kantuk.

“Aku ingat. Aku ingat pernah melihat ayahmu.”

“Melihat ayahku? Dimana?” tanya Sena tak percaya. Dahinya dibuat mengeryit.

“Di klinik. Klinik yang waktu itu aku kunjungi bersama bunda. Disana ada gambar ayahmu.”

“Oh...mungkin itu salah satu klinik milik ayahku.”

“Wah...ayahmu punya klinik?”

“Iya. Ada di beberapa kota. Ayahku bepergian keluar kota untuk memantau kliniknya satu persatu.”

“Hebat sekali,” ucapnya takjub.

Rara mengayunkan perlahan ayunan itu. Gesekan antara rantai berkarat dengan tiang penyangga menimbulkan bunyi decitan yang sedikit nyaring. Sena mengingatkan Rara untuk berhati-hati, karna ayunan itu sudah sangat tua dan kurang terawat. Kapan saja ayunan itu bisa patah dan menjatuhkan siapa saja yang tidak disukainya.

Mama Sena datang menghampiri mereka. Ditangannya membawa nampan merah berisikan dua gelas jus jeruk, dan sepiring cookies coklat. Selain itu ia juga membawa sehelai kain bermotif kotak-kotak berwarna merah. Ia melebarkan kain itu lalu meletakkan gelas dan piring itu bersampingan di atas kain kotak-kotak merah itu. Melihat kudapan itu, lantas membuat Rara berlari ke arah kain yang telah digelar.

“Wah, rasanya seperti piknik. Aku sangat menyukai ini semua,” ucap Rara senang dengan jamuan keluarga Sena yang dirasa sangat berbeda dengan keluarga lain. Disambarnya cookies coklat itu dengan cepat. Matanya membulat takjub akan rasa dari cookies coklat itu. Itu adalah cookies coklat terlezat yang pernah ia makan.

“Wah, kue ini sangat enak. Aku sangat suka. Boleh aku mengambil satu lagi?”

“Ambil saja sebanyak yang kamu, sayang. Sena, jaga Rara baik-baik ya.”

“Siap,” ucap Sena dengan tangan yang membentuk hormat seperti ketika upacara bendera hari Senin.

Setelah mengantarkan kudapan itu, mama Sena kembali masuk ke dalam rumah, melanjutkan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Rara masih sibuk dengan cookies coklatnya. Sedangkan Sena sibuk dengan minuman jus jeruknya, menyeruputnya pelan-pelan kemudian diakhiri dengan suara, “Akhh” semacam suara kepuasan atas menghapus dahaganya.

 

***

 

Di Rumah Sakit, pasangan suami istri itu sedang duduk menunggu gilirannya untuk dipanggil. Wajah keduanya terus tersenyum melihat perut besar itu. Terpancar besarnya rasa bahagia dari keduanya.  Berulang kali sang suami membelai lembut perut besar sang istri. Sesekali ia merasakan ada tendangan dari dalam perut besar itu hingga membuat sepasang suami istri itu begitu bersemangat menyambut mahkluk kecil itu.

“Kira-kira wajahnya akan mirip siapa ya, yah?” tanya sang istri penasaran akan rupa bayinya kelak.

“Sudah pasti campuran wajah kita berdua, bun. Nggak mungkin seperti wajah tetangga bukan?” ledek san suami.

“Hati-hati, yah, kalau berbicara.”

Sepasang suami istri itu sengaja tidak melakukan USG empat dimensi yang saat ini sangat digandrungi oleh orang tua muda. Mereka ingin menjadikan ini sebagai kejutan untuk keduanya. Bagi mereka mengetahui lebih awal rupa sang bayi mengurangi rasa mengejutkan mereka dalam menyambut kehadiran sang bayi.

“Yah, aku tidak mau melakukan USG empat dimensi seperti orang-orang. Masa bodoh kalau ibuku dan ibumu memaksa kita untuk melakukannya hanya karna rasa penasaran mereka. Aku ingin melihat rupa anakku secara langsung, bukan melihatnya di layar atau di selembar kertas yang nantinya bisa hancur. Aku tidak mau setelah melihat rupa bayiku nanti di layar atau di selembar kertas menjadi seorang ibu yang tidak sabaran ingin segera mengeluarkan bayinya untuk bisa segera memeluknya. Aku ingin menikmati penantian ini dengan penuh sabar dan tentunya penyambutannya nanti akan terasa lebih mendebarkan dibandingkan aku mengetahui rupanya lebih awal. Kamu mengerti maksudku bukan?”

“Iya, aku sangat mengerti maksud pembicaraanmu. Oke kalau itu maumu, kuturuti.”

Begitulah kesepakatan mereka jauh dari sebelum perut itu membesar bagaikan buah semangka matang yang siap dipanen.

“Ibu Namira,” panggil seorang suster memanggil nama sang istri.

Sepasang suami istri itu bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu tidak besar dan tidak pula kecil, di dalamnya duduk seorang wanita berusia tiga puluh tahunan akhir sedang tersenyum ke arah keduanya. Wanita itu menyambut baik kehadiran sepasang suami istri itu. Kemudian keduanya duduk bersisian di kursi yang berhadapan langsung dengan wanita yang menyapa mereka dengan senyum ramahnya.

Wanita itu menggunakan jas putih, pakaian khas seorang dokter. Di atas mejanya ada sebuah papan yang bertuliskan Dr. Lisa. Nada bicaranya sangat ramah, membuat siapa pun nyaman berkomunikasi dengannya. Ia merupakan salah satu dokter bersalin terbaik di rumah sakit itu. Berkat kecerdasannya dan ketarampilannya yang patut diacungi sepuluh jempol, tidak perlu butuh waktu yang lama ia sudah mampu menyandang gelar itu.

“Melihat kondisi sang ibu dan keadaan calon bayi semuanya baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita tinggal menunggu saja waktu yang tepat untuk melahirkan. Kemungkinan dalam waktu dekat ini ibu Namira sudah bisa melakukan proses melahirkannya secara normal,” ucap dokter Lisa.

“Untuk tepatnya waktu persalinan yang baik kira-kira kapan ya dok?” tanya sang ayah.

“Kalau untuk tepatnya mungkin sekitar seminggu lagi, pak. Lusa bapak dan ibu bisa kembali lagi untuk memonitor kemajuannya,” jawab dokter Lisa.

“Baik, dok, kalau begitu. Terima kasih banyak, dok,” ucap sang istri.

Sepasang suami istri berbahagia itu pergi meninggalkan ruangan. Seorang suster yang berjaga di ruangan itu memanggil nama lain. Tanda gilirannya sudah tiba.

Sang suami berpesan kepada istrinya untuk menunggunya di lobi sembari sang suami mengambil mobil yang terparkir nyaman di basement rumah sakit. Tangan sang suami memegang erat tangan istrinya ketika hendak menaiki mobil. Tanpa berlama-lama sebelum kendaraan menumpuk di lobi rumah sakit sang suami menancap gas dengan lembutnya. Kecepatannya tidak tinggi. Mengingat kondisi sang istri yang kini tengah mengandung besar. Begitu sampai polisi tidur mobil itu melaju dengan lembutnya, bahkan sangat lembut hingga membuat siapa pun tidak perlu khawatir dengan guncangan keras.

Lihat selengkapnya